Apa
itu psikologi lintas budaya ? Psikologi lintas budaya adalah studi ilmiah
tentang perilaku manusia dan transmisinya (penyampaiannya) dengan melihat
bagaimana perilaku tersebut dibentuk dan dipengaruhi oleh nilai sosial dan
nilai budaya (Segall, Dasen, Berry, dan Poortinga, 1990). Psikologi lintas
budaya dianggap sangat penting dewasa ini. Mengapa ? Seperti yang kita ketahui
Indonesia memiliki berbagai macam kultur dan budaya seperti semboyan bangsa
kita yaitu Bhinneka Tunggal Ika. Walaupun Indionesia kaya dengan berbagai macam
suku, budaya, bahasa, agama dan apapun namun tetap satu jua yaitu Bangsa
Indonesia dan disatukan oleh bahasa Indonesia.
Apa
sih sebenarnya tujuan dari psikologi lintas budaya sendiri ? Yah selain untuk
mempelajari keutuhan dari penggabungan dari keanekaragaman budaya, psikologi
lintas budaya juga dapat menguji generalisasi teori dan pengetahuan terhadap
psikologi yang sudah ada. Selain itu juga untuk menjelajahi budaya lain untuk
menemukan variasi psikologis yang tidak dapat dijumpai dalam budaya sendiri
yang juga terbatas. Yang paling penting yaitu usaha untuk menyusun dan
mengintegrasikan psikologi yang beranekaragam sehingga muncul psikologi yang
universal.
Dengan
keanekaragaman budaya yang dimiliki oleh setiap daerah ataupun negara akan ada
dampak yang bisa dilihat dengan gamblang. Pembentukan identisa. Pembentukan
identitas itu perlu pemahaman atas konteks historis dan sosial dari etnistas
dan ras : ada adat, keyakinan, pengalaman alkulturasi, perbedaan liguistik,
perbedaan struktur keluarga. Karena sejatinya setiap kelompok itu memiliki
sejarah yang unik. Dengan begitu identitas adalah untuk mengetahui siapa diri,
posisi dalam sistem kehidupan mikro, meso, ekso, dan makro. Contohnya seperti
ini, anak merupakan produk dari keluarga. Karena anak yang terlahir dari
keluarga satu dnegan keluarga yang lain akan berbeda-beda dalam proses
perkembangannya, karena setiap keluarga memiliki cara pengasuhan dan pola norma
yang berbeda-benda. Dengan demikian jika seorang anak yangd ari kecil
dibiasakan untuk mandiri, kemungkinan remaja dan dewasanya, ia akan menjadi
sosok yang tidak tergantung akan orang lain. Hal ini dikarenakan adanya
pembentukan identitas dari awal di keluarga si anak tersebut. Inilah yang
kemudian di internalisasi oleh anak tersebut hingga remaja bahkan dewasa dan
tua.
Selain
adanya pembentukan identitas dari keluarga, seseorang juga tinggal ditenggah
kelompok. Dimana pembentukan identitas juga dipengaruhi oleh kelompok etnik dan
ras, dimana seseorang akan mengidentifikasikan kelompok mana yang lebih
disukai, dan sikap yang bagaimana yang harus ditunjukkan seseorang pada
kelompoknya dan kelompok mayoritas. Hal ini yang disebut dengan etnisitas.
Namun, ketika perbedaan cara pandang mempengaruhi diri dan identitas seseorang ditengah kelompoknya maka akan
muncul fanatisme pada diri orang tersebut. Contohnya, konflik antar kelompok
terjeadi karena individu merasa menjadi nagioan dari satu kategori dan tidak
pada kategori yang lainnya. Misal, seseorang lebih merasa sebagai mahasiswa UGM
(ketika bersama dengan mahasiswa dari universitas lain) daripada sebagai sesama
orang Jawa (yang juga ada pada universitas lain. Hal ini yang kadang
menimbulakn kefanatikan akan suatu kelompok.
Seperti
yang sudah dijelaskan diatas. Bagiaman nantinya dinamika masyarakat itu
berjalan semuanya bermula dari individu yaitu anak yang dibesarkan dalam sebuah
keluarga. Ketika berbicara tentang anak dan keluarga ini erat kaitannya dengan
proses pengasuhan anak. Kesimpulan dari penelitian J.W Whiting dan Child (19530
mengatakan bahwa cara mendidik anak dalam beberapa aspek berkaitan dengan masalah perilaku dan cara mendidik anak berbeda disetiapkebudayaan.
