Kamis, 30 Agustus 2012

women between culture and choices

Wanita identik dengan istilah feminis. Dimana istilah feminis itu didapat karena wanita menjadi sosok yang familiar dengan kelembutan, perasaan, melow, dan mungkin banyak kata-kata lagi jika orang ingin mengidentifikasikan satu kata tentang wanita atau mungkin banyak kata-kata yang akan terlontar jika mendengar tentang wanita. 

Wanita istimewa dengan cara dan pembawaannya masing-masing. Memiliki karakter yang berbeda antara yang satu dengan yang lain. Namun dengan karakternya itu menjadikan wanita memiliki sebuah value yang bisa dibanggakan dari dirinya sendiri. Dengan value itu juga wanita memiliki standar-standar khusus dalam memilih mana yang terbaik untuk dirinya. Setiap orang pastinya ingin yang terbaik untuk dirinya. Sampai ada sebuah kata bijak yang mengatakan kalau wanita cantik itu banyak namun wanita yang berkarakter itu yang jarang ditemukan. Namun bagaimanakah wania dihadapkan dengan sebuah keputusan ? 

Dalam menjalin sebuah hubungan, wanita kadang lebih berada dalam pihak minor dibandingkan dengan laki-laki yang lebih dominan berada dalam pihak mayor. Hal ini yang kadang menjadi indikator dalam pengambilan keputusan untuk kelangsungan sebuah hubungan. Seandainya ada seorang laki-laki dan wanita yang sudah menjalin hubungan cukup lama dan sama-sama serius untuk melangkah ke jenjang yang lebih serius namun ada satu hal yang menjadi halangan untuk kelanjutan hubungan mereka sebut saja berbeda keyakinan. Bagaiamankah mereka harus bersikap ? 

Dalam kasus seperti ini biasanya memiliki dua alternatif jalan keluar yang bisa dipilih. Pertama, salah satu mengalah namun mau tidak mau harus mengorbankan keluarga besar jika ternyata keluarga besar tidak merestui. Kedua, dari awal mengambil keputusan untuk mengakhiri hubungan mereka. Karena mereka sama-sama menyadari kalau hal itu hanya akan menyakiti kedua belah pihak jika terus dilanjutkan. 

Nah, namun tidak sesimpel itu dalam pengambilan keputusan. Wanita lebih cenderung menggunakan perasaannya untuk memilih jalan keluar dalam penyelesaian masalahnya. Tetapi laki-laki lebih cenderung untuk menggunakan logikanya. Dan kebanyakan kasus seperti ini wanita menjadi pihak yang lemah dan mau tidak mau mengalah dan harus mengikuti pihak laki-laki. Hal ini bisa dilihat dari beberapa faktor yang melatarbelakanginya. Selain karena perasaan, ada juga karakter wanita yang lebih cenderung mengiyakan permintaan laki-laki karena sudah menjadi sebuah kebiasaan dalam masyarakat kita kalau wanita itu mengikuti jalannya laki-laki. 

Pernah dengar lagu ini, “ wanita dijajah pria sejak dulu, dijadikan perhiasan sangkar madu” ? penggalan lagu ini mungkin bisa mnggambarkan keadaan wanita pada masa dulu waktu jaman R.A Kartini. Dengan keadaan itu pula yang mendorong R.A Kartini untuk memperjuangkan nasib para wanita di Indonesia. Membebaskan dari keterbatasan suara, ide, dan diri dari sebuah istilah yang mungkin sampai saat ini masih familiar terdengar di telinga kita. Pingit. Seperti memberi ruang terbatas untuk wanita di Indonesia untuk mengapresiasikan pilihannya masing-masing. Tapi sekarang istilah “pingit” itu sudahkan bergeser ? 
Budaya ketimuran yang masih sangat kental dan dipertahankan oleh masyarakat Indonesia menjadikan kita cenderung terikat dengan budaya patriatik. Dimana laki-laki masih menjadi pokok dalam pengambilan keputusan. Tidak hanya itu juga, kebudayaan kita yang sepertinya membatasi wanita untuk lebih menunjukkan siapa dirinya sebenarnya. Dengan kebudayaan itu menjadikan wanita Indonesia masih terkolong oleh sebuah kebiasaan di masa lalu. Yang menindikasikan kalau wanita itu tidak bisa berdiri tanpa adanya lelaki di sebelahnya. 

