Jumat, 21 Februari 2014

[CERPEN] : PEMERAN UTAMA

"Hallo selamat berjumpa lagi." Sapaku enggan. Senyum itu. Ya senyum itu yang ternyata masih sama seperti beberapa tahun yang lalu. Belum berubah. Senyum asimetrisnya yang selalu mengesankan bahwa dia adalah sosok yang selalu tampak egois bahkan mungkin arogan. Ah aku mencoba mengabaikan sebuah stereotipe yang tidak berubah dari dulu. Bukan dariku saja namun banyak orang disekitarku yang selalu mengatakan hal yang sama. Kalau begitu bukankah itu disebut objektif ? Lelaki yang tidak lebih tinggi dari aku ini mengulurkan tangannya menyapaku. "Sombong." Ucap dia singkat mengawali perjumpaan antara aku dan dia setelah sekian lama kita tidak saling bertegur sapa. Oh lupa, mungkin aku dan dia suka bertegur sapa namun itu hanya seperlunya sebelum semua kontakku dan dia dihilangkan jejaknya oleh nona yang sekarang sudah meratui dikehidupannya. Ya siapa lagi kalau bukan wanita yang selalu ada dihari-harinya beberapa tahun terakhir ini. Bukankah sebagai seorang yang selalu berharap yang terbaik untuknya aku harus ikut bahagia akan kenyataan ini ? Memang seharunya begitu.

Aku coba menegakkan dudukku. Seketika keadaan menjadi lebih canggung untuk kembali lagi mencari titik antara aku dan dia kembali menemukan keseimbangan. Dia nampak berdiri dengan kikuk. Tidak jauh berbeda dengan aku. Namun itu dia keahliannya, dia selalu bisa menampakkan dirinya yang tangguh meski aku tahu perasaan itu masih akan tetap sama. Semoga itu bukan hanya harapku. 

Aku singkirkan tas backpack yang sudah aku anggap sebagai sobat perjalananku yang menemaniku kemanapun aku pergi. Aku singkirkan dia di sebelahku untuk membatasi ruangku dan dia. Seperti duniaku dan dia yang ternyata masih terbentengkan. Ah kenapa dunia seolah lambat berputar. Aku mengerutu sikap kakuku sendiri. Bukan seperti ini seharunya. Aku harus bersikap biasa saja. Ini konsekuensiku karena telah mengiyakan melakukan perjalanan dengannya. Memang kali ini bukan cuma aku dan dia yang akan melakukan perjalanan dengan tujuan yang sebenarnya sudah aku lakukan sebelumnya. Ada Iva yang bergabung dengan aku dan dia. 

"Nya, nggak usah grogi gitulah. Dari tadi cerewet banget nanyain kapan Dimas dateng. Huu." Memang ember temanku satu ini. Dia ini Iva. Aku dan dia sudah lama kenal dengannya. Dari kita masih duduk di SMA hingga kini kita udah dipisahkan oleh tempat kuliah yang berbeda meskipun aku dan dia punya mimpi di jalur yang sama. 

Dimas yang dari tadi masih canggung akhirnya menyenggol lengganku dengan tangannya sambil menujukkan senyum puasnya. Merasa dipertanyakan atau merasa dipedulikan, memang beda tipis. Aku hanya memanyungkan bibir. Menyimpan energi untuk siap-siap kembali ke kebiasaan aku dan dia seperti dulu lagi. Seperti kucing dan anjing itu yang mungkin bisa menggambarkan aku dan dia. Karena kebiasaanku yang suka berantem entah itu karena hal sepele maupun karena hal yang serius sekalipun.

"Cie, jamnya masih dipake aja." Kata Dimas spontan setelah curi-curi pandang ke jam dipergelangan tanganku.

Oh may God. Aku langsung menyembunyikan pergelangan tanganku. Mampus, keluhku. Kenapa oh kenapa ? Selalu saja tampak kehilangan muka kalau sudah di depan Dimas. Lagi-lagi aku merutuki diriku sendiri lagi,

"Ya nggak papakan. Emang salah kalau aku pakai ? Masih bagus juga kok. Sayang kalau dianggurin gitu aja." Aku udah bersusah payah mencari pembelaan. Bukan apa-apa. Tapi memang sejujurnya aku masih terlalu sayang dengan jamku yang satu ini. Mungkin karena beberapa tahun yang lalu memang sengaja aku beli sama dengan Dimas. Berlebihan ? Biar saja. Dimas seolah menahan senyumnya yang seakan-akan menang. Oke, jujur aku kalah telak kali ini. 

