Senin, 01 Desember 2014

Let's do it

Ini tentang sebuah perjalanan. Perjalanan yang sekaligus mencari arah dan tujuan. Menentukan apa yang harus dilakukan ternyata tidak pasti akan segera menemukan kemana kaki akan melangkah. Lalu apa yang bisa diperbuat ? Selalu dan selalu. Masih tentang hal yang sama. Melakukan yang terbaik dan siap dengan kemungkinan terburuk sekalipun. Lalu bagaimana dengan baik dan benar dari apa yang kita lakukan ? Mungkin kita memang tidak akan pernah bisa membentuk opini orang tentang kita. Apa yang seolah baik menurut kita belum tentu diterima baik juga oleh orang disekitar kita. Walau terkadang kita sudah melakukan sesempurna mungkin menurut pandangan kita. Tapi apa nyatanya ? Kadang masih saja selalu dianggap buruk oleh oranglain. Sudahlah, toh nyatanya kita tidak akan pernah bisa membelah menjadi seribu orang hanya untuk menuruti apa yang mereka mau dari kita. Lalu bagaimana dengan yang benar ? Benar dan salah terkadang dijadikan nilai mutlak untuk membandingkan mana yang baik dan yang buruk. Lalu ketika stereotipe orang-orang akan benar sudah terbangun seperti itu mau bagaimana lagi ? Tunjukkanlah yang terbaik dari diri kita. Selagi kesempatan itu masih ada buat apa kita terlalu menghiraukan dunia yabg seolah ingin menang sendiri. Tegapkan saja langkah kita. Lihat jalan di depan sana masih panjang. Rencanakan apa yabg ingin kamu lakukan di sepanjang perjalanan ini. Ketemukan dia yang menjadi teman seperjalanan yang menyenangkan. Karena terkadang kita lupa, sejauh apapun perjalanan di depan sana dan seberat apapun medan pejalanannya, jika kamu menemukan orang yang tepat untuk saling bergandengan tangan dan saling menguatkan, percayalah itu akan terasa mudah. Meski terkadang kamu meragukan dirimu sendiri, tapi lihatlah dia dihadirkan untuk menguatkanmu, meyakinkanmu dan menjagamu. Dia akan siap siaga berdiri di depanmu untuk menghalau badai. Dan dia adalah orang yang pertama yang mungkin mengingatkanmu bahwa harapan itu akan tetap ada. 


Terkadang di perjalanan nanti kamu akan merasa ini tidak akan mungkin lagi. Tapi lihat cahaya itu masih bersinar untuk menerangi langkahmu. Kita tidak hanya akan berhenti disini. Kita kemasi mimpi-mimpi kita dan beranjak untuk merealisasikannya. Meski terkadang keraguan itu ada, percayalah bahwa kita hidup karena harapan. Ketahuilah orang-orang yang tidak pernah gagal adalah mereka yang tidak pernah mencoba untuk memperjuangkan mimpi-mimpi mereka. Tetaplah memiliki senyum itu, karena senyum itu yang akan menghibur dirimu sendiri katika kamu kehabisan daya untuk terus berjuang. Meski terkadang perjalanan itu bukab tentang tujuan tetapi tentang perjalanan itu sendiri. Kamu tau apa maksudnya ? Itulah yang dinamakan proses. Karena dengan menunggu, berjuang, terjatuh, dan bangkit lagi itu berarti kamu sudah mengupayakan untuk menemui jalanmu mewujudkan mimpi-mimpimu. Tidak akan ada usaha yang sia-sia. Ketika kamu banyak diragukan orang bahkan oleh dirimu sendiri, lihat tanganNya selaku tidak pernah terlambat untuk menopangmu. Janji-janjinya selalu batu dan tepat pada waktunya. Kamu tidak akan lagi menangis ketika kamu berusaha unyuk kembali menciptakan senyum itu. Kamu tidak akan lagi memberobtak kwtika kamu menemukan mukjizat itu. Sudah, jangan terlalu banyak yang kamu risaukan. Lakukan saja, jalani saja dan nikmati saja apa yang seharusnya memang begitu adanya. Hingga nanti kamu tau bahwa apa yang kamu perjuangkan itu memang pantas dan layak untuk diperjuangkan. 



Selamat berproses ☺☺☺☺

Jumat, 21 November 2014

Selamat Berproses

Siapa yang pernah bisa menebak kemana rasa itu akan bermuara ? Dia tahu kemana arahnya dan dia tahu kemana dia nantinya akan berlabuh. Walaupun kadang banyak dari kita tidak pernah menyadari bahwa rasa itu pada akhirnya akan bermuara pada tempatnya berasal. Ketika kamu merasa sendiri dan sepi, coba lihat orang disampingmu. Lihat saja senyumnya, mungkin yang awalnya kamu merasa kosong kamu akan merasa terberkati. Sekarang aku mengerti mengapa Tuhan menciptakan ruang kosong dalam diri kita. Kamu ingin tahu ? Yah, ruang itu biar menjadi tempat rahasia bersemayam dan untuk dilengkapi oleh bagian dari diri kita yang hilang. Yang nantinya akan kita temukan dalam pribadi yang lain. Kamu ingin tahu siapa dia ? Dia yang nanti akan kembali menemukanmu sebagai rumah untuknya menghabiskan waktu. Yah hanya berdua bersama denganmu. Mungkin tidak butuh cara yang berlebihan untuk menjadikan hidupmu berarti. Kamu hanya perlu menyadari bahwa hari ini dia masih bisa tersenyum bersamamu. Bukankah itu hal yang terdengar sederhana ? Kamu akan menemukan pemenuhan isi dalam ruang kosong didalam dirimu yang selama ini kamu cari. Lalu kamu bertanya bagaimana caranya ? Mungkin kamu hanya perlu menurunkan ego dalam dirimu, melupakan apa itu gengsi dan sedikit membuka hatimu untuk kembali membangun sebuah cerita baru. Temukan dia yang menghormatimu sebagai sosok yang anggun, bukan sosok yang berusaha untuk menjadi pribadi yang lain. Tidak butuh sosok yang sempurna untuk menjadikan hidup ini lebih berharga. Terkadang kita cukup mencintai orang yang kurang sempurna dengan cara yang sesempurna yang kita bisa. Ini tidak untuk saat ini saja. Kamu bisa berulang kali berujar untuk tetap setia. Lalu apakah yang bisa kamu jadikan jaminan jika nantinya perasaan itu akan menemukan titik jenuhnya ? Terkadang dalam hidup ini tidak butuh janji yang bisa mengikat terlalu kuat. Tetapi kamu butuh keberanian untuk bilang "I DO" ketika proses itu dimulai. Proses yang menjadikan kita saling belajar untuk saling memahami, belajar untuk saling menghormati hingga akhirnya nanti kita mampu untuk saling melengkapi. Bukankah seperti itu ? 

Terkadang segala sesuatunya itu memang tidak perlu dipertanyakan  apa, mengapa, bagaimana. Kita terkadang hanya diminta untuk menjalaninya, merasakannya dan mensykurinya. Ketika banyak hal yang kamu keluhkan dalam hidup ini, bukankah kamu masih bisa bersyukur dengan rasa yang Tuhan titipkan untuk kamu miliki ? Sungguh kita bukan pengendali akan perasaan kita. Cukup. Cukup rasakan saja apa yang Tuhan telah hadiahkan pada kita. Disaat semuanya terjadi diluar kendali kita, kamu akan merasakan betapa ajaibnya hidup ini. Ketika dalam setiap bait doa yang kamu lantunkan di hadapanNya, Tuhan terkadang tidak dalam sekejap mata mengabulkan apa yang kamu minta. Jika sebentar saja kita mau mengerti, terkadang Tuhan hanya ingin melihat kesungguhan kita, apakah benar itu yang kita butuhkan ? Hingga pada akhirnya Tuhan akan menjawab doa-doa kita dengan sesuatu yang lebih indah daripada yang kita pinta. Ketika dua orang menempatkan Tuhan diantara mereka, disitulah cinta itu akan bertumbuh. Cukup temukan dia yang membuatmu mengerti betapa besar kasihNya. Kamu bisa melihat kedalam matanya, disana ada janji Tuhan yang telah dinyatakan. Lalu apa yang bisa kamu perbuat dengan semua itu ? Tetap saling mendoakan dan menguatkan. Mungkin terasa ambigu, tapi begitulah adanya. Kamu tidak bisa saling menguatkan tanpa mendoakan. Dan kamu tidak bisa saling mendoakan tanpa ada kasih diantaranya. 


Kasih itu murah hati. Kasih itu sabar. Kasih itu lemah lembut. Kasih itu memaafkan. Kasih itu tidak memandang rendah orang lain. Kasih itu tak berbatas. Meskipun kamu bisa memindahkan gunung sekalipun, akan tetapi jika kamu tidak memiliki kasih, kamu sama saja seperti gong yang bergemerincing dan tidak memiliki arti. Ketika kamu sudah menemukan kasih itu, berikan setulus yang kamu bisa. Temukan dia yang mau melihat ketulusan kasih yang kamu berikan. Bukan dia yang hanya memandangmu sebagai hasil akhir saja, namun kesungguhan yang kamu miliki untuk saling mendewasakan. Kamu tidak perlu menuntutnya menjadi seperti apa yang kamu minta, toh kita akan berproses bersama menjadi pribadi yang lebih baik lagi. Jika kamu hanya mencari kesempurnaan, besiaplah jika nantinya kamu juga akan dikecewakan oleh pandanganmu akan kesempurnaan itu sendiri. Belajar untuk saling mengerti bahwa hidup ini adalah proses, dimana hasil akhirnya akan didapati ketika kelengkapan itu ada. Ada untuk saling mengisi dan saling menguatkan hingga nanti pada akhirnya kasih itu menjadi utuh adanya. 

Kamis, 20 November 2014

JURNAL 3

apakah hari ini kamu ingin menangis ? Apakah kamu hari ini ingin berteriak sekeras mungkin ? Yah lakukan saja apa yang ingin kamu lakukan. Ketika kamu berusaha untuk menentukan arah dan kendali akan hidupmu lalu tiba-tiba kamu dipatahkan dan dittegur bahwa kamu tidak memiliki passion, apa yang ingin kamu lakukan ? Menyesakkan bukan. Kamu seolah tidak mengenali dirimu sendiri. Kamu mencoba kembali mempertanyakan apa yang ingin kamu cari dan ingin kamu dapatkan. Sungguh, ini bukan hanya sekedar perkataan sepele. Namun ini seolah akan meruntuhkan segala pertahan yang selama ini sudah dengan susah payah kamu bangun dengan tekad dan keyakinanmu. Sudahlah memang opini orang tentangmu tidak bisa kamu bentuk. Mereka bebas berujar tentangmu, tentang hidupmu meskipun mereka tidak tahu dengan pasti apa yang terjadi dengan hidupmu. Lupakan saja. Yah, soal melupakan sepertinya terdengar sepele dan mudah untuk dilakukan tapi bagaimana dengan realisasinya ? Seolah butuh tenaga ekstra untukmu melupakan. Mungkin melupakan terdengar mudah, tapi bagaimana dengan mengikhlaskan ? Bukankah itu butuh usaha, tenaga dan tekad yang ektra lebih dan lebih lagi

Kamu kecewa ? Yah mungkin kamu memang kecewa. Kamu seolah ingin berteriak pada diri sendiri. Apa yang kamu bisa ? Apa kamu bisa melakukan lebih dari ini ? Dia memberontak, dia merasa tidak dihormati dan merasa tidak berharga lagi. Tapi apakah salah dengan semua itu. Mungkin kamu jatuh hari ini, tapi bukankah esok kamu bisa kembali lagi menguatkan kaki-kakimu untuk berlari ? Ini hanya soal waktu. Waktu yang menyembuhkan, begitu juga dengan kekecewaan. Mungkin kamu merasa hari ini kamu sedikit saja tidak bisa berbuat apa-apa untuk hidupmu. Tapi buaknkah dengan berani menjalani hari ini sudah merupakan caramu untuk menghargai hidup ? Lalu apa lagi yang kamu persoalkan ? Kamu hanya terlalu mencemaskan kegagalanmu kemarin. Siapa yang akan tahu esok yang akan datang ? Apakah kamu bisa menebak bahwa esok kamu akan diberi lebih dari apa yang kamu minta ? Ini semacam gembling. Hanya soal pengandaian untuk penghiburan diri. Jika memang itu cukup untuk menghiburmu, apalagi yang kamu risaukan ?