Perkembangan pada bayi itu sendiri bisa dilihat dari tiga macam perkembangan
yaitu phylogenic approach, cultural approach, dan otogenic approach.
Apa
itu phylogenic approach? Membandingkan manusia dengan spesies lain dalam skala
phylogenic. Perkembangan psikologis dipelajari misal : attachment, maternal
care, penyapihan, dan lain-lain. Sedangkan Holocultural approach dapat dilihat
dari pendekatan holocultural yang memberikan bukti untuk generalisasi yang luas
tentang hubungan aktivitas ketahanan ekonomi dan cara pengasuhan anak. Contoh
penelitian Whiting tentang cara menggendong anak dalam hubungannya dengan suhu
tahunan. Dan yang terakhir yaitu psychological approach yang bertujuan
mengamati, menggambarkan, dan mengukur perilaku individual (terutama pada ranah
psikomotor) dalam berbagai setting lapangan. Seperti yang diketahui dalam
berbagai penelitian menunjukkan bahwa perkembangan bayi tidak dapat lepas dari
pengaruh lingkungan.
Kita
tidak bisa lepas dari lingkungan dimana kita tinggal. Dengan begitu mau tidak
mau ada nilai, ada norma dan ada kolektifitas ataupun individualisme. Dengan
adanya dinamika dalam kelompok itu diperlukan sebuah soisalisasi untuk lebih
bisa beradaptasi dnegan lingkungan dimana kita tingggal. Sosialisai perilaku
berkaitan dengan berbagai faktor kultural, misalnya stratifikasi sosial dan
faktor ekologis, misal ketahan sosial dan kepadatan populasi. Hal itu juga bisa
dilihat dari tiga sudut pandang yang berbeda. Yang pertama karena stereotipe
gender, misalnya anak-anak mendapatkan melalui proses enkulturasi dan
sosialisasi dalam masyarakat. Yang kedua, ideologi peran-seksual, misalnya
keyakinan tentang seperti apa yang harus dilakukan oleh laki-laki atau
perempuan, ada perbedaan antara masyarakat tradisioanl dan egalitarian. Dan
yang terakhir yaitu karakteristik psikologis, misalnya kemampuan kognitif (pada
literatur barat), konformitas dan agresi.
Semua
aspek seperi individu, norma, nilai, sosialisasi, pengasuhan pada akhirnya
tercakup dalam lingkup yang lebih besar dan universal yaitu budaya. Banyak
pengertian tentang budaya karena bisa dilihat dari definisi deskriptif,
historis, normatif, psikologis, struktural dan genetik. Semua definisi itu
memandang arti budaya dari sudut pandang yang berbeda.
Pada dasarnya lintas budaya adalah untuk mempelajari budaya
yang bersebrangan dan berbeda. Dengan dasar itu akan ada interkulturasi yang
harus dipahami untuk lebih bisa mengetahui persamaan dan perbedaan antara
budaya satu dnegan budaya lainnya. Turis menjadi salah satu contoh kelompok
yang mengalami kontak interkultural. Dimana turis itu sendiri menurut
Worl
Tourism Organisation adalah
“pengunjung yang tinggal lebih dari 24 jam di
tempat yang jauh dari rumah dan yang insentif dari perjalanannya adalah hal
selain finansial”. Psikologi banyak menyumbang pemahaman terutama dalam hal
pengalaman turis dari prespektif individual, dna mengukur pengaruh tirisme pada
interaksi interkultural dan hubungan antar kelompok.
Turis itu sendiri memiliki faktor-faktor
sendiri mengapa mereka melakukan perjalalanan, dimana faktor pendorong itu
antara lain pemandnagan alam, sport dan seks,
dan sedikit motif tentang belajar budaya. Tidak sedikit pula turis yang
mengalami pengalaman stressful karena harapannya tidak realistik, dan juga
adanya pengalaman
culture shock.
Tidak
hanya turis saja yang menjadi objek dalam konteks interkultural karena ada juga
pelajar internasional. Banyak dari kita yang memiliki keinginan untuk
bersekolah di luar negeri dan bahkan mungkin sudah menjalaninya saat ini.
