Jumat, 27 Desember 2013

[CERPEN] : Tuan Pelupa & Nona Pengingat

Awan hitam masih saja menggantung di langit kota Jogja. Rasanya udah lama matahari tidak menampakkan semangatnya. Apakah itu berpengaruh pada geliat kehidupan kota Istimewa ini ? Ah rasa-rasanya tidak. Orang-orang masih saja berlalu lalang walau harus berburu dengan waktu untuk ke tempat tujuan pada waktu yang tepat. Aku Kayla. Aku diantara ribuan mahasiswa yang ingin mewujudkan mimpiku di Jogja. Kota ini. Yah, aku selalu suka dan kagum dengan kota yang menjadi sorotan banyak orang karena Keistimewaannya ini. Begitu juga dengan aku. Aku selalu suka setiap sudut di kota yang sudah hampir 3 tahun aku tempati ini. Walau dalam keadaan seperti apapun aku tetap suka berada di tempat ini. Kota ini masih seimbang dan menahanku mungkin untuk beberapa tahun kedepan. Begitulah harapkau ketika aku menyaksikan banyak orang berlalu lalang dengan segala cerita di kepalanya masing-masing. Aku menatap jalanan yang hiruk pikuk dari balik kaca. Aku suka dan selalu suka dengan tempat pojok yang menurutku strategis di kafe ini. Dengan leluasanya aku bisa mengobservasi banyak orang yang nampak dari balik kacamata tebalku. Aku membenarkan letak kaca mata tebalku yang kata orang mungkin sudah seperti pantat botol karena tebalnya. Aku tidak menghiraukan omongan mereka. Karena aku nyaman. Lalu dimana masalahnya ? 

"Kamu masih saja suka duduk di tempat ini apakah tidak ada tempat lain yang lebih nyaman?" Suara serak namun berat itu seolah membawaku kembali ke kenyataan bahwa aku dari tadi menunggunya. Aku hanya menyunggingkan senyumku. Karena aku tahu tanpa menyusun kalimat panjang sekalipun, dia bisa tahu apa yang aku mau. Begitukah ? Entahlah, namun aku selalu berharap seperti itu.

"Kamu dari mana saja ? Kenapa muka kamu tampak seperti baju yang belum di setrika begitu ?" Tanyaku mencoba mencairkan suasana. Laki-laki berkemeja biru jins itu menggeleng tenang dan selalu saja sukses mencuri perhatianku. "Semua baik-baik saja, Nona." Jawabnya melembut sambil mengelus lengan tanganku. 

Ah. Aku memang selalu saja tersanjung ketika dia memanggilku dengan sebutan Nona. Aku merasa seperti satu-satunya dan yang terspesialkan. Benar begitukah ? Entahlah. Aku selalu berharap seperti itu. 

"Kamu selalu punya banyak alasan untuk menutupi segala perasaanmu. Aku salut padamu. Coba ajari aku menjadi pemain yang bermain peran dengan apiknya seperti kamu." Tanyaku memohonnya. Laki-laki di depanku ini menggeleng. Ah, dia tersenyum. Senyum yang selalu saja sukses meluluhkan segala pertahananku. Awalnya aku sudah bersiap untuk mengisomasi dia karena kedatangannya yang terlambat jauh dari jam yang sudah dijanjikan. 

"Lalu, jika aku pemain yang hebat, bolehkan aku belajar menjadi pembaca pikiran yang ulung seperti kamu ? Aku salut juga padamu. Kamu bisa membaca tanpa ada tulisan dan mampu mendengar tanpa ada suara. Ajari aku keahlianmu." Dia membalikkan pertanyaan permohonan itu padaku. Aku hanya mengibaskan tangan dan tersenyum. Senyumku kembali aku kulum dan lagi-lagi aku terdistraksi untuk menatap ke luar kaca di kafe tempat aku selalu merasa tenang dan nyaman. 

Apakah mungkin ini yang dinamakan saling melengkapi ? Ketika ada sebuah ruang tidak terbaca dan tidak teridentifikasi, akan ada sosok pelacak yang mampu membuka tabir misteri dalam ruang yang tersembunyi itu. Aku dan laki-laki di depanku ini misalnya, ah itu mungkin saja hanyalah harapku.