Senin, 17 November 2014

JURNAL 2

Kamu mungkin kalah hari ini. Mungkin kamu jatuh hari ini. Mungkin kamu gagal hari ini. Mungkin kamu terluka hari ini. Mungkin kamu kecewa hari ini. Mungkin kamu menangis hari ini. Mungkin kamu sedih hari ini. Mungkin kamu menyerah hari ini. Tapi bukankah itu semua hanya terbatas untuk hari ini saja ? Bukankah kamu masih punya hari esok untuk mampu mengubahnya ? Lihat saja di depan saja masih ada harapan. Aku, kamu, kita semua hidup karena harapan itu masih selalu ada. Kamu boleh terjatuh dan mengatakan untuk berhenti disini, tapi bukankah kamu masih mampu memperjuangkan apa yang memang sepantasnya dipejuangkan ? Kamu masih menyimpan tekad itu. Kamu masih punya harapan itu. Lihat saja mentari pagi yang seolah tidak akan pernah ingkar janji. Ia selalu datang dikala pagi dan akan sejenak pergi di kala malam menjelang. Bukankah itu sudah semacam hukum alam ? Jika hari ini kamu menangis, maka esok akan ada janji untuk membuatmu tersenyum. Tidak, kamu tidak akan terus menerus terpuruk seperti ini. Ini hanya semacam cara Tuhan untuk mendewasakanmu. Mungkin kamu tidak perlu mengerti untuk detik ini juga, semua butuh tempaan untuk menjadikanmu siap. Siap dengan segala kemungkinan untuk mendapatkan apa yang sudah kamu tanam dan kamu perjuangkan. 

Yah memang, jangan pernah tanyakan dan keluhkan betapa membosankannya menunggu. Menunggu memang seolah menguras tenagamu baik fisik maupun lahirmu, namun apakah dengan begitu kamu tidak mau sedikit saja bersabar untuk mendapatkan lebih dari yang sekedar kamu harapkan ? Mungkin kamu hanya butuh sebentar saja untuk bersabar. Tarik nafasmu dalam-dalam lalu lepaskan, lihat disekitarmu. Bunga yang indah mungkin perlu menunggu, satu dua tiga sampai berhari-hari untuk menjadikannya mekar dan menawan. Mungkin kamu tidak menghiraukan itu. Yah, mungkin saja kamu terlalu merisaukan dan mencemaskan persoalanmu sendiri dan memikirkannya terlalu mendalam, seolah-olah hanya kamu yang mengalaminya. Kamu bebas untuk mengeluh, tapi cobalah untuk mengeluh yang tidak harus membutuhkan waktu berlarut-larut. Cobalah jangan terlalu lama membuang waktumu dengan percuma. Angkatlah wajahmu dan hapuslah air matamu, lihat sinar itu masih ada. Kamu hanya butuh usaha dan percaya, selebihnya serahkan dan jangan mencampuri apa yang sudah menjadi urusan Tuhan. Dia lebih paham dan mengerti apa yang terbaik untuk kita. 

Proses. Yah memang tidak mudah jika harus menunggu dan bersabar dalam berproses, apalagi harus ditambah dengan embel-embel ikhlas. Semuanya butuh cara, semuanya butuh keahlian. Kamu tahu keahlian apa yang perlu kamu pelajari untuk semua itu ? Coba saja untuk melapangkan dada lalu sujud sejenak memejamkan mata dan bebaskan hatimu di hadapanNya. Ucapkan semua dan lepaskan semua. Serahkan dan percayakan padaNya bahwa semuanya akan baik-baik saja. Jika memang ini adalah caraNya menempaMu untuk tekun dalam perkara yang besar, serahkan saja semuanya kendali atasNya. Kamu tidak akan pernah dikecewakannya. Percayalah kupu-kupu tidak akan langsung menjadi begitu nampak indah dan mempesona dalam sekali waktu, dia harus berproses dari ulat yang dibenci orang, kepompong hingga masanya tiba dia akan menjadi sebuah kupu-kupu yang menakjubkan. Sudah jangan lagi terlalu mencemaskan keadaanmu saat ini. Kekhawatiran hari ini cukup untuk hari ini, karena esok akan ada kekhawatirannya sendiri. Lupakan saja apa yang sudah berlalu dan tidak bisa kamu miliki atau pertahankan. Percayalah, ketika satu pintu tertutup akan ada pintu lain terbuka. Karena itulah janji setiaNya yang selalu menampakkan pelangi kasih di waktu yang tepat. Kita hanyalah alat, jadi percayakan padaNya agar kita dijadikan alat untukNya menjalankan KehendakNya. 

Jumat, 07 November 2014

T-E-R-I-M-A-K-A-S-I-H

Kita tidak pernah tahu dengan siapa kita akan bahagia dan siapa yang nantinya akan merasa bahagia bersama dengan kita. Segala sesuatunya terjadi begitu saja. Setiap waktu memiliki kisah dan ceritanya sendiri. Mungkin hari ini kita masih bisa tertawa dan bahagia, tapi adakah yang pasti untuk satu atau dua detik kedepan ? Rasa-rasanya masih semu dan tidak bisa ditebak. Segalanya mengalir dan terjadi begitu saja. Yah, senyum itu tawa itu canda itu bahkan mungkin kesediahan itu semuanya masih menjadi sebuah misteri yang mungkin manusia sendiri harus mulai bersiap dengan setiap kejutan yang ada. Memang benar adanya jika kita sebagai manusia hanya bisa berencana. Dengan mimpi-mimpi indah kita, dengan segala ekspektasi kita, tapi bagaimana dengan realisasinya ? Yah mungkin itu yang memang harus kita persiapkan. Segala sesuatunya terjadi karena sebuah alasan dan tujuan. Lihat saja, untuk apa Tuhan menjadikan hujan jika nyatanya Dia ingin menyuburkan bumi ini, atau mungkin Tuhan ingin membukakan banyak mata orang dengan datangnya banjir ? Sungguh manusia bukanlah seorang peramal yang handal, kita hanya bisa menerka-nerka untuk apa semuanya terjadi, jika pada akhirnya hanya keluhan yang meluncur dari mulut kita. Lalu apa susahnya untuk mengucapkan sebaris kata "terimakaih"  ?

Kita mungkin tidak pernah menyadari kehadiran orang-orang hebat disekeliling kita. Bukan hanya untuk mengajarkan sesuatu yang terkesan menarik dan luarbiasa, namun terkadang sesuatu yang simpel dan terlupakan itu menjadi sebuah pelajaran yang mungkin tidak bisa kita temukan di bangku kuliah sekalipun. Lihat disekeliling kita, senyum-senyum tulus yang seolah memberikan energi kepada kita. Dunia masih terus berputar kawan, perhatikan saja hal-hal kecil disekeliling kita tanpa harus memaksakan melihat yang besar. Karena kadang yang terlupakan dan terbuang itu akan menjadi batu penjuru, bukankah begitu ? Yah, memang. Kadang kita terlalu dibutakan oleh obsesi-obsesi akan segalanya yang nampak wow dan mengabaikan yang sesungguhnya bisa kita anggap anugrah luar biasa. Buaknkah setiap pagi kamu disambut dengan ucapan selamat pagi itu adalah hal paling sederhana yang terkadang kamu abaikan ? Apalagi yang hendak kamu ragukan jika setiap harinya kamu masih mampu membuat orang disekitarmu dan kamu sendiri tertawa ? Apakah dengan begitu kamu masih ingin mengeluhkan hidup ini ? Bukan hanya kamu saja, mungkin aku, kita dan dunia. 

Bahagia itu sederhana. Bukankah begitu ? Mungkin ada sebagian orang yang menganggap sederet kalimat itu terlalu klise. Lalu jika memang benar seperti itu adanya, untuk apa membantahnya ? Seolah mencari pembenaran akan rutukan keluhan yang selalu saja keluar dari mulutnya. Apa itu bahagia ? Mengapa kita harus bahagia ? Dengan siapa kita bisa bahagia ? Bukankah kita hanya tinggal menjalaninya tanpa perlu mempertanyakannya. Jika pertanyaan-pertanyaan konyol itu muncul, bukankah tinggal dirasakan saja ? Mungkin bahagia itu hanya sesederhana rasa. Ketika kita bisa merasakannya dengan begitu kita menyadari bahwa kita bahagia. Tidak perlu berlebihan, karena segala yang berlebihan itu mungkin tidak baik. Buat kamu, mendengar dia menyebut namamu, menanyakan kabarmu, atau hanya mendengar suaramu bahkan ingin melihatmu tersenyum, itu adalah bahagia yang mungkin tidak perlu diucapkan. Walaupun begitu bukan berarti rasa tidak perlu diucapkan, namun terkadang dia butuh pengungkapan untuk sebuah ketegasan bahwa dia bahagia bersamamu kini atau mungkin nanti dan seterusnya. Lalu apa susahnya mengucapkan "terimakasih" untuk segala sesuatu yang terjadi dalam hidup kita ? Bukan hanya hal-hal yang menyenangkan saja yang membuat kita mengucapkan kata itu, tapi apa salahnya jika hal terburuk sekalipun kita tetap bisa mengicapkan "terimakasih" ? Terimakasih telah menjadikanku sakit hari ini, karena dengan begitu aku bisa menghargai apa itu bahagia. 

Setiap orang punya caranya sendiri untuk bahagia dan membahagiakan orang lain. Mungkin kamu tidak akan pernah menyadari bahwa setiap celetukan yang dia berikan untukmu itu adalah caranya mencintaimu dengan sederhana, tanpa harus mengumbarnya dengan kata-kata manis. Sesedernaha air yang mengalir dan menjadikannya sungai. Tapi dengan caranya memperlakukanmu, mungkin akan nampak jelas bagaimana dia mengagumimu dengan tulus. Melihatmu tersenyum, mungkin itu adalah caranya bersyukur bahwa kehadiranmu menjadikan hidupnya lebih berarti. Keberadaamu yang menjadikannya bahagia hingga setiap harinya kata "terimakasih" itu selalu terlontar dari mulutnya. Bukan lagi keluh, namun ucapan syukur karena melalui kebahagiaan yang sederhana, nyatanya Tuhan telah menyatakan kasihnya. 