"Puas banget ketawanya ? Udah deh, aku juga tahu kok kalau kamu susah ngelupain aku. Iva, kamu tahukan gimana perasaanku ke Kanya. Selama 2 tahun ini aku susah payah ngelupain dia. Aku cuma pengen njaga perasaan cewekku. lalala." Dengan fasihnya aku menirukan obrolan Iva dengan Dimas lewat Whatapss sebelum kami memutuskan untuk pergi bertiga. Dan dengan seketika Iva mendapat tatapan tajam dari Dimas. Iva pura-pura tidak tahu menahu. Walaupun awalnya memang Iva aku paksa untuk memperlihatkan obrolan mereka. Bahkan selama perjalanan ini aku diwanti-wanti untuk tidak update apapun di media sosial terutama yang berhubungan dengan  tujuan perjalanan kita. Lagi-lagi aku harus mengiyakannya. Karena apa itu alasannya mungkin aku, Iva dan Dimas yang tahu.

"Duh. Siap-siap jadi obat nyamuk ni buat beberapa hari ke depan." Ceplos Iva langsung melengos. Aku dan Dimas langsung melotot ke Iva serentak.

"Kalian mau tetep duduk di sini apa mau lanjut perjalanan ?' Tanyaku memecah kebekuan. "Lanjut dong. Awalnya kita kemana dulu ni ? Yang pasti kita harus isi perut dulu dong. Nggak mungkinkan kita akan jalan jauh tapi perut kita keroncongan ?" Lagi-lagi Dimas ngoceh. Kebiasaannya belum berubah. Dia selalu tidak lupa dengan perutnya yang memang dari dulu aku selalu mengodainya dengan panggilan "bahenol". Bagaimana tidak. Lihat saja, walaupun dia makannya banyak tapi badannya segitu-gitu saja. Sering aku dan dia kalau jalan bareng dipanggil kakak adik. Tapi itu dulu.

"Hallo Bromo kita ketemu lagi." Teriakku sesaat setelah turun dari mobil yang membawa kita sampai di Bromo. Aku selalu suka pegunungan. Dan tidak akan pernah habis ketakjubanku akan salah satu ciptaan Tuhan yang satu ini. Jangan tanyakan kenapa aku selalu suka gunung. Karena bagiku dia itu abadi. Dia tidak akan pernah ingkar janji. Dan yang pasti gunung selalu menyimpan rahasianya sendiri meski banyak upaya manusia untuk mengungkap misterinya, namun yang didapat manusia hanyalah pertandanya. Itu mungkin.


"Jadi dalam waktu 3 hari kedepan kita bakalan berbagi kasur, kamar mandi, dan semuanya." Ucap Iva sesaat setelah kami merehatkan sejenak badan. Aku hanya menganggat bahu. Dimas bahkan tidak berkomentar apa-apa. Sulit memang untuk sedikit saja membaca isi pikiran Dimas kali ini.

Aku, Iva dan Dimas hanya memandang takjub melihat sunset yang terlihat dari balik kawah Gunung Bromo yang tetap nampak anggun meski diselimuti mendung. Deretan Pegunungan Tengger selalu nampak mempesona dan anggun. Sungguh aku tidak ingin menyia-nyiakan kesempatan ini barang sedetikpun. Dia, dan saat ini detik ini, dia kembali berdiri tegap di sampingku. Namun mungkin semua sudah berbeda. Aku ingin mengelak bahwa semua sudah berlalu. Itu harapanku. Aku disini bersama Iva dan Dimas. Aku harus memposisikan bahwa kami bertiga adalah sahabat, dan tidak lebih dari itu. Yang perlu diingat waktu dulu bahwa kita adalah sahabat. Bukan hal lain yang hanya akan merusak perjalanan singkat ini.


