Sabtu, 30 Agustus 2014

Cerita Sepatu "Baru"

Mungkin hanya dalam beberapa hari terakhri aku tertarik pada salah satu sepatu yang terpajang di salah satu toko. Awalnya aku pernah sekilas mencobanya dan berniat untuk membelinya namun aku urungkan niatku itu, dengan pertimbangan masih ada sepatu lain yang bisa digunakan sekaligus hemat. Namun entah mengapa, pada suatu kesempatan akhirnya aku bisa membeli sepatu itu mungkin karena diskon atau karena memang secara kebetulan aku ada kesempatan untuk memilikinya. Mungkin terlalu naif jika aku mengatakannya kebetulan jika nyatanya memang tidak ada yang kebetulan. 

Dari awal melihatnya aku sudah tertarik dengan sepatu itu, ya memang aku pencinta flat shoes. Mungkin modelnya yang sederhana namun elegan itu yang aku suka. Intinya aku suka dengan gayanya. Hingga akhirnya aku bisa memilikinya. Biasanya ukuran sepatuku 38, saat itu ukuran 38 aku merasa tidak nyaman dan telalu besar. Bahkan aku berpikiran lama kelamaan pasti tidak akan nyaman jika untuk berjalan ataupun beraktivitas. Dan pada akhirnya dalam waktu yang singkat dan sedikit gegabah, aku memutuskan untuk membeli sepatu itu dengan ukuran 37. Padahal waktu itu temanku sempat menanyakan dan memastikan padaku, apakah yakin aku akan memmbeli sepatu dengan ukuran 37 ? Ah aku selalu membuat kemungkinan sendiri. Aku berpikiran sepatu itu semakin lama akan semakin melebar jika sering dipakai.

Untuk pertama kalinya sepatu itu aku pakai, mungkin awalnya memang lucu dikaki dan yang pasti aku suka. Tetapi aku baru sadar, pilihan yang aku sukai itu ternyata menyakiti kakiku dan membuat aku tidak nyaman. Sepatu yang aku anggap bisa menemani setiap langkahku ternyata bisa membuatku gerah dan menahan sakit karena kesempitan. Aku tahu sekarang, apa yang kadang aku pikir baik dan aku sukai, ternyata belum tentu nyaman dan terbaik untukku. Ah aku menyukai sepatu itu. Tetapi ternyata dari sepatu baruku ini aku belajar, bahwa bukan kehendakku yang menjadikan semuanya sesuai dengan pemikiran dan keinginanku, namun terkadang kenyataan yang aku anggap biasa itulah yang menyamankanku.

Tiba-tiba aku merindukan sepatuku yang lama. Walaupun tampak belel atau bahkan bau sekalipun, namun aku merasa nyaman menggunakannya. Awal aku memilikinya biasa saja tetapi ternyata itu yang membuatku nyaman. Sesuatu yang terbiasa itu mungkin yang menjadi habit untukku. Dia bisa menemaniku berlari, melompat atau bahkan hanya diam mematung. Yah bukan dari mahal ataupun bermerk yang aku gunakan, karena mungkin semua itu bisa didefinisikan. Tapi aku tahu satu hal bahwa tidak akan ada yang bisa menandingi dari sebuah kata "nyaman". Baik itu lama baru, karena yang pasti nyaman tidak akan mungkin menyakiti. 

Minggu, 24 Agustus 2014

Like a HOME

Rumah. Dimana kamu bisa menjadi dirimu sendiri. Kamu bisa merengek, berteriak, dan menangis sepuasnya. Tidak perlu malu dan menjadi sosok lain. Kamu hanya membutuhkan rasa nyaman dan damai ketika berada di rumah. Rumah, menjadikanmu tempat untuk bertumbuh. Mempersiapkan pribadi untuk menjadi sosok yang tangguh dan tidak mudah menyerah ketika harus berjuang melawan kerasnya dunia. Rumah adalah tempatmu bertumbuh menjadi sosok yang mampu menerima dan belajar bahwa hidup terus berjalan dan berubah. Dunia tidak akan terus monoton, karena perubahan itulah yang abadi. Siapa yang sanggup bertahan dialah pemenangnya. Rumah menempamu untuk lebih siap menerjang berbagai kisruh dunia yang seakan mengolok-olokmu dalam kesombongamu. Rumah menjadikanmu merasa damai seperti berada di pangkuan seorang ibu. Kamu tidak membutuhkan apa-apa lagi selain perasaan itu, yah perasaan damai itu. Merasakan seperti hangatnya pelukan sang mentari yang seolah tidak pernah sedikitpun memejamkan matanya untuk melihat kita terus bertumbuh dalam dinamika kehidupan. Seperti itukan perasaan yang seolah tanpa terdefinisi itu ? Nyaman. Apakah ada perasaan lain yang bisa menyaingi apa yang dinamakan dengan perasaan nyaman itu ? Ah rasa-rasanya terlalu retoris jika harus membandingkan sebuah perasaan yang setiap orang memiliki definisinya masing-masing. Biarkan saja setiap manusia memiliki kriterianya sendiri untuk menikmati apa itu yang dinamakan nyaman.