You are my sunshine, my only sunshine
You make me happy when skies are grey
You never know, dear
How much i love you
Please don't take my sunshine away"


"Terimakasih Tuhan atas setiap detik yang Engkau anugrahkan kepada kami
Jadikanlah dan mampukanlah kami menjadi pribadi yang selalu berterimakasih
Terimakasih Tuhan karena setiap rasa yang masih Engkau perkenankan untuk kami nikmati
Jadikanlah dan mampukanlah kami untuk menjadi pribadi yang tulus dalam memberi
Terimakasih Tuhan atas orang-orang hebat yang engkau hadirkan dalam hidup kami
Mampukanlah kami untuk selalu mengucapkan terimakasih atas kehadiran mereka yang membuat hidup kami semakin berarti. Amin"







Selasa, 28 Oktober 2014

TIMING (2)

Seberapa kuat waktu mengikat seseorang untuk bertahan ? Apakah waktu menjadi alasan untuk selalu diulur-ulur ? Nanti dan nanti. Seolah semuanya menjadikan waktu sebagai alasan untuk tetap mempertahankan apa yang sudah sepantasnya dilepaskan. Lihat saja padi di ladang itu. Ada waktu untuk menabur benih dan ada waktu untuk menuainya. Apakah padi-padi itu bisa sedikit saja meminta waktu kepada petani untuk memperpanjang waktu tumbuhnya ? Yah memang semuanya sudah punya waktunya masing-masing. Terlalu terpacu dengan apa yang dinamakan dengan kuantitas tanpa mengesampingkan kualitas. Kebimbangan dan keraguan seolah juga ikut dimanjakan oleh waktu. Lalu apakah ada yang lebih pasti dari ketidakpastian itu sendiri ? Semuanya nampak masih semua, belum jelas pasti warna yang nampak. Bukankan hanya berpasrah dengan waktu sama saja memberi ruang untuk memberi bimbang pada diri sendiri ? Kembali mepertanyakan apa yang sudah diyakini dan dipegang bahwa itu benar adanya. Tapi dengan begini semuanya kembali menjadi titik nol. Mulai berusaha untuk menumbuhkan sebuah keyakinan yang sedari awal sudah ada digenggaman. Lantas menunggu apa lagi ? Apa kamu lupa dengan satu kata itu ? Proses. Proses yang menjadikan semuanya begitu nampak sempurna. Walaupun alam semesta tahu sekalipun tidak ada yang sempurna di dunia ini, namun apa ada yang salah jika hanya memamdang seolah itu nampak sempurna ?


Terimakasih waktu karena kesempatan yang kamu beri memberi ruang untuk kembali menelisik jalan mana yang memang seharusnya ditempuh. Coba pertanyakan saja dengan keraguan yang seolah menertawakan sudut-sudut keyakinan itu. Lalu apa yang terjadi nanti ? Apakah sudah siap ? Apakah kamu seyakin itu ? Sungguh tidak ada jaminan yang pasti akan semua itu. Lalu apakah ada yang bisa dilakukan lebih daripada sekedar percaya ? Ah sepertinya akan nampak klise jika harus mengosongkan diri dan seolah-olah tidak tahu menahu apa yang terjadi, bahkan semuanya sudah jelas terpampang dan bahkan sudah pernah mencicipinya. Mana lagi yang akan menghadirkan ruang untuk sejak saja hening sebelum semuanya sejauh angan-angan ? 


Apakah kamu mampu menjamin dirimu sendiri akan keraguan yang seolah terus mengejarmu ? Ah rasa-rasanya ini hanya semacam sepaket yang memang semuanya harus ditinjau ulang. Setiap orang punya ceritanya masing-masing. Apa ada yang salah dari proses itu ? Tidak semuanya terjadi sebagaimana mestinya. Bahkan tidak ada yang bisa memperlambat apa yang seharusnya dipercepat dan tidak ada yang bisa mempercepat apa yang seharusnya diperlambat. Apakah ruang bimbang itu akan terus meluas ? Lihat saja nanti. Yah tidak akan ada yang tahu pasti. Semua itu pasti akan ada konsekuensi, meski kadang sudah melakukan yang terbaik, namun itu masih jauh dari cukup. Segalanya tidak bisa diganti secepat apa yang kebanyakan orang inginkan. Nampak egois, lalu tanyakan saja lagi siapa kamu. Kamu bukan pengendali akan apa yang memang seharusnya ada dan terjadi. Biar saja semuanya menjadi yang semestinya. Serahkan saja semua ketakuttan, kekhawatiran dan keraguanmu di tanganNya. Percaya saja Dia tidak akan pernah ingkar janji. Meski keraguan bertubi-tubi mendatangimu, namun pada akhirnya Dia hanya menyatakan janjiNya bahwa semuanya akan indah pada waktunya. 

Kamis, 02 Oktober 2014

The End

Ini bukan tentang menang atau kalah. Bukan tentang persaingan, namun tentang sebuah cerita yang sudah digariskan untuk menjadi kisah nyata. Bukan tentang bersaing untuk menjadi siapa yang lebih hebat. Toh setiap dari manusia selalu diciptakan untuk menjadi hebat dan istimewa dengan cara dan pembawaannya sendiri-sendiri. Tidak perlu nampak seolah gagah atau tangguh untuk mendapat pujian, hingga namanya perlu dieluk-elukkan dimana-mana. Ah siapa yang akan bisa menebak apa yang akan terjadi. satu detik kedepan, satu menit kedepan, atau sampai satu tahun kedepan ? Semuanya masih nampak semu. Manusia hanya bisa menerawang dan menebak-nebak yang akan terjadi saat ini dan yang akan datang ? Kembali ke menang atau kalah. Orang yang bertanding selalu menampilkan yang terbaik untuk dirinya, hingga nantinya dia akan terpilih untuk penyandang gelar yang pantas. Apa sebenarnya hakikat pemenang itu ? Lagi-lagi bukan dalam arena pertandingan, ini bagaimana cara untuk memenangkan diri sendiri akan ego yang selama ini seolah menantang dan manja untuk dituruti. Akan semua mau yang seolah menjadi-jadi, akan semua harapan yang seolah dipaksakan. Lalu apa yang manusia perbuat dengan semua itu ? Ah manusia kadang tidak mau mengenalinya, yang dia mau hanyalah hasil akhir dari apa yang mereka perjuangkan untuk dimiliki. Nampak egois bukan manusia itu ? Tapi dengan begitu kita akan sadar bahwa tidak ada yang sempurna dalam perjalanan hidup ini. Aku kamu dan kita hanya saling memandang dan menjadi cermin satu sama lain akan semua yang kita lakukan, baik itu yang terbaik dari diri kita atau mungkin hanya sebagain diri kita yang mau berjuang. 

Let's see. Kita lihat saja nanti. Itu seolah kata aman yang menjaga manusia dari ketakutan akan spekulasi yang akan terjadi nanti. Jika tidak A mungkin akan B, atau mungkin malah akan melesat jauh menjadi Z. Yah, hidup ini memang penuh dengan kejutan. Namun, Tuhan sudah menepati janjiNya dan akan terus menepati janjiNya, karena semua itu akan indah pada waktunya. Tidak akan usaha yang sia-sia hingga pada akhirnya alam semesta mendukung. Minta saja, maka akan diberikan padamu. Ketuk saja maka pintu akan dibukakan bagimu. Kita ini adalah anak-anak kesayanganNya yang selalu diberikan kesempatan lebih dan lebih lagi untuk meminta. Lalu ada yang Dia minta dari kita ? Berusaha, doa dan percaya hingga mukjizat itu menjadi nyata. Diantara ketiga itu kadang kita dipatahkan semangat oleh satu istilah yaitu menunggu. Yah memang. Siapa bilang menunggu itu sangat mengasyikkan ? Semua orang mungkin tanpa terkecuali akan bilang kalau menunggu itu adalah hal yang sangat menjemukan. Manusia dibuat tidak pasti. Memang ada yang pasti dalam penantian ? Lalu apa yang membuatnya pasti. Hanya satu yang membuatnya pasti, keyakinan. Menunggu seolah menjadi momok yang membuat orang berpikir seribu kali lagi untuk melakukkannya. Tapi apakah bisa barang sedetik saja manusia dipisahkan dari kata menunggu ? Bukankan untuk menuju detik selanjutnya dalam hidup kita itu sama saja dengan menunggu. Memang, kadang manusia tidak sadar akan hal itu. Menunggu. semua kemungkinan bisa terjadi. Menunggu semua hal bisa terbolak balikkan karena yang empuNya perasaan adalah Maha membolak balikkan perasaan manusia. Tidak ada yang pasti dalam menunggu. Karena menunggu itu tidak akan terdefisnisi hasilnya hingga ujung waktu menunggu itu sendiri. Menunggu tidak bisa kita tawar. Menunggu hanya masalah menikmati dan membencinya. Menunggu membuat manusia lebih sadar bahwa perjalanan ini masih sangat panjang dengan segala kemungkinannya. Karena dengan menunggu manusia tahu bahwa dia bukan pemilik kendali akan kehidupan ini. Manusia hanyalah pelaku, pejalan kaki hingga nanti pada akhirnya akan menemui garis finis sebagai bukti janji yang telah ditepati. 

Kamis, 25 September 2014

Letting Go

Bukankah baru saja kemarin kamu bilang akan terus berjuang ? Lalu kenapa tiba-tiba kamu bilang kamu lelah ? Apa yang membuatmu lelah dengan semua yang sudah ada di depan mata ini ? Apa kamu sedang merasakan titik acomodador ? Lalu apa titik acomodador itu ? Yah memang setahuku titik acomodador itu adalah titik jenuh yang dialami oleh manusia untuk memperjuangkan apa yang diimpikannya. Dia akan bertemu dengan titik itu untuk menguji seberapa kuat dan mantap kamu akan apa yang kamu inginkan dan kamu pilih. Kamu akan kembali mempertanyakan apa yang sedari awal kamu ingini dan kamu mau. Ah mungkin aku terlalu sok tahu jika harus menjelaskan terlalu banyak ke kamu. Toh setiap manusia akan melewati dan merasakan masa-masa itu. Ketika dari awal dia yakin untuk memperjuangkan mimpinya, tetapi ditengah jalan dia menemui banyak halangan yang seolah menjadi batu sandungan akan apa yang diimpikannya itu. Lalu kamu menanyakan kepadaku apa yang harus kamu perbuat ? Bukankah jawabannya simpel saja ? Jika kamu memang sedari awal yakin dengan apa yang kamu impikan dan sudah sampai tengah jalan kamu perjuangkan, teruskan saja. Percayalah tidak akan ada yang percuma jika kamu mau mengusahannya. Apa lagi jika menurutmu itu yang memang pantas kamu perjuangkan. 


Tidak perlu menjadi orang lain untuk selalu mendapat sanjungan atau pujian. Tetaplah saja menjadi dirimu sebagaimana adanya. Kamu terlampau istimewa dengan caramu sendiri. Teruslah melangkah pada jalan yang sudah dibukakan untukmu. Lihat saja disekelilingmu. Betapa terberkatinya kamu. Dikelilingi oleh orang-orang yang luar biasa. Tapi sayang mungkin selama ini kamu terlalu tidak memperdulikan mereka. Hingga saatnya satu persatu dari mereka pergi yang ada kamu akan kehilangan kesempatan. Lalu bagaimana jika semua itu sudah terlambat ? Sudahlah. Yakinkan dan mantapkanlah saja pilihanmu. Percayalah tidak akan ada yang percuma dengan usahamu. Tuhan akan selalu memberikan jalan bagi orang yang mau berusaha. Yang kita bisa hanya melakukan yang terbaik siap dengan kemungkinan terburuk dan selebihnya serahkan saja pada Tuhan. Hingga nantinya semua akan terjadi dengan sendirinya. Bahkan mungkin itu akan jauh diluar ekspektasi kita. Terima saja semua pertanda yang Tuhan sudah berikan pada kita. Setiap detik, setiap sudut waktu, setiap pasang mata, dan setiap apapun itu, Tuhan mampu berkarya disana. Dia menjadikannya begitu nampak sempurna diluar akal sehat kita. Terima saja apa yang memang sudah digariskan untukmu. Jalani saja hingga kamu akan menemui akhir yang indah. Lagi-lagi manusia tetaplah manusia, dia tidak bisa mempercepat apa yang seharusnya diperlambat dan tidak bisa memperlambat apa yang seharusnya dipercepat. Karena semuanya itu akan terjadi diluar kendali kita. Jalani saja semuanya dengan tulus dan ikhlas, hingga akhirnya nanti apapun keputusan yang Tuhan telah tetapkan untuk kita mampu kita terima dengan sepenuhnya. Mungkin bersukur itu tidak hanya sekedar bersyukur dengan segala kelebihan yang telah Tuhan berikan pada kita. Tetapi esensi bersyukur itu adalah tetap berterima kasih akan apa yang telah Tuhan berikan pada kita waluapun itu tidak bisa sesuai dengan yang kita harapkan sekalipun. Tenang, bukannya aku berusaha untuk menguruimu. Aku dan kamu belajar untuk saling mendewasakan. Semoga kita akan seterusnya berproses bersama untuk menjadi diri kita masing-masing yang seutuhnya. 