Udara malam ini benar-benar membuat kami bertiga enggan untuk menyentuh air barang setetespun. Kami hanya duduk di atas tempat tidur dan berbagi selimut untuk saling memberi kehangatan. Bukan Dimas namanya kalau tidak melakukan hal diluar kewajaran.

"Aku pengen motret diluar ni. Ada yang mau ikut ?" Ajak Dimas sembari beranjak dan merapikan tas kameranya. Aku dan Iva hanya saling berpandangan. 
"Hoahem. Aku udah ngantuk ni. Dingin juga diluar. Bisa-bisa aku hipotermia ni kalau keluar. Sana kamu aja Nay yang nemenin Dimas. Aku tidur cantik aja." Lagi-lagi Iva seolah membiarkan waktu aku habiskan hanya dengan Dimas. Aku mencoba tidak berspekulasi apa-apa. Memang dari dulu itu kebiasaan Iva tidak bisa bertahan jika diajak begadang.

Langit malam ini nampaknya murung. Hiasan di langit seolah ikut bersembunyi dibalik mendung, untuk hujan tidak turun. Ternyata ada satu hal yang bisa aku syukuri. Tidak banyak para pengujung yang keluar malam ini untuk sekedar berjalan-jalan atau melihat keadaan malam, mereka mungkin lebih memilih berada di dalam kamar dan menunggu esok untuk melihat sunrise yang memang terkenal dari Gunung Bromo. Hanya satu dua orang yang sengaja keluar untuk berjalan-jalan atau mencari makan malam.

"Udah lama ya kita nggak jalan-jalan kayak gini." Celetukku memecah keheningan antara aku dan Dimas. Dimas tidak bergeming, dia masih sibuk dengan kamera di tangannya. Sesaat dia berhenti dan menatapku. Namun tidak ada kata-kata yang keluar dari mulutnya. Aku dan dia kembali melanjutkan berjalan.

"Nya, maaf ya." Kata Dimas sambil menggenggam tanganku. Aku terdiam dan berhenti untuk menjelaskan pendengaran bisa saja aku salah dengar. Mungkin ini hanya ilusi, aku berharapnya seperti itu. "Buat ?" Tanyaku sambil menatapnya. "Karena keadaannya seperti ini." Jawab Dimas singkat. Aku melengos dan mengibaskan tanganku di depan wajah Dimas. Namun Dimas belum juga melepaskan genggaman tangannya dari tanganku. "Masih aja kamu minta maaf. Tidak ada yang salah atau benar. Ya memang semuanya harus seperti ini. Lagipula kamu sudah menjalani hidup kamu yang baru dengan wanita yang kamu pilih. Kenapa harus minta maaf ? Bukankah kita tidak perlu membahas hal ini lagi ?" Tanyaku mencoba nampak tenang. Dimas tidak menjawab hanya kembali mengajakku berjalan. "Iya memang aku sudah punya duniaku sendiri. Namun jujur, kadang ada perasaan tidak terima dengan semua ini. Perasaanku dari dulu sampai sekarang belum berubah sedikitpun." Jelas Dimas lagi. 

Sungguh aku tidak ingin mendengar pengakuan ini untuk kesekian kalinya. Cukup, aku sudah bisa berdiri. tolong jangan goyahkan lagi langkahku untuk terus berjalan. Jangan ingatkan tentang memori itu lagi. Aku hanya bisa memohon dalam hati. Aku masih saja berharap akan apa yang aku dengar ini bohong.

"Sudahlah Jelek. Kita bisa apa selain menerima. Sekuat apapun kita berusaha. Sekeras apapun kita perjuangkan, namun jika bukan itu kita bisa apa ? Kadang jalan terbaik itu hanya dengan menerima. Ikhlas." Oh. Aku menyebutnya dengan panggilan itu lagi. Rasa-rasanya lidahku sudah kaku dan tidak fasih lagi melafalkan panggilan Dimas dengan sebutan itu lagi. Tapi baru saja panggilan itu aku lontarkan lagi pada Dimas.