Oya, aku belum mengenalkan laki-laki yang selalu saja sukses mencuri perhatian di depanku ini. Dia adalah Raga. Aku dan dia sudah mengenal cukup lama. Aku dan dia menikmati apa yang memang seharusnya kita syukuri. Kesempatan dan waktu dengannya mungkin adalah banyak waktu yang sudah lama aku tunggu hingga kini mimpi itu jadi nyata. Aku duduk berhadapan dengan seorang lelaki yang mempunyai rahang keras, muka yang tegas, mata yang tajam, namun hatinya mampu meluluhkan wanita manapun yang sudah duduk berdua dengannya. Mungkin juga saat ini, wanita itu adalah aku.

"Hei, tuan. Sepertinya ada yang kurang dari dirimu ?" Aku mengamati Raga yang sedang sibuk di depan laptopnya. Raga menghentikan aktivitasnya, menatapku, mengerutkan dahinya seolah bertanya apa yang kurang dari dirinya. "Sebentar, biar aku amati. Yah, aku tahu. Pasti penyakitmu sedang kambuh". Ucapku dengan senyum tertahan. Raga semakin mengerutkan dahinya dan seolah kedua alisnya sudah siap untuk bertemu. "Kacamata kotakmu." Aku menjawabnya seperti seorang pemain kuis yang mendapati sebuah jawaban dari pertanyaan yang diberikan oleh pemandu acara. Seketika raga tertawa dan memegangi perutnya. Aku heran dengan sikap Raga yang seolah malah aku yang aneh dan lucu. Aku diam dan hanya melihat gelak Raga. Selalu menyenangkan memang melihat sosok di depanku  ini dengan segala tingkah polahnya.

"Nanti ketika aku menua sepertinya aku butuh orang seperti kamu yang selalu mengingatkanku dimana kacamataku ku letakkan." Kalimat itu sukses meluncur dari mulut Raga seolah tidak melewati filter yang sukses mengoyahkan pikiranku saat itu juga. Saat nanti Raga menua ? Bukankah itu adalah sebuah mimpi yang seolah tersamarkan olehku ? Selalu saja aku membayangkan bisa melihat rambut Raga yang hitam mengilap itu memutih. Senyumnya yang nampak kuat itu memudar karena kerutan diwajahnya. Ah aku selalu saja merindukan membuka jendela kamar lalu melihat Raga baru terbangun dari tidurnya karena sinar mentari yang menyusup dari balik jendela. Momen-momen itu ? Sudah-sudah, aku mencoba menghindar. Tapi lagi-lagi mungkin itu harapan besarku.

"Hei, kenapa kamu malah melamun melihatku seperti orang pikun ? Ada yang aneh dariku ?" Raga menahan tawanya malah melihatku heran. Aku menggelengkan kepala. "Ya, aku rasa kamu harus segera memberi rantai kacamata supaya kacamatamu tidak kelupaan. Atau mungkin suapa seperti anak gaul kamu harus memakai softlens supaya matamu nampak seperti lampu bangjo. Kadang merah, kadang hijau atau kuning." Aku hanya asal menjawab tatapan heran dari Raga. Aku tidak mau dia menyusup ke tempat aku berimajinasi tentang kata 'menua" yang Raga tadi ucapkan.

"Nona Kayla. Dari kacamata penerawanganku, sepertinya kamu cocok kerja di darat." Celoteh Raga smacam cenayang. "Iyakah Tuan Raga. Lalu darat yang Anda maksud dimana ya ? Apakah TNI angkatan Darat ? Atau mungkin buaya darat ? Upss." Aku mulai meladeni dia bermain drama. Raga mengangguk-angguk sambil menggaruk-garuk dagunya. "Ah ya. Bisa jadi. Kamu semacam remainder untuk mengingatkan orang-orang daratan supaya tidak lupa daratan." Ucap Raga sok serius. Aku sudah tidak bisa menahan tawa lagi. Tawaku meledak dibarengi Raga yang juga ikutan tertawa karena kebiasaan kita yang senang bermain sandiwara. 

Aku teringat satu hal akan sandiwara ? Lalu selama ini aku dan dia hanya bermain peran untuk menyempurnakan sandiwara ? Oh, bukan dia. Mungkin lebih tepatnya aku.