Rumah. Dimana alam semesta selalu memberimu petunjuk untukmu kembali berpulang. Alam semesta selalu memberikan tanda bagaimana kamu bisa menemukan jalan itu. Dia tidak akan pernah membisu ketika kamu kehilangan arah kemana kamu harus melangkah. Dengarkan saja hembusan angin yang bertiup. Dengarkan saja lolongan anjing malam yang seolah berteriak memanggil namamu. Dengarkan saja rintik hujan yang turun seperti serdadu-serdadu yang seolah mengempurmu untuk terus berjalan. Alam semesta hanya menjalankan misinya dan kitalah tujuannya. Rumah, disinilah rumah yang sesungguhnya. Alam semesta telah menujukkannya. Lihat ke dalam hatimu, disana akan ada jiwa yang menantimu untuk kembali berpulang. Kedalam rahim yang akan menjagamu dari apa yang akan melukaimu. Lihat disana ada tempat yang akan selalu melantunkan lagu kedamaian untukmu dimana tidak ada lagi yang mampu mengoyahkanmu. Disana, rumah yang kamu nanti karena kamu akan menemukan cinta yang tidak lagi bersyarat. 

Rabu, 13 Agustus 2014

Like a bus

Ada kalanya kamu merasa terlambat dan melewatkan sebuah kesempatan. Kamu seolah telah berjalan menjauh dan nyatanya apa yang telah kamu lewatkan itulah yang terbaik untukmu. Lalu adakah jalan untuk kembali ? Jika pintu itu sudah tertutup dan takdir memintamu untuk terus melangkah, apa yang bisa kamu lakukan lebih daripada menerima ? Yah, kadang memang segalanya baru kamu sadari ketika apa yang sudah kamu lewatkan itu sejenak kembali berjalan di hadapanmu namun kamu tidak bisa berbuat lebih. Hanya mengenang sebuah kesempatan yang mungkin sempat menhampirimu namun kamu seolah menutup mata akan hal itu. Lalu bagaimana dengan kesempatan kedua ? Mungkin kesempatan kedua itu ada karena kita ciptakan. Namun apakah kesempatan kedua akan masih sama jadinya seperti kesempatan pertama ?

Seperti seseorang yang menunggu sebuah bus dan merasa bus yang ada di depannya tidak layak untuk dia tumpangi, akhirnya dia memutuskan untuk menunggu bus selanjutnya. Tapi apa nyatanya jika bus selanjutnya lebih tidak layak daripada bus yang pertama. Dan saat itu juga kamu menyadari bahwa kamu sudah jauh tertinggal oleh bus itu. Temukan dia yang menjemputmu dan selalu memberimu ruang untuk berubah, temukan dia yang menemukanmu dengan apa adanya dirimu. Mungkin kenangan itu sudah usang dan tidak layak lagi untuk diceritakan. Namun cobalah sejenak mengerti bahwa kenangan itu yang seolah mengingatkanmu bahwa kamu mungkin sudah melewatkan sebuah kesempatan yang tidak mungkin bisa lagi dapat diulang.

Mungkin itu sudah berlalu, bersama dengan waktu yang menghpuskan sebuah kesempatan. Lalu apa yang kamu lihat saat ini ? Mungkin keadaanmu saat ini menertawakanmu karena kamu sudah berlaku bodoh akan hidupmu. Kamu seolah melepaskan apa yang mungkin bisa kamu pertahankan. Hanya karena sebuah pemikiran sesaat semua mungkin tidak akan berulang kembali. Lalu apakah ada hal yang lebih dari ini selain menerima ? Lalu kamu harus mencoba untuk melapangkan dadamu menerima, jika nantinya apa yang kamu lewatkan berjalan menjauh dan semakin menjauh dengan pilihan hidupnya yang mungkin bukan lagi kamu.