"Dari dulu kamu selalu jago ya menyembunyikan perasaanmu. " Ucap Dimas getir. Aku tidak menanggapi. Aku hanya tersenyum tidak kalah getirnya. "Kamu tahu, karena hanya satu hal dan itu 'perbedaan' yang membuat aku harus mencari tempat lagi untuk merasa nyaman. Lila. Dia itu mirip dengan kamu. Bawel, galak, dan ya seperti kamu." Tutur Dimas masih dengan getirnya. "Tapi dia lebih beruntung daripada aku. Buktinya dia sekarang yang berada disamping kamu." Ucapku lirih. "Ya karena kamu tahu apa yang membuatku lebih memilih dia. Ya karena kita seiman. Itukan Nay ?" Nada Dimas mulai dipenuhi dengan emosi. 

Sungguh aku tidak ingin lagi melihat wajah sedih Dimas. Cukup itu dulu aku pernah melihat dia dengan segala pengakuannya dan itu hanya demi aku. Tuhan, jika malam ini memang kesempatan yang Engkau berikan padaku. Tujukkan aku jalanku untuk menjadi wanita tangguh lagi. Batinku.

"Harus berapa kali lagi aku bilang sama kamu. Jika itu yang terbaik buat kamu, yasudah, aku tidak bisa apa-apa. Yang bisa aku lakukan cuma berdoa yang terbaik juga buat kamu." Lagi-lagi aku harus mengucapkan kalimat itu untuk membuat Dimas yakin akan jalan yang dipilihnya sekarang. Aku dan dia hanya saling memandang. Karena dengannya aku tahu bahwa kata-kata kadang tidak cukup untuk mewakili perasaan yang tak terucap. Ya, aku tahu pandangan mata itu masih sama dan belum berubah sejak dulu. Aku sadar itu.


Tinggal 25 jam tersisa. Karena kereta yang akan membawa kita kembali ke kota kita masing-masing masih berangkat keesokan paginya mau tidak mau malam ini kami harus bermalam di kota orang. Dan untuk mengisi waktu, kami memutuskan untuk menjelajahi kota orang ini. Dan tanpa kami sangka kami mendapatkan tempat yang bisa disebut hutan Magrove dipinggir laut. Bukankah ini sebuah keajaiban lagi. Aku dengan dia begitu juga dengan Iva.

"Oke, kita main truth and truth yuk." Ajak Iva mengisi keheningan diantara kami. Aku yang dari tadi hanya memandang jauh ke lepas laut tersadar. Kami mengiyakan. Dan setiap dari kami akan diberi pertanyaan.

Dimas kini yang harus menjawab pertanyaan dari aku dan Iva. "Jika kamu diberi kesempatan sekali lagi, kamu mau ngajak Kanya jalan-jalan kemana ? Dan habis itu mungkin kalian tidak bisa bertemu lagi." Pertanyaan Iva kali ini seperti membekapku dalam ruang hampa udara. Dimas terdiam. Sejenak berpikir, lalu "Aku hanya ingin mengajak Kanya ke sebuah gedung yang ada rooftopnya. Disana aku akan habiskan sisa waktu yang diberikan buat aku habiskan dengan Kanya." Jawab Dimas singkat. "Sesederhana itu ?" Tanya Iva lagi. "Ya karena sayangku ke Kanya juga sederhana." Tambah Dimas lagi. Aku seolah kehilangan kesadaran diriku. Benarkan yang dibilang Dimas ? Aku berharap semoga Dimas bohong dan berpura-pura karena dia ada dihadapanku saat ini. 


Kini giliranku memberikan pertanyaan pada Dimas. "Seberapa berartinya Kanya buat kamu ? Anggep aja Kanya tidak disini." Pertanyaanku didorong oleh rasa penasaran ditambah kehilangan kendali akan diriku. "Bayangkan saja kalau kamu akan menjadi orang tertajir di dunia ini, tetapi karena faktor 0,001 % kamu gagal menjadi orang terkaya itu. Seberarti itu Kanya buat aku." Skak mat. Aku tidak bisa bernafas. Aku mencoba bersikap sebiasa mungkin namun entah kenapa dunia seolah membekapku dan aku lupa bagaimana caranya bernafas.

Aku berusaha untuk menghilangkan kata-kata yang tadi diucapkan Dimas di telingaku. Meskipun kata-kata itu berulang kali berputar-putar di kepalaku. Namun aku berharap apa yang aku dengar tadi hanya klise belaka. Konyol.