"Hei, Nona Kayla. Aku selalu suka tertawa sendiri kalau aku ingat kekonyolanku di masa-masa dulu kita kuliah lapangan. Seolah kamu itu tahu segala tentang aku. Ya, sepertinya yang pantas disebut cenayang itu kamu. Kamu selalu saja mengingatkanku kalau aku selalu begadang melewati tengah malam hanya untuk mengutak atik program yang belum kelar. Dan seolah kamu itu seperti alarm yang setiap 10 menit sekali bangun hanya untuk mengingatkanku tidur. Ah masa itu. Kadang aku lupa, tetapi kalau aku bertemu kamu. Penyakit lupaku selalu saja menguap." Tutur Raga panjang lebar. Seolah mat Raga menerawang ke beberapa bulan yang lalu saat aku dan dia sedang kuliah lapangan bersama. Momen-momen itu. Aku mungkin tidak akan pernah lupa setiap detail waktu yang sudah aku habiskan bersama Raga. Tapi apa ? Raga tadi mengatakan dia mengingat momen itu hanya saat bertemu aku ? Ah aku memang tidak memaksanya untuk selalu mengingatku.

Waktu rasanya cepat sekali bergulir jika kau habiskan hanya duduk berdua dengan Raga dengan segala canda yang dia lontarkan padaku. Aku dan dia itu banyak yang mengatakan cocok seperti sepaket yang saling melengkap. Ada kekurangan yang bisa ditutupi dan ada kekurangan yang bisa dihilangkan. Bukankah itu hanya kata orang ? Aku tidak menyadarinya bahwa khayalanku terlalu jauh. Aku hanya sanggup melihatnya yang sedang sibuk mengutakatik sesuatu di balik laptop putihnya. Aku menyesap es coklat kesukaanku sambil berkhayal tentang Raga yang ada dihadapanku. Raga nampak sibuk. Namun tanpa berkata-katapun aku dan dia, lebih tepatnya aku, selalu menikmati momen dengannya.

Aku melirik jam tangan. Dan lagi-lagi waktu seolah iri melihatku bersama dengan Raga. Dia seolah merengut momenku dengan Raga. Namun apa yang bisa diperbuat dengan waktu, dia hanya menjalankan misinya membawa manusia pada satu kata, yaitu realita.

"Hei Tuan Raga. Waktu sudah menujukkan pukul 19.00. Bukannya dalam SMSmu semalam kamu bilang mau menjemput pacar cantik dan cerdasmu itu." Aku mengatur kata-kataku setenang mungkin agar tidak ada kesan iri di dalamnya. Raga menepuk dahinya. "Ah Nona. Kamu benar sekali. Hampir saja aku lupa untuk menjemput pacarku tercinta. Memang kamu sobat terbaikku. Selalu ada disaat yang tepat." Ucap Raga tanpa memperhatikan raut mukaku yang seolah engan melihat dia pergi dari hadapanku. 

Raga segera menutup laptop putih kesayangannya dan segera beberes untuk menjemput wanita tersayangnya. Aku dan dia jarang membicarakan waita tersayang yang selalu Raga banggakan itu, hanya saat Raga sedang ada masalah dengan wanita tersayangnya itu. Raga barumu bercerita. Yah, lebih bagus begitu pikirku. Karena aku tidak ada nama lain yangs eolah mengambang diudara dan membuatku terasa amat jauh dengan Raga.

"Nona, terimakasih atas perhatian darimu. Kamu memang sahabat terbaikku. Beruntungnya aku menemukanmu, Nona. Sampai berjumpa di lain kesempatan." Raga berbicara dengan mulusnya dan pergi begitu saja sambil mengacak-acak rambutku. Aku hanya mampu berusaha tersenyum sebisaku. Ini bukan keahlianku untuk menjadi pelupa yang ulung tentang masa-masa terbaikku bersama Raga. Kenapa harus ada kata sahabat sebelum kata terbaik yang Raga baru saja ucapkan ? Ah sudahlah, waktu memang sellau sukses mengembalikkanku pada realita. Dan sekarang aku lagi-lagi sendiri menatap realita yang ada membingkaiku untuk sekedar sadar bahwa tadi Raga menyebutku seorang sahabat. 