Senin, 01 September 2014

Pertanyaan Bodoh Tentang Jodoh

Ehm oke, mungkin ini yang dialami oleh orang-orang yang menginjak umur 20 sekian-sekian yang tidak lagi muda ataupun ABG. Oh mungkin terlalu jauh jika harus mengatakan seperti forever ataupun aku cinta kamu selamanya, atau aku tidak akan mungkin meninggalkanmu. Apa kita akan terus berkutat dalam kata-kata yang masih sangat rentan dengan sebutan ABG labil ? Hahaha ya mungkin jika anak gaul jaman sekarang itu adalah masa alay yang seolah dunia akan kiamat jika dia meninggalkan kita, dia berpaling dari kita atau bahkan dia menduakan kita ? Ya ya ya bisa dipahami dan diterima, mungkin memang itu tugas perkembangan yang harus dialami dan dijalani oleh banyak orang hingga sampai pada suatu titik. Bahkan mungkin selama perjalanan hidup ini tidak ada titik dewasa yang pasti seorang itu akan bertumbuh dan mulai bijaksana dalam hidup. Karena hidup itu sendiri adalah proses belajar, bagaimana menerima, bagaimana melepas, bagaimana menjalani dan bagaimana berproses itu sendiri.

Oke, kali ini mungkin akan sedikit membahas tentang hal yang ehm mungkin banyak orang juga selalu mempertanyakan ini ? Atau mungkin mencoba seolah biasa saja tetapi dalam benak mereka selalu penasaran dengan apa itu jodoh. Selalu saja ada pertanyaan-pertanyaan bodoh yang membuat kita tergelitik untuk sebentar saja meluangkan waktu melihat jodoh dari sudut pandang lain, yaitu secara bodoh. Yang pertama, apa itu jodoh ? Yah kebanyakan orang ketika ditanya jodoh, pasti mereka memiliki jawabannya masing-masing, bahkan ketik ada yang ditanya soal jodoh seolah mata itu berbinar, ada yang seperti itu. Ada juga yang seolah langsung hening dan mendadak mata menjadi nanar dan seakan kehilangan kata-kata, ada juga yang seperti itu. Ada juga yang langsung memiliki dalilnya sendiri dan dengan berapi-api seperti orasi yang menjelaskan detail apa itu jodoh. Ah setiap orang memang selalu unik dengan pemikirannya masing-masing. Wajar saja, karena kita ini memang beranekaragam, kalau tidak begitu pelangi tidak akan nampak indah jika hanya ada satu warna saja. 

Jodoh. Selalu ada pertanyaan yang pertama kali muncul ketika ada stimulus kata jodoh. Bagaimana kita tahu kalau dia jodoh kita ? Seperti itukah ? Yah, orang yang mendapat pertanyaan itu dan sudah melewati masa itu mungkin tidak memiliki kata-kata untuk menjelaskan secara spesifik apa itu jodoh dan bagaimana mengindikasi bahwa dia jodoh kita. Itu soal rasa. Mungkin kamu bisa makan permen tapi kamu tidak bisa menjelaskan bagaimana manisnya permen. Karena mungkin yang kita tahu permen itu ya manis. Manis itu bagaimana ? ya manis. Apakah ada definisi secara pasti untuk menjelaskan rasa manis itu seperti apa ? Yah, mungkin itu sama jadinya ketika berbicara tentang jodoh. Jodoh itu rasa. Rasa itu selera. Dan selera itu adalah keyakinan. Tidak ada alat ukur yang pasti ketika keyakinan itu yang membuat orang mampu memutuskan hal terbesar dalam hidupnya. Memulai sesuatu jenjang kehidupan yang baru dan pada akhirnya mengatakan yes, i'm ready. 

Lalu bagaimana jadinya jika orang yang bercerai atau meninggal menikah lagi dengan orang baru ? Lalu yang mana yang bisa dikatakan jodoh ? Lalu untuk apa kita selalu memperumit dan membebani diri kita sendiri menanyakan hal-hal yang diluar akal dan kendali kita ? Bukannya kita semua ini hanya pemain ? Pemain yang memainkan peran sesuai dengan tugas dan ceritanya masing-masing. Toh, semua itu sudah pasti begitu adanya. Seindah apapun rancangan rencana manusia, tidak akan ada yang lebih indah dibandingkan dengan kehendak yang Maha Kuasa. Lakukan saja apa yang menjadi tugas kita. Seperti seorang pemain yang dengan lihai dan piawai dalam bermain peran. 

Jodoh. Kita mungkin hanya diminta untuk yakin bahwa setiap manusia akan melewati momen-momen luar biasa dalam hidupnya, baik yang kita sadari atau tidak kita sadari. Semua berjalan begitu indah tanpa harus dikhawatirkan. Dia akan datang disaat semuanya sudah tepat, pantas dan mantap. Bukan lagi tentang keraguan namun tentang keyakinan bahwa Tuhan menjadikan segalanya indah pada waktunya :)

Sabtu, 30 Agustus 2014

Cerita Sepatu "Baru"

Mungkin hanya dalam beberapa hari terakhri aku tertarik pada salah satu sepatu yang terpajang di salah satu toko. Awalnya aku pernah sekilas mencobanya dan berniat untuk membelinya namun aku urungkan niatku itu, dengan pertimbangan masih ada sepatu lain yang bisa digunakan sekaligus hemat. Namun entah mengapa, pada suatu kesempatan akhirnya aku bisa membeli sepatu itu mungkin karena diskon atau karena memang secara kebetulan aku ada kesempatan untuk memilikinya. Mungkin terlalu naif jika aku mengatakannya kebetulan jika nyatanya memang tidak ada yang kebetulan. 

Dari awal melihatnya aku sudah tertarik dengan sepatu itu, ya memang aku pencinta flat shoes. Mungkin modelnya yang sederhana namun elegan itu yang aku suka. Intinya aku suka dengan gayanya. Hingga akhirnya aku bisa memilikinya. Biasanya ukuran sepatuku 38, saat itu ukuran 38 aku merasa tidak nyaman dan telalu besar. Bahkan aku berpikiran lama kelamaan pasti tidak akan nyaman jika untuk berjalan ataupun beraktivitas. Dan pada akhirnya dalam waktu yang singkat dan sedikit gegabah, aku memutuskan untuk membeli sepatu itu dengan ukuran 37. Padahal waktu itu temanku sempat menanyakan dan memastikan padaku, apakah yakin aku akan memmbeli sepatu dengan ukuran 37 ? Ah aku selalu membuat kemungkinan sendiri. Aku berpikiran sepatu itu semakin lama akan semakin melebar jika sering dipakai.

Untuk pertama kalinya sepatu itu aku pakai, mungkin awalnya memang lucu dikaki dan yang pasti aku suka. Tetapi aku baru sadar, pilihan yang aku sukai itu ternyata menyakiti kakiku dan membuat aku tidak nyaman. Sepatu yang aku anggap bisa menemani setiap langkahku ternyata bisa membuatku gerah dan menahan sakit karena kesempitan. Aku tahu sekarang, apa yang kadang aku pikir baik dan aku sukai, ternyata belum tentu nyaman dan terbaik untukku. Ah aku menyukai sepatu itu. Tetapi ternyata dari sepatu baruku ini aku belajar, bahwa bukan kehendakku yang menjadikan semuanya sesuai dengan pemikiran dan keinginanku, namun terkadang kenyataan yang aku anggap biasa itulah yang menyamankanku.

Tiba-tiba aku merindukan sepatuku yang lama. Walaupun tampak belel atau bahkan bau sekalipun, namun aku merasa nyaman menggunakannya. Awal aku memilikinya biasa saja tetapi ternyata itu yang membuatku nyaman. Sesuatu yang terbiasa itu mungkin yang menjadi habit untukku. Dia bisa menemaniku berlari, melompat atau bahkan hanya diam mematung. Yah bukan dari mahal ataupun bermerk yang aku gunakan, karena mungkin semua itu bisa didefinisikan. Tapi aku tahu satu hal bahwa tidak akan ada yang bisa menandingi dari sebuah kata "nyaman". Baik itu lama baru, karena yang pasti nyaman tidak akan mungkin menyakiti. 

Minggu, 24 Agustus 2014

Like a HOME

Rumah. Dimana kamu bisa menjadi dirimu sendiri. Kamu bisa merengek, berteriak, dan menangis sepuasnya. Tidak perlu malu dan menjadi sosok lain. Kamu hanya membutuhkan rasa nyaman dan damai ketika berada di rumah. Rumah, menjadikanmu tempat untuk bertumbuh. Mempersiapkan pribadi untuk menjadi sosok yang tangguh dan tidak mudah menyerah ketika harus berjuang melawan kerasnya dunia. Rumah adalah tempatmu bertumbuh menjadi sosok yang mampu menerima dan belajar bahwa hidup terus berjalan dan berubah. Dunia tidak akan terus monoton, karena perubahan itulah yang abadi. Siapa yang sanggup bertahan dialah pemenangnya. Rumah menempamu untuk lebih siap menerjang berbagai kisruh dunia yang seakan mengolok-olokmu dalam kesombongamu. Rumah menjadikanmu merasa damai seperti berada di pangkuan seorang ibu. Kamu tidak membutuhkan apa-apa lagi selain perasaan itu, yah perasaan damai itu. Merasakan seperti hangatnya pelukan sang mentari yang seolah tidak pernah sedikitpun memejamkan matanya untuk melihat kita terus bertumbuh dalam dinamika kehidupan. Seperti itukan perasaan yang seolah tanpa terdefinisi itu ? Nyaman. Apakah ada perasaan lain yang bisa menyaingi apa yang dinamakan dengan perasaan nyaman itu ? Ah rasa-rasanya terlalu retoris jika harus membandingkan sebuah perasaan yang setiap orang memiliki definisinya masing-masing. Biarkan saja setiap manusia memiliki kriterianya sendiri untuk menikmati apa itu yang dinamakan nyaman.

Rumah. Dimana alam semesta selalu memberimu petunjuk untukmu kembali berpulang. Alam semesta selalu memberikan tanda bagaimana kamu bisa menemukan jalan itu. Dia tidak akan pernah membisu ketika kamu kehilangan arah kemana kamu harus melangkah. Dengarkan saja hembusan angin yang bertiup. Dengarkan saja lolongan anjing malam yang seolah berteriak memanggil namamu. Dengarkan saja rintik hujan yang turun seperti serdadu-serdadu yang seolah mengempurmu untuk terus berjalan. Alam semesta hanya menjalankan misinya dan kitalah tujuannya. Rumah, disinilah rumah yang sesungguhnya. Alam semesta telah menujukkannya. Lihat ke dalam hatimu, disana akan ada jiwa yang menantimu untuk kembali berpulang. Kedalam rahim yang akan menjagamu dari apa yang akan melukaimu. Lihat disana ada tempat yang akan selalu melantunkan lagu kedamaian untukmu dimana tidak ada lagi yang mampu mengoyahkanmu. Disana, rumah yang kamu nanti karena kamu akan menemukan cinta yang tidak lagi bersyarat. 