Malam masih berlanjut. Kini 14 jam waktu yang tersisa. Lagi-lagi Iva sudah duluan tidur dan tinggal aku bersama dengan Dimas.
"Nay, kamu janji ya habis ini kamu akan baik-baik saja." Pinta Dimas lirih. Aku hanya mampu memandangnya dan mengangguk mengiyakan. "Aku nggak mau kamu kenapa-kenapa habis ini." Tambah Dimas lagi. Aku tersenyum " Aku janji, aku bakalan baik-baik saja kok. Kamu juga ya. Aku minta kamu jagain Lila buat aku. Kamu harus bahagia." Ucapku tidak kalah lirihnya. "Kamu juga harus bahagia." Pinta Dimas balik. "Ya kita harus bahagia." Aku meyakinkan.

Pagi ini ada momen awkward antara Aku dan Dimas. Kereta kita akan berangkat 1 jam lagi. Aku dan Dimas harus bersiap-siap. Aku dan Dimas berpisah dengan Iva. Mau tidak mau perjalanan singkat ini akan berakhir. Aku jadi suka dengan suasana stasiun. Di sini setiap orang bisa bahagia sekaligus sedih. Mungkin ini refleksi dari apa yang aku rasakan sendiri. Namun ini kenyataannya, disini hanya tempat singgah bukan tujuan terakhir. 

Kereta telah meninggalkan kota orang dan kini akan menuju kota kita masing-masing. Dimas duduk di sampingku. Pandanganku aku lempar jauh ke luar jendela. Aku seolah memohon supaya sang waktu memperlambat semuanya, aku ingin semuanya masih seperti kemarin-kemarin. Mungkin barang sedetikpun aku bisa lebih lama lagi dengan Dimas. Aku terus memandang hamparan sawah yang terlihat dari jendela yang kadang berganti ke rumah-rumah penduduk. Kereta ini akan mengantar aku dan Dimas kembali ke kenyataan. Semuanya akan kembali seperti semula. 5 jam waktu yang tersisa. Aku habiskan dengan melepaskan semua tawa di dalam kereta dengan Dimas. Berharap waktu bisa diperpanjang. Namun ternyata waktu seolah tidak bisa lagi ditawar.

"Terimakasih ya buat perjalanannya." Ucapku. Dimas tersenyum, lagi-lagi dengan senyum asimetrisnya. "Terimakasih ya buat semuanya. Kamu baik-baik ya. Jaga diri baik-baik. Semoga ada kesempatan buat kita bertemu lagi." Pesan Dimas dengan nada yang sulit diartikan. Aku tidak bisa lagi berkata-kata.

Kereta berhenti. Dan ternyata Dimas sudah sampai di kotanya. Adakah hal yang lebih menyakitkan bila dibandingkan bahwa kita tahu baha sebentar lagi kita akan merasakan kehilangan (lagi) ? Oh waktu sepertinya menulikan telinganya terhadap permohonananku. Dimas menatapku sebelum beranjak turun. Dan lagi-lagi aku harus melepaskannya.

Kereta kembali berjalan dan akan membawaku ke kotaku. Dari jendelaku aku bisa melihat Dimas masih berdiri di pinggiran peron menatap kereta dan berjalan. Ekspresi Dimas yang kali ini tidak terbaca membuatku kosong. Baru saja aku dan dia duduk berdampingan menertawakan apapun, dan kini aku dan dia hasus kembali ke dunia kita masing-masing. Sungguh, aku tidak ingin melihat wajahnya yang sayu. 

Alam seolah berkonspirasi. Lagu diperdendangkan oleh pengamen yang berjalan di sekitar gerbong. "Ku lepas semua yang kuinginkan tak akan ku ulangi. Maafkan jika kau ku sayangi dan bila kumenanti." Lantunan lagu yang diperdengandangkan oleh pengamen seolah menertawakan kekosonganku kali ini. Sungguh, aku harus memenukan lagi cara untuk berdiri ketika pondasi itu diruntuhkan lagi. Namun, aku ingin menepati janji bahwa aku akan baik-baik saja. Karena aku dan dia harus bahagia.