Tiba-tiba udara disekitarlku seolah menghampa. Aku tersadar satu hal, aku terlalu suka mengingat apa yang seharusnya aku lupakan. Mungkin suatu saat aku akan belajar untuk menjadi pelupa seperti Raga dan hanya ingat disaat-saat tertentu. Bukannya mengingat di sepanjang hariku. 

Sabtu, 21 Desember 2013

RIVAL

Dalam diam bukan berarti tidak banyak yang bisa dilakukan. Lihat saja, dinding-dinding dingin dan beku itu seolah menertawakan kekosongan yang telah lama menghampa bahkan mungkin lama tak tersinggahi. Lihat saja, kesombongannya seolah menertawakan kesendirian yang hanya akan mengerogoti waktu yang tak segera menjauh. Lalu apa yang diinginkan dari senyum kecut itu ? Hei senyum-senyum sinis, masih dengan angkuhkah kamu akan selalu dengan caramu yang masih saja sama dari waktu ke waktu ? Tidakkah kamu lelah dengan kesombongamu itu ? Tidak. Ini bukan tentang sebuah belas kasian. Bahkan mungkin tidak membutuhkan semua itu. Karena ada hal yang masih bisa dipercaya, karena ini akan berlalu. Ah, tidak ada gunanya memang kalau nyatanya hanya saling menertawakan keadaan yang engan berganti warna ini. Mungkin posisi ini tidak selamanya menjadikan kita sebagai seorang musuh. Ah, tapi nyatanya kamu masih saja tetap menertawakan kesendirianku. Tidak, aku tegaskan lagi. Aku tidak butuh belas kasian darimu. Karena yang aku tahu hanya kesombonganmu yang seolah tidak menyadari bagaimana keadaan dirimu sendiri.

Oke. Kalau ini maumu. Mau sampai kapan kita akan saling menyebut sebagai rival ? Rival dalam kegelapan, rival dalam kekosongan, rival dalam kesendirian atau bahkan rival dalam kesepian ? Bukannya kamu akan lebih menertawakan keironisan kata-kataku ini ? Tidak, harus berapa puluh kali lagi aku menyatakan padamu bahwa aku tidak butuh belas kasianmu. Lalu bagaimana dengan tawaranku, mungkin kita bisa saling memahami keadaan kita masing-masing. Bukankah kamu selalu dan selamanya akan menjadi sosok diam, dingin dan tetap kekeuh dengan keadaanmu saat ini ? Jika kamu tahu, aku tidak akan menganggapmu sebagai musuhku. Aku ingin bersahabat denganmu. Tapi ternyata balasanmu masih saja tetap sama. Bahkan pandanganmu nampak sinis melihatku, ehm mungkin lebih tepatnya lagi kamu mengangapku nampak sendu memintamu untuk menemaniku. Lalu selain kamu kemana lagi aku mampu bersembunyi dibalik keriuhan di luar sana ? Bukankah di luar sana akan nampak lebih sombong dari apa yang ada dalam diam disini ?

Ayolah. Aku bukan menantangmu untuk saling berbentur ego dalam kesendirian. Coba saja, kita mungkin bisa saling mengisi. Meski aku tahu dan sadar, kamu akan tetap dalam posisimu saat ini. Hahaha. Yah, kamu pasti akan tertawa seperti apa yang baru saja aku lakukan. Aku memang bisa saja meninggalkanmu dan memamerkan padamu keramaian diluar sana yang bisa aku dapat ? Tapi selama ini apa buktinya ? Ada sisi lain yang memintaku untuk tetap bersembunyi di balikmu. Walau aku tahu kehangatan yang kamu beri mungkin berbeda dari apa yang aku cari. Namun disini satu-satunya tempat yang memberi aku ruang dan waktu berbincang dengan sisi lain dari diriku yang seolah aku anggap baik-baik saja. Tapi apa nyatanya ? Dia meronta, memintaku untuk diperhatiakan, lantas dia memintaku untuk tetap berjuang. Kamu pasti penasaran sebenarnya apa yang aku cari ? Sudah tidak perlu kamu melontarkan pertanyaanmu itu. Sini biar aku beritahu. Yang aku ingin adalah sebuah pencapaian. Bukan berada ditengah keramaian jika nyatanya ada jiwa kita yang kosong, namun pencapaian bahwa waktu yang aku lalui telah terlewati dan nyatanya aku bisa. Namun sepertinya itu masih terlampau jauh dari pandangan. Anggap saja ini prosesku menuju tempat itu.