Rabu, 13 Agustus 2014

Like a bus

Ada kalanya kamu merasa terlambat dan melewatkan sebuah kesempatan. Kamu seolah telah berjalan menjauh dan nyatanya apa yang telah kamu lewatkan itulah yang terbaik untukmu. Lalu adakah jalan untuk kembali ? Jika pintu itu sudah tertutup dan takdir memintamu untuk terus melangkah, apa yang bisa kamu lakukan lebih daripada menerima ? Yah, kadang memang segalanya baru kamu sadari ketika apa yang sudah kamu lewatkan itu sejenak kembali berjalan di hadapanmu namun kamu tidak bisa berbuat lebih. Hanya mengenang sebuah kesempatan yang mungkin sempat menhampirimu namun kamu seolah menutup mata akan hal itu. Lalu bagaimana dengan kesempatan kedua ? Mungkin kesempatan kedua itu ada karena kita ciptakan. Namun apakah kesempatan kedua akan masih sama jadinya seperti kesempatan pertama ?

Seperti seseorang yang menunggu sebuah bus dan merasa bus yang ada di depannya tidak layak untuk dia tumpangi, akhirnya dia memutuskan untuk menunggu bus selanjutnya. Tapi apa nyatanya jika bus selanjutnya lebih tidak layak daripada bus yang pertama. Dan saat itu juga kamu menyadari bahwa kamu sudah jauh tertinggal oleh bus itu. Temukan dia yang menjemputmu dan selalu memberimu ruang untuk berubah, temukan dia yang menemukanmu dengan apa adanya dirimu. Mungkin kenangan itu sudah usang dan tidak layak lagi untuk diceritakan. Namun cobalah sejenak mengerti bahwa kenangan itu yang seolah mengingatkanmu bahwa kamu mungkin sudah melewatkan sebuah kesempatan yang tidak mungkin bisa lagi dapat diulang.

Mungkin itu sudah berlalu, bersama dengan waktu yang menghpuskan sebuah kesempatan. Lalu apa yang kamu lihat saat ini ? Mungkin keadaanmu saat ini menertawakanmu karena kamu sudah berlaku bodoh akan hidupmu. Kamu seolah melepaskan apa yang mungkin bisa kamu pertahankan. Hanya karena sebuah pemikiran sesaat semua mungkin tidak akan berulang kembali. Lalu apakah ada hal yang lebih dari ini selain menerima ? Lalu kamu harus mencoba untuk melapangkan dadamu menerima, jika nantinya apa yang kamu lewatkan berjalan menjauh dan semakin menjauh dengan pilihan hidupnya yang mungkin bukan lagi kamu.



Kamis, 17 Juli 2014

Like a....

seperti berharap dan menganggap ini hanya semacam cerita dalam film-film, entah itu film laga ataupun film melankolis sekalipun. Ada sytradara, ada penulis cerita, ada pemain dan pastinya ada konflik. Dalam sebuah film mungkin tidak akan menjadi seru dan menarik jika tanpa ada sebuah cerita. Ada alur yang membuatnya menjadi sebuah cerita yang seru untuk diikuti. Yah, mungkin begitu juga dengan hidup ini. Ini hanya sesaat dan semua akan indah pada waktunya. Janji mana yang bisa kamu dustakan lagi, jika akan ada pelangi sehabis hujan ? Bukankah memang seharusnya begitu. Setiap manusia di dunia ini memiliki ceritanya masing-masing. Dengan keunikan dan kemampuannya manusia berusaha untuk bertahan menjalani apa yang memang seharusnya dijalani. Lalu apakah manusia bisa melakukan lebih daripada menerima ? Jika rasa-rasanya harapan itu menghilang, terang itu meredup dan jalan itu menyemu. Semua rasa-rasanya tidak ada lagi celah untuk melangkah, tapi apa yang kamu bisa perbuat selain menerima ? Ini hanya semacam takdir. Apa yang manusia bisa perbuat dengan takdir ?

Kita mungkin akan berbicara pada satu hal takdir. Manusia di dunia ini tidak akan pernah tahu kejutan-kejutan apa yang kelak akan menghampirinya tanpa tertebak kapan dan dimana tempatnya. Semua seperti terjadi dan berjalan begitu saja tanpa kompromi. Ada saat menabur dan ada saat untuk menuainya. Semua akan ada masanya masing-masing. Manusia tidak bisa melakukan lebih dari pada itu. Mencoba menerima dan berbaik hati dengan diri sendiri, mencari pegangan untuk terus melangkah dengan pasti bahwa cahaya itu pasti ada. 

Tuhan, berapa lama lagi manusia harus bermain dengan teka-teki yang tidak terpecahkan ini ?
Tuhan, apakah manusia mampu menjalani apa yang sekiranya diluar akal sehatnya ?
Tuhan, sejauh apakah cobaan ini melonglong hingga akhirnya kau tahu bahwa manusia tahan untuk Kau uji ?
Tuhan, dimana cahaya itu kau sembunyikan ?
Tuhan, langkah seperti apa yang harus manusia susun untuk menemukan celah kebahagiaan itu ?
Tuhan, apa yang harus manusia perbuat jika nyatanya semua rasa-rasanya telah menghilang ?
Tuhan, siapa lagi yang bisa dipercaya dalam kecamuk cobaan selain Engkau ?
Tuhan, kepada siapakah manusia harus menangis terisak untuk memohon ampun selain padaMu ?
Tuhan, semuanya seperti sebuah air bah yang datang tiba-tiba dan bertubi-tubi. Menco menjaga diri untuk tidak terhanyut dan mati. 
Tuhan, rasa-rasanya jalan yang terjal dan berliku ini masih teramat panjang. Berapa lama lagi manusia memiliki kesempatan untuk melakukan yang terbaik ?
Tuhan, mungkin hanya Engkau yang tahu akan segala pergumulan jiwa manusia saat ini. Berilah kami belas kasihMu ya Tuhan untuk sanggunp dan tetap bersyukur untuk menerima segala yang sesungguhnya bukan kami mau. 
Terjadilah pada kami menurut kehendakMu. 

Kamis, 19 Juni 2014

Jurnal Pertama

Dimana kamu saat ini ? Kamu masih mampu berdiri dan memandang. Nafasmu masih menderu dan menjagamu hingga saat ini. Darahmu masih mengalir melewati setiap pembuluh yang membuatmu tetap tersenyum sampai saat ini. Lalu siapa yang akan tahu apa itu arti senyuman ? Mungkin orang berusaha untuk menyembunyikan seutas kesedihannya dibalik senyum yang berusaha ia kembangkan. Lalu berapa lama hal itu akan bertahan ? Sekelilingmu banyak orang-orang yang peduli akan keberadaanmu, lalu untuk apa mencari yang sudah hilang ? Bukankah lebih baik menjaga yang masih ada ? Apa yang datang akan pergi. Seriap orang senyatanya sudah menyiapkan jalan untuknya sendiri. Meski bukan yang terbaik, namun kamu berusaha untuk memilih pilihan yang terbaik. Semua akan ada saatnya. Siapa yang menanam, dia akan menuai. Kamu bukanlah juri atas permainanmu sendiri, kamu hanya seorang pemain, yang diminta untuk memainkan peranmu seelok mungkin. Kamu adalah penanggungjawab atas dirimu sendiri. Semangat, senyum, keceriaan, kesediahan, masalah, cinta, kecurangan, mungkin itu adalah bagian dari pilihan. Kamu diminta untuk lebih lihat dan tidak ceroboh. Jalan yang kamu tuju mungkin tidak akan seiindah nirwana, tapi siapa yang akan tahu bahwa di depan sana akan ada ruang seindah nirwana yang sudah disiapkan untukmu ? Lantas bagaimana bisa kamu tahu jika kamu tidak mencobanya ? 

Beribu-ribu kilometer kamu tempuh untuk melakukan perjalanan. Bukan tentang tujuannya tetapi lebih pada perjalanan itu sendiri. Kamu melintasi ribuan jalanan yang mungkin bagi kamu itu adalah pantulan akan keberadaanmu. Keberadaan yang mungkin kamu lupa untuk mensyukurinya. Lihat saja, sang cakrawala masih terbentas sama jika kita berjalan sejauh apapun itu. Dalam naungan bulan yang sama, kita masih bisa melihatnya meski dari tempat yang berbeda. Kamu bukan seorang pengecut yang seolah melarikan diri dari apa yang tidak akan pernah bisa pergi darimu. Dia ada bersamamu, tengok saja apa yang ada dalam dirimu. Dia akan tetap bersamamu, dan seolah menjadi momok jika nyatanya kamu tidak mau sejenak saja berdamai dengannya. Banyak inginmu untuk mencapai langit setinggi mungkin, tapi apa mungkin bagimu jika yang ada kamu mengingkari dirimu sendiri ? Mungkin aku dan kamu berjuang bersama, tapi pada akhirnya jalan kita berbeda, aku akan berjalan pada alur yang sudah tersedia untukku, begitu juga dengan kamu. Kamu akan meneruskan langkahmu. 

Lalu apa lagi yang kamu takuti akan perpisahan ? Perpisahan itu hanya sementara, tapi mengapa banyak manusia menundanya karena tidak ingin sendiri. Apa yang salah dengan sendiri. Kamu mungkin boleh dikatakan sendiri, tapi jangan pernah dirimu dikuasai oleh kesepian yang mungkin akan memaksamu untuk lari. Sejauh appaun kamu lari, kamu sekali lagi tidak bisa terhindar. Kamu akan tetap berada di koordinatmu saat ini. Waktu mungkin akan berbaik hati untuk mengupayakan usahamu, memberimu ruang untuk semakin yakin bahwa dimana ada kemauan disitu akan ada jalan. Mungkin kamu akan merasa nyaman dengan apa yang kamu pilih, merasa itu satu-satunya. Tapi apa kamu lupa, bahwa kadang yang nyaman itu belum tentu yang terbaik ? 

Rabu, 11 Juni 2014

[CERPEN] : PULANG

"Aku ingin pulang"
Aku meyakinkan diriku sendiri. Lalu kemana aku harus pulang. Arah itu semakin menyemu, dan seolah tidak ada lagi cahaya di jalanan yang bisa menunjukkan arah padaku. Ah di depan sana ada seseorang yang mungkin bisa aku tanyai.
"Permisi, bisa tunjukkan kemana arah untuk saya pulang ?" Tanyaku sambil merapatkan jaket tipis yang kini melindungiku dari dinginnya malam.
Orang itu tetap diam dan tidak bergeming. Dia tetap menghisap rokok yang hanya tinggal setengah batang di tangan kanannya sambil memandangku heran.
"Kamu tanya pada saya kemana anda harus pulang ?" Lelaki itu bertanya balik. Aku yang kini hanya bisa diam heran atas pertanyaan orang itu.
Sungguh. Sepertinya aku sudah kehilangan jejak untukku pulang. Malam sepertinya semakin menjadi-jadi, hanya ada raungan anjing yang saling bersautan mengisi kekosongan malam. Aku terus berjalan. Terus dan terus. Meninggalkan orang yang kini seolah pandangannya masih tertuju heran padaku.
Seberkas cahaya dimata orang itu, sepertinya aku pernah melihat cahaya yang sama, tetapi dimana. Ah aku segera menghilangkan rasa penasaranku. Mungkin aku hanya baru pertama kali ini bertemu dengan orang itu, dan mungkin hanya perasaanku saja kalau aku pernah mengenalnya.

"Aku ingin pulang." Gumamku lagi pada diriku sendiri. 
Aku membayangkan sebuah ruang yang tidak perlu luas, mewah ataupun mahal. Yang pasti aku hanya merindukan untuk pulang. Senyaman di pangkuan ibu yang seolah tidak ada lagi yang mengganggu. Tapi dimana aku. Aku mengedarkan kembali pandangan ke sekitarku. Semuanya masih gelap. Tidak ada seorangpun yang bisa aku tanyai. Mungkin aku harus mempersiapkan pertanyaan baru jika nanti aku bertemu dengan orang. Yah, aku tidak akan menanyakan arah, aku akan menyusun pertanyaan baru. Tapi tiba-tiba semakin aku memaksakan otakku untuk berpikir, aku semakin lemas, neuron-neuron dalam otakku seolah semakin melambat. Paksaku lagi pada sel-sel di tubuhku, namun mereka seolah berkebalikan dengan apa yang aku perintakan.