Namun dengan berkembangkan budaya moderenisasi menjadikan wanita lebih bisa mensejajari langkah laki-laki. Namun, apakah benar jika jaman sekarang wanita sudah memiliki kekuatan untuk bilang “ini atau itu” ? 

Seperti dalam contoh kasus tadi memberi sebuah gambaran bagaimana keadaan wanita Indonesia saat ini. Kadang wanita lebih bisa mengalahkan logikanya untuk menuruti perasannya. Namun ketika sudah berbicara soal keyakinan, tergantung dari seberapa individu itu meyakini apa yang mereka yakini selama ini. Pemikiran kolot yang masih memandang kalau wanita itu kelak akan menjadi wanita yang selalu berada dirumah dan harus berkerja dibalik layar seperti menjahit, memasak, menjaga anak, dan hal-hal lain yang berbau rumah. Memang masih ada orang-orang yang mungkin mempertahankan pemikiran itu. Beriringnya pemikiran dewasa pada jaman globalisasi ini, pemikiran kolot seperti itu semakin ditinggalkan oleh orang-orang modern. Seperti yang kita lihat saat ini, banyak wanita yang bisa menuntut kariernya setinggi mungkin dan bebas menjadi apa yang dia mau. Tidak lagi terbatas dengan pemikiran sempit yang masih selalu memandang wanita itu selalu berada dibelakangnya laki-laki. 
Ada pendapat yang mengatakan, semakin tinggi posisi laki-laki dalam kariernya bisa dikatakan dia lebih mudah memilih pasangan hidupnya. Tetapi bagi kaum wanita, semakin tinggi posisi kariernya akan semakin sulit menemukan lelaki yang bisa berada diatasnya atau setidaknya mensejajari posisinya. Ya memang tidak bisa juga memungkiri sebuah fakta yang seperti itu dalam kehidupan dewasa ini. Setiap orang seperti meninggikan standarnya ketika mereka sadar kalau mereka berada dalam sebuah level dimana mereka harus didapatkan atau mendapatkan yang juga selevel dengan posisi dan keadaan mereka. 

Jika dipandang dari sudut pandang lain, tidak mesti posisi itu yang menentukan. Tapi seberapa bisa orang itu diajak susah untuk kehidupan selanjutnya. Karena pastinya setiap wanita mau kalau diajak bahagia, namun bagaimana jika diajak untuk hidup susah ? 

“Ladies first” sering diartikan wanita yang diutamakan. Tapi apakah benar demikian artinya ? kadang wanita dianggap sebaggai makhluk yang lemah dan tidak bisa berdiri sendiri tanpa topangan dari sosok laki-laki. Memang benar adanya kalau manusia itu diciptakan untuk berpasang-pasangan, namun bukan berarti wanita tidak bisa menjadi mandiri. Kenyataannya sekarang banyak wanita yang sudah bisa berdiri sendiri dengan suara, kedudukan dan posisinya mereka miliki. Bahkan sekarang dalam kehidupan sehari-hari wanita sudah memiliki peran yang tidak dianggap remeh lagi. Sehingga setiap wanita yang ingin memutuskan untuk menjalin hubungan atau melangkah ke jenjang yang lebih serius memiliki pertimbangan-pertimbangan yang memang harus dikompromikan dengan laki-laki sebelum memutuskan sebuah keputusan besar dalam kehidupan mereka. Karena melangkah ke hubungan yang lebih serius bukan sekedar sebuah komitmen namun harus banyak hal lagi yang diselaraskan. Tidak mudah memang menyatukan dua kepala menjadi satu pemikiran yang nantinya akan dilalui bersama. Oleh karena itu saling menghargai dan tahu bagaimanna cara memperlakukan satu sama lain itu menjadi sebuah modal yang tidak bisa disepelekan lagi, dan ini bukan sekedar main-main semata. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Thankyou for reading :)