Hei kamu dinding-dinding dingin, kaku dan nampak egois. Sudah abaikan saja semua yang ada saat ini. Anggap saja kita ada untuk saling bersimbiosis memainkan peran kita masing-masing. Aku berlindung dibalik bahumu dan kamu akan tetap saja sama dengan posisimu sata ini. Yang seolah mengejekku karena apa yang aku lakukan saat ini. Aku anggap kita rival, rival yang akan saling membuktikan siapa yang akan lebih bisa bertahan. Aku bukan takut, namun aku tahu aku hanya membutuhkan satu tempat untukku mengerti apa yang saat ini aku jalani adalah jalanku menuju pencapaian yang tadi aku ceritakan. Masih butuh kata-kata yang seperti apa lagi ? Ah aku tidak mau terlalu banyak berujar padamu. Bukan takut membuang terlalu banyak waktu, tapi mungkin ini hanya akan semakin menujukkan sisi lainku untuk kamu ketauhi sebagai titik kelemahanku buat kamu kalahkan. 

Rabu, 18 Desember 2013

Dalam Penjamku

Aku hanya membawamu dalam terangku namun nyatanya kamu selalu mengikutiku dalam gelapku. Aku berlari namun nayatanya kamu tidak pernah lagi menungguiku untuk kembali. Kamu tetap bertahan meski itu tidak akan pernah mungkin terjadi. Aku tidak banyak berharap. Aku hanyalah sosok yang mengais-ngais sisa waktumu yang tertunda. Berharap, berharap semuanya masih tetap sama. Namun nyatanya aku hanya terhibur oleh imajinasiku sendiri. Kamu telah menuai cinta lain di tempat barumu. Aku mungkin harus pergi. Pergi bukan untuk meninggalkanmu. Namun aku pergi untuk kembali melihatmu bahagia. Bukti seperi apa lagi yang mampu menjelaskanmu dalam diamku. Aku hanya sesosok pribadi yang jauh dari anggan untuk berdiri disampingmu. Menenangkanmu, mendamaikanmu dan mengatakan bahwa semuanya baik-baik saja. Bukankah itu semua hanyalah omong kosong ? Aku memilih untuk pergi, pergi untuk mencari sisa bayanganmu yang masih bisa aku temukan di tempat yang lain. Dia yang terbaik yang ada untukmu. Memberimu ruang untuk menuai cinta yang selama ini kamu nanti. Siapa aku ? Aku tak punya kuasa untuk meminta waktumu barang sedetikpun untuk kembali lagi disini. Bukankah masih akan tetap sama elegi di pagi hari tanpa kamu lagi  ? Elegi itu hanya terdengar semu karena nadanya mengihilang menemukan harmoni yang lain untuk menjadikannya lebih merdu. Bukan maksud hati untuk membimbingmu menemukan jalanmu kembali, bukan kuasaku untuk menahamu lebih lama lagi. Lihat saja disana, bukan disini. Disini hanyalah hidup dalam bayangan yang tak pernah jadi nyata. Ini hanya sebuah harapan yang terucap dalam doa. Aku selalu mampu mendapatimu menemukan jalanmu untuk hidup lebih lama lagi. Kamu jauh. Jauh untuk menjemput bunga yang kini bermekar di tempat yang lain. Tidakkah disini lebih tandus dan hanya akan membung waktumu percuma ? Sudah tidak lagi perlu kamu hiraukan segala keadaanku ini. Ini hanya sementara. Ini hanya masalah waktu. Bukankah aku masih bisa bertemu dengangmu meski itu dalam penjamku ? Aku tak bisa mengendalikan alam untuk selalu berpihak padaku, aku hanya bisa mengerakkan imajiku untuk kembali duduk bersamamu dalam pejamku. Tidak butuh waktu lama untuk melihatmu memetik bunga yang sungguh indah untuk menemani perjalananmu. Tenanglah tenang. Aku akan baik-baik saja. Ini jalan yang memang menemukan kita pada persimpangan. Siapa yang pernah menginginkan ini ? Lekas hapus saja air matamu itu. Sayang air matamu mengalir untuk menemukan jalan pulangnya. Meski aku sadar itu bukan untuk aku. Ini hanya semacam retorika untuk mengijinkanmu pergi. Pergi dan mungkin tidak akan pernah lagi menengokkan kepalamu sekalipun kebelakang. Ingatlah aku akan terus disini. Dalam pejamku aku hanya meminta dalam wujud doaku. Namamu selalu bahagia di duniamu. Dunia yang kini berbeda, dunia yang kini tak lagi sama. Dalam pejamku aku berjanji akan selalu menemukan namamu meski itu telah terlapisi oleh kenangan lain. Namun, dalam pejamku aku mampu mendamaikan hatiku dalam pelukan semua kenangan bersamamu. 