Dan kali ini aku terjatuh. Menopang tubuhku sendiri yang dilawan oleh tubuhku sendiri. Ada apa denganku ini. Aku berusaha untuk merintih minta tolonng. Aku mengapai-gapai apa-apa yang mungkin ada di dekatku. Tapi aku kini seolah berada di tengah jalanan luas tanpa seorangpun yang mempedulikanku. Tiba-tiba satu, dua, tiga, empat yang semakin banyak orang berdatangan dan hilir mudik namun mereka seolah tidak melihatku merintih kesakitan dan minta tolong. Mereka sibuk dengan urusan mereka masing-masing. Malam yang pekat seketika berubah menjadi panas yang terik. Langkah-langkah orang semakin cepat dikejar berbagai hal yang sudha ada di pikiran mereka. Mata mereka membuta, telinga mereka menuli. Aku berusaha untuk mengeraskan suara, dan kini kekuatanku kembali aku berteriak sekuat mungkin. Tapi apa, semua orang tetap sibuk dengan urusannnya masing-masing. Aku mencoba memegang mereka, mencoba bertanya dan memohon untuk diperhatikan barang sedetikpun.Tapi mereka bahkan terlihat acuh dan tidak mau tahu. 

"Aku ingin pulang." Kini pertahananku sepertinya mulai runtuh. Aku mulai terisak. Air mata yang keluar dari pelupuk mataku seolah jeritan dari sel-sel tubuhku yang selama ini aku penjarakan sendiri, aku sembunyikan dan aku samarkan. Mereka berebut untuk keluar bersama dengan tetes air mataku. Aku seolah tidak mengenal diriku sendiri. Aku hanya seorang yang berusaha untuk berdamai dengan perlawanan yang datang dari dalam diriku. 
"Apa maumu ?" Aku bertanya pada diriku sendiri. Aku menggeleng. 
"Apa salahku padamu selama ini ?" Lagi-lagi aku bertanya pada diriku sendiri. 
Telingaku seolah tidak mampu mendengar apa-apa selain isakan dari diriku sendiri. 
"Lalu buat apa aku disini, jika aku tak tahu akan harus kemana. Aku ingin pulang." Teriakku. 
Aku memejamkan mata. Aku ingin keluar dari tubuh rapuh ini, aku ingin lepas, aku ingin bebas. Aku ingin pergi. 

Tidak perlu menunggu hitungan detik, kini jiwaku mebali melayang. Aku serasa terbang. Tapi aku tidak tahu kemana arahku pergi. Yang terlihat hanya putih, semua serba putih. 
Putih yang menyilaukan, mataku perih, tapi aku menyukainya. Aku terbang. Aku menghibur diriku sendiri. Nikmati ini, ayo nikmati ini. Ada sebuah suara yang seolah memberiku petunjuk. Akhirnya aku menemukan petunjuk itu. Tapi apa yang bisa aku nikmati di tempat serba putih seperti ini. Lagi-lagi jiwaku memberontak pada ragaku. Aku ingin bebas, aku ingin pergi. Dan lagi, "aku ingin pulang".

"Dia. mengapa dia ada disana dengan kamera kesayangannya itu ?" Aku bertanya pada diriku sendiri. Aku menyipitkan mata untuk memperjelas penglihatanku. 
"Apakah benar itu dia ? Aku bertemu dia lagi ? Dimana aku ?" Aku menggerutu pada diriku sendiri.
"Mungkin ini hanya mimpi, aku selalu bertemu dia dalam mimpi. Yah setelah ini aku akan terbangun. Dan semua akan kembali seperti sediakala." Aku meyakinkan diriku sendiri. 
"Tapi bukan, ini bukan mimpi. Lalu apa ?" Aku meragukan keyakinanku sendiri.

Aku mencoba menghampiri sosok tegap yang sedang sibuk dengan kamera kesayangannya itu. Yah aku ingat sekali. dia terlalu sayang dengan kamera itu. Kamera itu. Dari balik lensanya aku pernah melihat dunia apa yang hanya dia lihat. Mungkin hanya seberkas cahaya yang selalu dia cari untuk menangkap fokus, tapi aku tahu dunianya begitu berbeda dengan yang lain. Aku selalu suka mengamati gayanya dalam membidik sasaran. Dia nampak angkuh dengan caranya, tapi aku suka. Dia selalu berkata kalau apa yang dilihatnya dari balik lensa kameranya itu tidak akan pernah bohong. Dia akan berkata apa adanya. 
"Lalu apakah dia tahu bahwa aku merindukannya ?" Ah aku segera menghapus pertanyaan yang lagi-lagi muncul tentang dia.
Aku ragu, perlukan aku mendekat. Dia kini hanya diam. Dia terlihat sedang mengamati gambar hasil potretnya. Senyum itu mengembang. Aku segera bergetar ketika pupil mataku mengecil dan menangkap senyum yang tersimpan dalam memoriku. Masih sama dan mungkin akan tetap sama.

Aku tetap setia berdiri di tempatku kini. dia tahu keberadaanku di dekatnya. Dia berjalan mendekat padaku dengan senyum itu. Senyum itu yang masih terpotret jelas dalam ingatanku. Dia mendekat dan dia memandangku lama. Aku hanya mampu terpatung. Aku memaksakan syaraf-syaraf wajahku untuk sedikit saja menyunggingkan senyum, tetapi kenapa ini terasa berat sekali. Aku mulai merutuki diriku sendiri. Kini dia mungkin hanya berjarak satu jengkal dari wajahku. Dia masih dengan senyumnya. Dia tidak berkata apa-apa. Sebentar saja dia lalu memperbaiki posisi kacamatanya, ternyata tidak ada yang berubah dari kesombongannya. Lalu terdiam melihatku dengan senyumnya. Aku berusaha menangkap isyarat yang dia sampaikan dari molekul-molekul udara di ruang antara aku dan dia. Aku mengartikannya satu persatu kiriman itu. Mata itu, seolah segera melumpuhkaku, membuat semua pertahanan dalam diriku melemah. Aku seolah kehilangan keseimbanganku, aku mengalami fase trans.

Dan dalam sekejap dia langsung menangkapku dan merengkuhku ke dalam pelukannya. Pelukannya, yah pelukannya. Aku merasakan kedamaian itu, aku merasakan kekuatanku kembali lagi. Aku merasakan penyatuan sukma yang aku sendiri tidak mengerti apa itu. Dia masih tetap diam dan tidak bergeming. Dia memelukku erat dan semakin erat. Aku hirup dalam-dalam aroma tubuh yang dikeluarkan oleh hormon-hormon itu. Aku merasakan mendapatkan kekuatanku kembali, aku mendapati diriku kembali. 

Aku ingin mengucapkan sesuatu, tetapi mengapa lidahku masih saja kelu. Semakin berusaha untuk aku berucap, semakin aku melemah. Aku berusaha untuk mempertahankan fase ini, fase dimana aku menemukan kekuatanku, tidak ada tempat lain yang aku tuju. Disini. dipelukannya, aku kembali mendapatkan kekuatan itu. Tetapi, ketika aku mencapi titik dimana aku merasakan sebuah ketenangan, ucapan lirih itu terlontar juga, "Aku harus pulang." 
Dan, semakin lama pelukan itu merenggang dan merenggang. Dia menyemu dan semakin menyemu. Dan kini lagi-lagi hanya ada aku. Dia menghilang.
Pelukan itu masih terasa, tapi apa, kini aku meyakinkan diriku sendiri bahwa dia telah pulang. Begitu juga dengan aku "Aku ingin pulang."

Peluit panjang itu memekakkan telingaku. Aku mencoba mengerjapkan mata. Aku mencoba menyandarkan diriku di kursi ruang tunggu dengan sisa-sisa tenagaku. Suara gesekan besi dengan besi itu semakin jelas. Aku mencoba untuk memfokuskan dan menyadarkan diriku sendiri. Hiruk pikuk itu mulai terasa. Pengumuman bahwa kereta api sebentar lagi akan di berangkatkan. Aku menarik nafas panjang. Dan kini aku tersadar aku sudah tertidur di kursi tunggu peron. Sepertinya aku sudah melewati banyak dimensi waktu, tetapi aku melirik pada jam yang melingkar di tangan kiriku, aku baru tertidur kurang dari 30 menit. Tapi rasanya sudah berhari-hari dan melelahkan.

Suasana stasiun malam ini cukup ramai. Disini aku lihat orang berlalu lalang, mengucap janji, mengucapkan selamat datang dan selamat tinggal. Di tempat ini semua orang mulai berharap. Disini semua orang mulai merasa cemas. Tapi yang pasti ditempat ini aku tahu bahwa perjalanan itu hanya sementara. Pada akhirnya semua akan datang dan pergi lagi. Dan paa akhirnya akan pulang.
Aku segera membereskan ranselku dan dengan sedikit terhuyung aku menaiki kereta yang akan membawaku. Terimakasih perjalanan. "Aku pulang."




Sabtu, 07 Juni 2014

Just For Information

yang aku dengar dari kamu adalah sebuah kebohogan, bukan lagi kejujuran. Buat apa kejujuran yang kamu nyatankan jika nyatanya kamu tidak akan pernah mempu menjadikannya nyata. Aku berharap apa yang terucap dari mulutmu adalah omong kosong, tak berarti dan seolah hanya ingin membuatku senang. Apa dengan begitu kamu seolah menyelamtkan kehilangan itu ? Tidak. Yang ada kamu malah seolah membuka lebah pintu yang seharunya sudah tertutup rapat itu. Untuk apa sebuah kejujuran jika nyatanya kamu tidak mampu menepatinya. Tidak usah kamu mengumbar seribu janjimu untuk terus mengingatku jika nyatanya kamu selalu bercumbu dengannya tanpa lagi mengingat namaku. Jangan lagi mengucapkan kata-kata yang hanya akan membuatku enggan bertemu denganmu lagi, dan sekalipun ucapkalah selamat tinggal sebagai bentuk perpisahan yang memang seharusnya begitu. Pergi saja, lupakan saja semua tentang aku dan kamu. Bukankah itu adalah bagian dari perjalanan. Tidak lagi ada yang perlu dikenang jika nyatanya itu tak sanggup menahanmu. Yah aku tahu ini terlalu berat, tapi tidak jika tanpamu. Aku lebih sanggup menjalaninya sendiri, tanpa lagi ada bayang wajahmu yang seolah mengiba untuk aku selalu baik-baik saja. Jangan lagi epdulikan keadaanku, memang seperti ini keadaanku, selalu bergumul dengan keadaan yang berusaha untuk aku jadikan sahabat. Jangan lagi panggil aku sahabat, jika nyatanya kita hanya berteman. Bertemu untuk berpisah, bukan untuk saling mempertahankan. Aku hanya memintamu untuk membandingkan dia yang lebih beruntung itu dengan diriku. Aku bukan siapa-siapa, aku hanya wanita biasa yang mengharapkan perkataanmu itu hanya kebohongan. Seolah berusaha untuk memanipulasikan keadaan sesuai dengan drama yang tiada akhirnya. Cukup, aku tidak mau lagi mendengar komentarmu tentang diriku, yang seolah tahu banyak tentang keadaanku saat ini. Jika nanti kita bertemu lagi, jangan sedikitpun tanyakan bagaimana keadaanku, aku akan baik baik saja dan selalu berusaha untuk baik-baik saja. 