Tinggal di negara orang dnegan budaya yang terntunya berbeda dahn harus
beradaptasi untuk tetap bertahan di tempat itu demi sebuah tujuan. Yang harus kita ketahui bahwa pelajar luar negeri
menjadi bagian dari industri ekpor, dimana mereka menyumbang banyak secara
finansial pada negara tujuan. Bukan hanya turis dan pelajar internasional saja
banyak kelompok-kelompok lain yang mengalami interkultural misalnya pelaku
bisnis internasional, imigran dan
pelarian.
Tidak
sedikit hasil dari kontak interkultural itu menyebabkan adanya berbagai masalah
ataupun persinggungan yang sadar dan tidak sadar terjadi dan hal itu
dikategorikan dalam 4 kategori, yaitu genocide, asimilasi, segregasi atas
out-group oleh in-group, dan intergritas. Yang akian dibahas disini yang sangat
erat kaitannya dengan pemasalahan indonesia belakangan ini, yaitu asimilasi.
Apa itu asimilasi ? Asimilasi merupakan istilah digunakan untuk menggambarkan “pencaplokan”
suatu budaya oleh budaya lain. Seperti yang marak belakangan ini, misalnya
pengklaiman tari Tor-tor yang sudah jelas-jelas miliki masyarakat Indonesia
khususnya Medan diaku sebagai budaya Malaysia. Disaat seperti ini terlihat
jelas bahwa masyarakat Indonesia sendiri tidak menjaga dengan baik apa yang
menjadi warisan dari nenek moyang, tatapi kalau dsudah menjadi masalah seperti
diklaim oleh Malaysia barulah marak dibicarakan dan rasa nasionalismepun
menjadi dipertanyakan. Selain itu ada
genocide yaitu pembunuhan oleh satu kelompok yang biasanya merupakan mayoritas
atau mempunyai sumber teknologi yang superior terhadap semua anggota dari
kelompok lain. Misalnya, pembunuhan massal oleh Nazi.
Ada
banyak persamaan dan perbedaan budaya yang dimiliki oleh setiap kelompok. Pengenalan budaya itu sendiri melalui
berbagai proses yang berbeda sehingga mampu diinternalisasi oleh orang yang ada
dalam kelompok tersebut. Enculturation
adalah pengenalan budaya karena individu dilingkupi oleh budayanya.
Penyerapanpun tidak selalu terjadi secara sengaja atau didaktis melainkan
sering kali terjadi tanpa pembelajaran khusus.
Sosialisasi adalah proses pembentukan secara sengaja, melalui bimbingan
pada individu. Hasil dari enculturation dan sosialisasi adalah kesamaan
perilaku dalam budaya dan perbedaan perilaku antarbudaya, dan hal ini merupakan
mekanisme penting yang berpengaruh terhadap kesamaan dan perbedaan
karakteristik psikologis dalam level individu. Sedangkan acculturation adalah
perubahan kultural dan psikologis yang terjadi karena kontak dengan orang-orang
yang berasal dari budaya lain yang memunculkan budaya yang berbeda.
Setelah
mengetahui apa saja yang menjadi dinamika kita dalam masyarakat tidak ada
salahnya jika mulai sekarang kita belajar untuk mencintai apa yang menjadi
budaya kita dan melestarikannya. Jangan sampai keaslian budaya yang kita miliki
tergerus oleh budaya luar yang menghilangkan jati diri kita sebagai bangsa yang
mandiri, bebas dan multikultural. Karena itu yang sebenarnya menjadi aset kita
dalam menjaganya sebagia sebuah aset yang tak ternilai harganya. Dan yang lebih
harus dipahami lagi, setiap orang terlahir, dibesarkan dan berproses dari latar
belakang budaya yang berbeda dan tidak diragukan lagi kalau setiap orang itu
harus dipahami karena memiliki sebuah individual differencess. Walaupun jika
ingin digeneralisasikanpun variabel perbedaan antara satu orang dnegan orang
lain itupun akan tetap selalu ada. So, mulai sekarang mari belajar untuk saling
menghargai perbedaan yang ada. Karena dengan perbedaan itu kita akan menjadi
tahu dan lebih mengerti apa itu kebersaan. Bahkan pelagipun terdiri dari warna-warna
yang berbeda. Merah, jingga, kuning, hijau, biru, ungu, dan beranekaragam lagi.
Namun hal itulah yang menjadikan pelagi indah karena terdegradasi dari berbagai
macam warna yang berbeda.