Selasa, 17 Desember 2013

terima kasih bijaksana

Terimakasih. Satu kalimat itu yang mungkin bisa menjabarkan banyak hal yang ingin terucapkan. Bukan kata-kata yang bisa menyentuh hati banyak orang, bahkan tidak bermaksud untuk membuat kata-kata puitis yang mempu menyanjung banyak orang. Dengan kalimat sederhana, mencoba untuk menjabarkan dari hal tidak terdefinisi sekalipun menjadi kata yang patut diucapkan kepada semesta. 

Terimakasih akan nafas yang masih bisa terhirup sampai pada detik ini. Alam sungguh berbaik hati menyediakan sesuatu yang tak terbatas persediaannya untuk memberi satu detik kesempatan kedepan untuk melihat dunia lebih dekat lagi. Tidak akan pernah terbayangkan jika alam ini keras hati untuk memberi sedikit kehidupan untuk menemukan sebuah langkah baru yang dicari oleh setiap pribadi. Alam ini adalah tempat dimana banyak orang diberikan ruang untuk menuliskan cerita kehidupannya masing-masing. Mulai dari warna yang disukai maupun warna yang paling dihindari sekalipun, namun warna itu yang menjadikan canvas kehidupan menjadi sebuah lukisan indah yang tidak akan pernah tertandingi oleh hal lain sekalipun. Masih selalu membandingkannya dengan canvas milik yang lain ? Oh betapa tidak bersyukurnya hidup ini jika yang dilihat adalah sebelah kiri dan kanan yang seharunya menjadi pemacu semangat untuk menjadi lebih baik. Bukan malah menjadi titik perbandingkan untuk terus mengeluh dan merasa tidak puas bahkan kurang akan apa yang dimilikinya saat ini. Dengan adanya ketidakpuasan itu, tidak bisa diabaikan lagi sebuah rasa saling iri hati yang sejatinya hanya akan menghancurkan diri sendiri. Kenapa tidak ? Selalu menjadikan orang lain pesaing, lalu kapan sejenak ingin duduk bersama dan saling berbagi ? Yah, karena dunia ini memang penuh dengan hawa persaingan. Tidak lagi memandang siapa dia, sahabat atau musuh. Bahkan yang dekat menjadi rival yang pantas untuk dikalahkan. Oh, betapa ironisnya dunia saat ini jika cinta kasih semakin terkikis. Mungkin dalam hitungan jari lagi semua orang hanya akan saling mendendam dan saling membanggakan diri akan harta, kekuasaan dan pangkat yang mereka miliki. Lalu kapan lagi, setiap orang mampu saling menyapa dengan nada yang lembut berlandaskan kasih ? Atau mungkin itu hanya tinggal di dunia dongeng saja ? Bukankah memberilah untuk menerima ? Apakah dalil itu masih berlaku untuk saat ini ?