Aku tidak berharap lebih, aku hanya sebatas menjalaninya. Aku harap kamu mengerti. Aku terbiasa seperti ini, dan tidak lagi aku ingin kamu mengerti. Karena aku tahu pengertianmu hanya untuk dia yang saat ini disampingmu, menggenggammu erat dan seolah takut untuk kamu lupakan barang sedetikpun. Untuk apa menjanjikan bahwa kamu akan selalu menyediakan ruang tersendiri untukku, jika nyatanya semua ruang itu telah dia kuasai. Kamu selalu berujar, itu masih kamu, tapi untuk apa kamu mengumbar semua kelakarmu itu jika nyatanya dengan jelas kamu menyatakan bahwa it's you, dia yang kini memilikimu, pantas disampingmu dan memilikimu. Tidak ada banyaj harapku saat ini, yang aku mau mulai saat ini, hilangkan saja memory tentang aku dan kamu. Aku dan kamu hanyalah sebuah kisah klise yang membuat banyak orang mendengarnya muak. Lupakan saja tentang hari, hujan dan cerita itu. Itu hanya ada dalam ingatan masa lalu, bukan untuk masa yang akan datang. Yang akan datang adalah milikmu dan dia, sedangkan aku adalah aku dan duniaku. 

Rabu, 28 Mei 2014

DIMENSI PARALEL

Disana, mungkin di sudut bumi lain. ada sepasang mata yang saling beradu untuk mengucapkan janji. Mungkin bukan ditempat ini, janji suci itu terucap. Bahkan mungkin tidak terdengar dan terjangkau oleh frekuensi pendengaranku. Aku hanya bisa merasakannya, mengimajinasikannya, dan memahaminya. Mungkin bukan dengan cara yang kasat mata. Coba lihat saja. Di dimensi lain mungkin sepasang tangan itu saling menggenggam untuk saling menguatkan, bukan sumpah janji sehidup semati yang terlantun, namun lebih dari itu tatapan hangat salaing menjanjikan bahwa tidak akan ada celah untuk saling menjauh. Mungkin detak jantung itu sedang berirama melantunkan doa dan harapan bersama, tentang sebuah rasa, tentang sebuah arti yang banyak orang menyebutnya dengan cinta. Mungkin dibelahan dunia sana, bukan kemolekan yang menjadi senjata utama untuk saling memikat, namun radar yang saling menemukan untuk menjalin sebuah keharmonian. Mungkin bukan disini yang selalu memuja-muja keindahan fisik untuk menjadi jalan penentu sebuah rasa itu tercipta. Mungkin disana ada sebuah rasa yang pantas untuk diperjuangkan hingga tampilan bukanlah sebagai penentu.

Disana, roda-roda itu saling bergesak untuk melanjutkan langkah demi perjalanan menuju keabadian. Bukan dengan omong kosong, namun dengan sebuah pengaharapan bahwa tidak akan ada yang mustahil. Mungkin disana, disebuah ruang, jemari itu saling mneyentuh dan memberi sebuah kekuatan bahwa tidak akan ada yang akan hilang meski waktu dengan angkuhnya mengilas semua kenangan. Mungkin, di sebuah waktu disana, raga itu saling bersanding untuk menikmati malam yang sunyi bukan dengan keriuhan akan dunia, namun dengan kedamaian yang melantunkan nyanyian alam. 

Bukankah bisa kamu bayangkan, barang sejenak saja. Bukan detak jam yang menjadi petunjuk waktu. Bukan pandangan dinding ruangan sebagai penyita perhatian, tapi tentang kita. Hanya ada aku dengan kamu, dan mimpi mimpi indah itu. Telantun dalam sebaris doa yang tertuju pada empuNya kehidupan. Mungkin disana, tidak ada tempat lain yang mendamaikan selain berada disampingmu, untuk bersandar bahwa hidup ini hanyalah soal menjalani, bukan untuk dikeluhi. Mungkin disuatu masa aku dan kamu saling menciptalan ruang untuk saling berpegang tangan hingga rambut memutih bersama, berproses dengan waktu yang terus berlalu, hingga nanti aku dan kamu menua bersama. Mungkin, itu yang ada dalam bayangan. Bayangan yang mungkin akan semakin menyemu jika nyatanya itu hanya ada di tempat lain, karena yang seharusnya belum tentu yang senyatanya. Kini senyatanya, aku hanya duduk termenung untuk sejenak saja menuliskan sebuah dimensi yang aku ciptakan sendiri untuk melukiskan jika aku menua bersamamu. Mungkin bukan hari ini, namun di dimensi lain aku dan kamu akan saling berjalan beriringan untuk saling meyakinkan bahwa semuanya akan baik-baik saja. 

Selasa, 13 Mei 2014

Pada sebuah "DONGENG"

Hei kamu yang berdiri menghadap senja. Betapa sukanya engkau berlama-lama untuk menghadap senja ? Apakah ada ucap kata perpisahan yang engan untuk kamu ucapkan ? Ah rasa-rasanya senyummu selalu tegas untuk meyakinkan bahwa aku harus tetap berjalan. Bukan untuk berhenti di tempat yang hanya akan sama-sama menahan kita. Sungguh, terlalu jelas tegap tubuhmu ketika kamu berdiri memandangi besi kotak panjang yang berjalan di atas jalanannya sendiri. Bukankah itu saat-saat yang memilukan ? Aku tidak sedikitpun melihat senyummu. Mana senyummu yang selalu kamu banggakan itu ? Ah bayangan itu sungguh masih terlalu jelas untuk aku ingat. Waktu seolah menghanyutkan semua ingatan tentang sorot mata itu. Jangan, jangan sedikitpun pernah berbohong dengan kata-kata manismu. Mungkin aku terlalu mengenalmu sebagai pemain sadiwara yang sangat lihai. Kamu bisa memainkan peran yang sekalipun tidak kamu sukai. Kamu begitu memukau dengan peranmu dibalik topeng yang tidak pernah tertebak itu. Masihkah kamu anggun memainkan peranmu itu ? Ah aku rasa kamu akan tetap ahli dalam usahamu menutupi semuanya. Coba ajarkan padaku bagaimana caramu itu ? Biar sebentar saja aku bisa lupa untuk tidak membicarakan tentang kamu. 

Apa istimewanya dirimu ? Rasa-rasanya tidak ada. Yah, kamu sama saja seperti yang lain. Tidak lebih dan tidak kurang, tetapi kamu satu paket yang memiliki dua sisi. Aku tidak mengagumimu karena segala kelebihanmu. Bahkan aku terlalu bosan dengan kelebihan yang seolah ingin kamu banggakan itu. Yang terlihat dimata telanjangku, kamu itu tetap sosok yang manja dan "pembohong". Tapi coba saja kalau kamu berusaha membohongiku, pasti akan aku pelintir tanganmu. Terlalu menyeramkankah caraku untuk menghormatimu. Tidak peduli apa dan bagaimana caraku, tapi ini caraku untuk menerimamu dan melihatmu dengan apa adanya dirimu. 

Apakah kamu masih menyukai hujan ? Oh atau ingatanku sudah mulai memburuk tentang kamu, sepertinya kamu paling benci jika harus berhadapan dengan hujan. Tapi masih ingatkah kamu, jika aku menyukai hujan ? Kamu pernah bilang kalau saat hujan datang, sejenak saja kamu memintaku untuk mendengarkan nada yang dimainkan oleh rintik-rintik hujan dengan naturalnya. Dari situ aku bisa mendengar bissikan alam yang seolah memberikan kedamaian. Kamu selalu menyadarkanku akan sesuatu yang sedari awal tidak pernah terpikirkan olehku. Ah terlalu lama aku menikmati hujan, tetap saja ingatan itu masih tentang kamu. 


Apalagi yang harus aku mengerti ? Apalagi yang harus aku pahami ? Aku harus melihatmu menikmati tarian hujan dengan sosok penyempurna hidupmu ? Yah, itu harapku. Aku belajar untuk menikmati hujan meski hujan kali ini dan seterusnya tidak akan lagi sama. Kemarin, hari  ini dan yang akan datang, apa bedanya jika nyatanya tidak ada lagi teriakmu untuk mengingatkanku menikmati rintik hujan ? Kamu memainkan melodi hujan dengan cara yang berbeda, di dunia yang berbeda dan dengan anggukan anggun yang berbeda. Ah pasti rasanya menyenangkan, duduk berdua hanya mengitung bulir-bulir hujan seperti orang yang tidak punya kerjaan. Bukakah itu kebiasaan kita ? Melakukan berbagai hal yang seolah nampak konyol dan tidak bemanfaat. Tapi tahukan kamu, setiap sudut kota bahkan menertawakanku karena kenangan itu seolah timbul tenggelam karena ingatanku masih tentang kamu. 

Bukan hanya mereka saja yang menertawakanku, bahkan diriku sendiripun juga begitu. Aku seolah menertawakan kebodohanku yang mengulur-ulur kenangan dan tidak ingin menyimpannya dalam kotak hitam rahasia kita. Aku memilih menikmatinya, meski aku sendiripun tahu itu hanya caraku untuk selalu menghadirkanmu disini. Seperti orang bodoh bukan ? Ini kenyataannya, meski kadang kita selalu nampak egois yang memaksakan yang seharusnya. Lihat saja kenyataannya, kamu memunggungiku dan berjalan, terus berjalan. Mungkin melupakan atau memang sengaja untuk dilupakan, karena semua waktu dan ingatan itu akan tetap tertuju pada satu kenangan. Mungkin ini hanya akan menjadi catatan usang yang tidak berarti. Tapi percayalah ketika aku kembali membaca kertas usang ini, aku percaya, aku dan kamu sudah berada di dunia kita masing-masing. Siapa yang bisa menebak apa yang akan terjadi. Karena bukan hidup namanya jika tidak memainkan rasa. 

Sabtu, 03 Mei 2014

because dreams will come true

Bukan hidup namanya jika tidak mempermainkan rasa. Mungkin kalimat itu yang akhir-akhir ini selalu tergiang dan selalu menjadi bahan permenungan. Benar bukan ? Coba lihat saja, baru sejenak manuisa dikunjungi bahagia, bisa dalam sekejam manusia ditinggalkan bahagia lantas yang ada hanya sepi. Terlalu klise jika mengatakan hidup itu adalah perjuangan, hidup itu adalah perjalanan. Yah terlalu sering mendengar hal itu bukan ? Apa ada filosofi lain yang bisa dijelaskan pada dunia apa itu hidup ? Ah terlalu luas jika harus berdiskusi tentang makna hidup dan kawan-kawannya, toh itu akan kembali lagi pada bagaimana orang itu menerima hidupnya dan menghabiskan kesempatan yang diberikan kepadanya. Ini bukan sekedar omong kosong atau apalah yang orang kira membual. Mungkin ada kalanya kita mau menurunkan ego kita untuk menerima yang terjadi. Apa yang kita rencanakan tidak selalu terjadi sesuai dengan detail yang kita bayangkan. Persiapkan diri kita untuk sebuah kemungkinan dan menerima kemungkinan yang lain. Jika satu pintu tertutup percaya saja kalau akan ada pintu lain yang akan terbuka.

Seberapa besar kamu percaya akan sebuah keajaiban itu ? Ah hidup ini memang penuh dengan kejutan, baik kejutan yang bisa kita terima atau bahkan kita tolak dengan mentah-mentah. Manusia terkadang terkesan egois, selalu mau apa yang dia mau, bukan mencoba apa yang Tuhan mau. Benar begitukan ? Bukan cuma aku, kamu, bahkan mungkin kita. Kita, ya kita yang sekarang sedang belajar berpijak pada realitas. Sungguh, jangan terlalu sinis akan dunia yang berpantul dari pikiranmu, meski itu yang akan kamu dapati. Percayalah, yang kita bisa hanya melakukan yang terbaik dan siap dengan kemungkinan terburuk sekalipun. Lihat, banyak orang berjuang untuk hidupnya. Ayah berjuang untuk emncari nafkah bagi keluarganya, ibu berjuang untuk menopang keluarganya, anak berjuang untuk mempersiapkan kehidupannya kelak. Belajar, belajar, dan belajar. Hidup itu adalah proses belajar. Belajar untuk menerima. Belajar untuk mengerti. Belajar untuk merelakan. Belajar untuk melepaskan. Belajar untuk bahagia. Belajar untuk sedih. Dan pada akhirnya belajar untuk berserah. Lantas apa yang bisa kita lakukan untuk belajar ? mempersiapkan diri, toh pendaki gunung mana yang tahu bahwa didepan sana ada tebing yang curam, jalan yang rata, hutan yang rindang, badai yang menghadap, atau pemandangan yang menakjubkan ? Siapa yang bisa menjamin semua itu. Manusia hanya sebatas menerima, karena ada kalanya dengan menerima manusia harus terus berharap. Meminta untuk sesuatu yang lebih baik. Walaupun bukan untuk saat ini juga, tetapi untuk kehidupan yang akan datang. 