Terimakasih masa lalu. Banyangkan saja jika tidak ada masa lalu yang pasti tidak akan ada masa kini. Mungkin apa yang dijalani saat ini adalah bagian dari imajinasi masa lalu. Kehidupan yang lebih baik, pengharapan yang lebih nyata dan perjuangan yang lebih ketat. Banyak pribadi yang mengabaikan masa lalu, lupakan semuanya. Oke, baik. Memang benar jika mobil yang sedang berlaju tidak akan mungkin terus menerus melihat kaca spion, karena di depannya ada kaca yang lebih besar untuk dipandang. Namun, walaupun kecil bentuknya, kaca spion juga mampu menjamin keselamatan kita untuk sampai di tempat tujuan kita. Jas merah, itu yang dikatakan oleh para pejuang pendahulu kita. Mungkin itu lebih tepatnya, mereka tidak ingin terlupakan begitu saja atas apa yang mereka berikan untuk penghidupan anak cucunya di masa saat ini. Tidak akan ada pernah salahnya untuk selalu mengingat orang lain, agar apa yang dilakukan saat inipun tidak terlupakan oleh yang akan datang. Melakukan yang terbaik namun harus siap dengan kemungkinan terburuk sekalipun. Selalu berupaya untuk memberikan yang terbaik, namun kadang alam menolah untuk menghargainya karena apa yang dilakukannya hanya karena pamrih. Seperti seorang investor yang ingin menanamkan modalnya ke banyak bidang, dan takut untuk ambil rugi. Namun sekalinya mereka rugi, selalu ada alasan untuk menyalahkan atas kerugian yang menimpanya. Lalu bagaimana jika yang dilakukan itu berdasarkan cinta kasih ? Baik itu akan rugi maupun untung, semua itu karena ketulusan. Dia tidak akan mengharapkan balasan mekipun dunia akan menertawakan karena kebodohannya. Lalu buat apa takut ditertawakan namun yang ada kita mendapatkan balasan kedamaian ? Itu hanya soal pilihan.

Terimakasih bijaksana karena itu yang akan mendewasakan. Dia menuntun menuju sebuah tempat dimana bukan hanya kepuasan diri yang menjadi tujuan namun pelayanan yang tulus yang menjadi acuan. Disitu mungkin lagi tidak ada perseteruan, namun yang ada hanyalah persahabatan. Disana mungkin lagi tidak ada iri hati karena disana dimungkinkan hanya saling memberi. Bukan untuk saat ini, namun terimakasih bijaksana karena itulah yang melahirkan sebuah keharmonian. Tidak perlu menjadi yang terkenal jika menjadi bermakna itu lebih bisa menjadikan kedamian bagi sesama. 

Sabtu, 14 Desember 2013

tuan alien

Anggap saja aku tinggal di sebuah planet. Menurut orang planetku sangat menyenangkan dan membuat banyak orang penasaran. Banyak peneliti yang mencari tahu bagaimana keadaan di planetku, entah dengan cara apapun manusia selalu mencoba segala hal. Karena aku tahu bahwa manusia adalah mahkluk yang penuh tanda tanya. Manusia ingin selalu menciptakan sebuah temuan baru yang bisa membawa namanya berkibar ke berbagai negara, entah karena penemuannya atau karena dalilnya. Lupakan saja manusia yang selalu mencoba menciptakan sebuah "dunia" sendiri yang menurutku itu adalah hal konyol. Pasti kamu bertanya-tanya kenapa aku mengatakan hal itu ? Yah, asal kamu tahu, coba lihat saja manusia dengan segala kearoganannya seolah dia yang paling tahu akan apa yang akan dia temui nantinya, seolah bisa menerawang jauh akan seperti apa nantinya jika planet yang dinamakan bumi itu semakin mendekati matahari atau semakin jauh dalam lingkaran Galaksi Bima Sakti. Biarkan saja mereka berkutat dengan penelitian mereka akan perkiraan-perkiraan yang seolah bisa diputar balikkan dalam sekejap mata.

Walaupun aku mengatakan bahwa diriku tinggal disebuah planet namun aku tidak akan berusaha membanggakan seperti apa planet yang aku huni saat ini. Namun kali ini aku hanya ingin memberitahukan kepadamu sebuah rahasia.Kamu tahu ? aku seolah seperti alien. Bukan, aku tidak hanya akan menyebut diriku alien. Aku juga akan menyebut dirimu alien. Pasti di bayangan kamu saat ini, alien adalah mahkluk yang bertubuh kecil, yang seolah memiliki tangan dan kaki kecil, namun memiliki kepala yang cukup besar bahkan mungkin wajahnyapun tidak bisa didefinsikan. Kedengarannya menyeramkan, tapi aku tidak akan mengomentari keadaanku sendiri. Aku hanya ingin bercerita kepadamu tentang keadaanku dan kamu.

Kita adalah sesosok alien yang seolah tersesat dari tempat kita berada saat ini. Ada suatu masa yang
membuat aku tahu bahwa aku berada di tempat yang lain dari aku tinggal. Aku menemukan sebuah dimensi baru, dimensi akan sebuah pemikiran yang mengenalkanku pada sebuah kekuatan semesta. Mereka saling bersinkronisasi membentuk sebuah pola, dimana pola itu akan mengisahkan sebuah cerita. Cerita itu yang menjadikan aku dan kamu saling bersinggungan. Aku hanyalah sesosok alien yang tersesaat dan kamu juga sama halnya denganku. Kita saling mencari jalan utuk pulang namun apa jadinya ? Kita saling bertegur sapa untuk sedikit membagi kisah bagaimana dunia kita masing-masing. Seperti apa bentuk-bentuk di planetku begitu juga dengan kamu. Dasar kamu tuan alien, apakah di planet kamu diajarkan semuanya untuk menjadi sosok yang angkuh ? Ya, itu yang aku lihat di kamu saat ini. Jangan salahkan aku jika nyatanya aku hanya menilaimu dari apa yang aku lihat. Karena kita hanya saling bersinggungan tanpa saling terikat untuk membentuk sebuah ikatan semacam ikatan molekul kimia. Oh Tuhan, sejauh itukah aku harus mengibaratkan diriku dan dirimu. Aku bahkan tidak ahli dalam berdalil kimia atau semacamnya. Mungkin kamu lebih tahu tentang dalil-dalil kimia yang rumit itu. Yah, aku memang selalu payah tentang satu hal. Tentang mengingat, namun yang tidak pernah bisa aku lupa adalah momen dimana aku kebetulan bertemu denganmu, tuan alien. Oke, aku tahu, aku dan kamu selalu saling mengingatkan kalau di dunia ini tidak ada yang kebetulan. Tapi aku rasa, aku dan kamu yang sama-sama tersesat adalah kebetulan yang mengejutkan. Dan, ehm entahlah.

Yang aku tahu, ketika aku keluar dari planetku aku menemui sebuah tempat dimana sebenarnya tempat itulah yang lama aku tunggu. Namun, aku terlalu sadar, atmosfer yang kita hirup tidak sama. Cuaca dan musim di planetmu berbeda dengan di tempatku. Aku baru sadar bahwa senyamannya aku berada dalam planetmu, aku hanya akan bertahan sebentar, tidak ada alasan yang bisa membuatku untuk terlalu lama bertahan di tempatmu. Maka dari itu aku dan kamu memilih untuk tersesat. Tersesat di sebuah planet yang baru bagi aku dan kamu. Disitu kita bisa menciptakan atmosfer sendiri bagi kehidupan kita, untuk apa yang kamu hirup dan apa yang bisa aku hirup juga. Kita bisa saling berbagi ruang untuk bernafas, kita bisa menciptakan imajinasi akan sebuah tanah nan lapang yang akan kita gunakan untuk memanjakan diriku dan dirimu. Tapi sekuat apa aku dan kamu berusaha, ternyata tempat itu tidak mampu menampung kita terlalu lama lagi, bukan sebuah penolakan. Tapi, aku baru tahu ternyata semensta di planet ini membuat kita tahu bahwa kita melupakan sebuah kata realita. Kita berlari dan seolah besembunyi untuk membuat dunia baru bagi kita, namun sejauh apapun kita berlari kita harus kembali ke tempat asal kita masing- masing. Aku ke planetku begitu juga dengan kamu. Kita tidak akan terus menerus bersembunyi dibalik kata tersesat. Karena realita menarik kita untuk kembali ke dunia nyata yang menyatakan bahwa dirimu dan diriku hanyalah dua alien yang tanpa sengaja bertemu. Dan kini aku dengan jiwa alienku harus kembali melanjutkan hidupku di planetku dan kamu meneruskan hidupmu di planetmu. Aku disini dan kamu disana. Bukan kemauanku dan kemauanmu untuk saling menjauh namun ternyata hukum realita itu yang mebuat kita kembali ke jalan kita masing-masing. Jangan dipersalahkan akan ketersesatan kita, anggap saja itu adalah masa dimana kita tahu bahwa nantinya akan ada sebuah planet baru yang bisa kita huni walaupun kita tidak akan pernah saling terhubung.