Manusia boleh menyerah, siapa yang tidak memperbolehkan manusia menyerah ? Karena dengan menyerah mungkin manuasia bisa tahu batas kemampuannya, dan dia tahu diri bahwa bukan hanya kekuatannya yang menjadikan semuanya nyata. Lalu apa yang bisa manusia lakukan ? Kadang menjaga mimpi untuk terus bermimpi itu adalah salah satu hal yang kita butuhkan. Bayangkan saja jika kita hidup tanpa mimpi ? Apakah hidup akan berjalan lebih indah ? Oh sungguh mimpi itu memang memabukkan. Tetapi dengan mimpi itu, orang yang yang sekarat sekalipun masih berharap memiliki hari esok. Berkumpul dengan keluarganya, melihat matahari terbit dan terbenam, bahkan melihat kejutan kehidupan mempermainkannya. Pelihara saja mimpi itu, walaupun banyak orang yang gembar gembor jangan mimpi setinggi langit, tapi itu yang menuntun langkah kita bahwa mentari esok akan terbit dari timur dan tenggelam di ufuk barat. Jaga saja mimpi itu dan percaya saja, memintalah belas kasihNya, dan bagikan belaskasihNya. Dan lihatlah hidup  kita akan memiliki warna meski tanpa harus terlihat oleh orang lain. 

Rabu, 02 April 2014

[CERPEN] : WAKE (me) UP

Matahari masih saja menampakkan kegarangannya hari ini. Lalu apa yang Elsa cari ? Yah yang bisa dia lakukan sekarang hanya menyisir jalanan kota yang sudah terlalu bermakna untuknya.
"Ah orang-orang itu juga sendiri. Apa yang mereka takuti ?' Gerutu Elsa pada dirinya sendiri.
Pandangan Elsa tertujua pada seorang anak kecil yang sedang mengais-ngais tong sampah hanya untuk mencari sesuap nasi.
"Lalu apa yang aku cari ?" Elsa bertanya pada dirinya sendiri. 
Lagi-lagi Elsa mencoba untuk tidak menghiraukan segala pemandangan disekitarnya. Elsa terus berjalan seorang jalan yang dia lewati sama sekali tak berujung.

"Nak kasiani saya nak. Saya belum makan dari kemarin." Tiba-tiba langkah Elsa terhenti oleh rintihan seorang kakek tua yang tersudut dijalanan yang ramai ini. Tatapan mata Elsa langsung tertuju pada wajah sayu dan badan kurus berbaju combang camping dihadapannya. Elsa dalam sekejap tidak berkedip. Hanya mematung, seolah Tuhan segera memberi jawaban akan segala tanyanya. 
Elsa merogoh sepotong roti yang baru saja tadi dibelinya, dan diberikannya pada kakek tua itu tanpa berkata apapun. Tatapan Elsa hanya menerawang seolah inin menembus batin kakek tua itu.
"Apa ada pilihan lain ketika hidup dirasa tidak adil ? Inikah yang dinamakan dengan keadilan alam ?" Lagi-lagi Elsa hanya mampu menggerutu.

Rasa-rasanya lelah juga Elsa menyusuri jalanan kota Malioboro ini. Elsa menghentikan langkahnya di tempat itu. Ya lagi-lagi ditempat itu. Bukan tempat yang terlalu istimewa. Hanya sebuah tempat duduk sederhana. Namun seketika tatapan Elsa menerawang jauh.
"Aku sendiri. Lalu apa yang harus aku takuti ?" Elsa lagi-lagi menanyakan hal yang sama pada dirinya sendiri. Es yang sembari tadi dibelinya kini mulai mencair. Kenangan itu. Yah kenangan itu. Kenangan akan tempat ini juga membangkitkan Elsa pada sosok yang dirindukannya. Seorang sahabat yang dirindukannya. Seolah waktu berputar dengan cepatnya. Lantas siapa yang bisa menawar ego Sang Waktu ? Apa manusia bisa berbuat lebih ? Tidak. Kini Elsa hanya duduk menyendiri bertemankan dengan kenangannya. Orang yang biasanya disampingnya kini telah tiada.


"Kamu masih selalu datang ke tempat ini ?" Suara itu seolah berada dalam angan Elsa. Elsa mencoba menegakkan duduknya untuk memperjelas suara itu. Yah suara itu, begitu familiar di telinga Elsa. 
"Ah ini hanya imajinasiku saja." Elsa mencoba meyakinkan dirinya sendiri. Sebeginikah efek yang harus ditanggungnya. Dalam himpitan masalah yang seolah merobohkannya, Elsa hanya mampu menompangnya sendiri.

"Iya hanya ingin menepati janji. Aku akan selalu punya alasan datang kesini. Bukan karena kamu teapi karena tempat ini aku punya sejumput kenangan yang bisa menghidurku."Elsa akhirnya berani membalas suara itu. 
Keriuhan kota ini serasa tidak berarti untuk Elsa. Dia hanya sendiri. Menunggu waktunya kembali ke realita semula.

"Aku masih sehatkan. Apa separah ini keadaanku sekarang. Hingga aku tidak mampu lagi beroroentasi pada waktu. Tuhan ada apa denganku ini." Elsa mencoba menyadarkan dirinya sendiri.

"Woi Sa kamu dimanaaaaa ?" Lengking suara dari telepon itu mengagetkan Elsa dan membuatnya kembali berpijak pada realitanya sendiri. "Duh, iya iya nggak harus pake teriak juga kali." Teriak Elsa tak kalah kerasnya. "Aku tahu kamu dimana. Udah kamu disitu dulu sebentar lagi aku nyamperin kamu kesitu. Jangan kemana-mana." Teriak Tias lagi. Ah dia memang sahabat yang pengertian. Di tengah gempa hidup yang Elsaalami, selalu saja terselip satu orang yang masih mau tahu keadaan Elsa. Dia itu Tias.


"Non, are you okay ?" Tanya Tias tiba-tiba. "Maybe yes maybe no. Beginilah." Jawab Elsa engan. "Kamu kenapa lagi ? Kamu kangen kangen dia ?" Tanya Tias tanpa tendeng aling. 

Bukan lagi kata-kata yang sanggung Elsa bantah namun hanya air matanya yang seolah dari tadi di tanhannya. Secepat kilat juga Tias memeluk Elsa. 
"Aku takut As. Aku takut. Aku ngerasa sendiri. Aku harus gimana ?" Suara Elsa bahkan tenggelam oleh sesenggukannya. Tias tidak berkata apa-apa hanya pelukan yang mampu dia berikan saat ini.
Tias tahu apa yang Elsa harus lakukan, tapi Tias tidak bisa memaksanya. 
"Sa, kamu tahu apa yang harus kamu lakukan. Lepaskan dia. Biarkan dia pergi. Kamu tidak pernah sendiri. Ada aku disini yang selalu nemenin kamu. Jangan pernah takut." Tias mencoba meyakinkan Elsa.

Tangis Elsa masih juga belum reda. Seolah bom waktu. Dibalik ketegaran Elsa tersimpan kerapuhannya yang berusaha dia tutupi. Namun kali ini tangis itu akhirnya pecah juga.
"Aapa aku bisa lakukan lebih dari ini. Aku hanya ingin dia kembali. Cukup itu." Suara Elsa masih juga belum jelas.
"Sa, wake up. Kamu bisa melakukan lebih dari ini." Tias mencoba menenagkan Elsa.
"Tapi apa yang bisa aku lakukan ?" Tanya Elsa ragu.
"Tepati janjimu kalau kamu akan baik-baik saja disini." Sebaris kalimat yang diucapkan Tias seolah membekap sejuta alasan Elsa untuk berkilah dan membendung semua tangisnya yang baru saja pecah. 

Selasa, 01 April 2014

T-E-R-U-N-T-U-K

Ini bukan tentang surat istimewa ataupun tentang ungkapan mendalam. Ini hanya sebatas kata yang bisa saja dianggap sebagai angin lalu. Tidak terlalu pantas dipedulikan atau dihiraukan barang semenitpun. Ini tentang sebuah rasa, ini tentang sebuah makna. Meski hanya tertuang dalam susunan huruf-huruf namun kelak kamu akan mengerti ini adalah sebuah caraku menyampaikannya padamu. Bukan dengan kata-kata indah yang sanggup menyanjungmu. Ini hanya bait demi bait yang berusaha untuk kamu mengerti. Mengerti bahwa menunggu itu adalah bagian dari perjalananku menemukanmu. Coba sejenak saja dengarkan apa yang ingin aku sampaikan, jika ini membutuhkan waktumu terlalu banyak, jangan kau anggap sia-sia tentang apa yang telah susah payah aku susun untukmu. Aku tidak berlagak menjadi sosok yang romantis untuk menyanjungmu. Namun aku ingin berusaha untuk menjadi apa adanya diriku teruntukmu. 

Teruntuk.
Kalimat ini hanya sederhana. Sesederhana caraku meniti setiap waktu untuk aku nikmati sendiri. Dalam diamku. Dalam hembusan nafasku. Dalam setiap detakmu. Dalam setiap baris doaku. Aku memintaNya untuk mempertemukanku denganmu. Bukan denganmu yang tersegalanya, namun denganmu yang terbaik yang selama ini kurindu. Setiap saat aku mencoba berbincang dengan empuNya perasaan. Aku hanya meminta dengan sederhana. Jika waktunya sudah tiba, dekatkanlah apa yang terbaik untukku. Sungguh, bukan lagi harapku yang muluk-muluk. Walaupun dalam setiap hening seolah aku menggerutu pada langit yang seolah diam menatapku dengan tatapan hampanya. Bukan nama yang aku sebutkan, namun pasangan jiwa yang aku rindukan. Dibawah naungan langit yang sama. Setiap malamnya kita selalu ditemani oleh bintang yang sama pula. Aku tidak mengharapkan lebih. Meski egoku kadang mendesakku untuk meminta lebih. Namun aku coba untuk tidak letih menunggu sesuatu yang lebih. Bukan tentang harapku, bukan tentang mimpiku namun tentang mauNya. Siapa yang akan tahu apa yang sudah ditakirkan untukku ? Toh semua sudah berjalan sebagaimana mestinya. Apalagi yang perlu aku tuntut. Bahkan dia yang Maha Membolak balikkan perasaan manusia seolah tahu apa yang memang sejatinya terbaik untukku.


Teruntuk.
Teruntuk kamu yang bahkan mungkin sampai saat ini belum terjangkau oleh mataku. Aku tahu alam akan mempertemukanku denganmu disaat yang tepat. Aku terlalu bosan jika harus mendengar satu kata "sabar". Tapi apa yang bisa aku perbuat lebih dari itu. Karena itu yang bisa aku usahakan untuk saat ini. Lalu aku coba tulikan telingaku dari olok-olokan sekitar yang seolah menyudutkan keadaanku. Lalu apa aku harus menyerah dengan semua itu ? Tidak. Aku ingin tunjukkan padamu ini adalah caraku menemukanmu. Entah kamu sedang berada dimana dan dengan siapa. Tenanglah tenang aku akan mengusakan untuk menjadi wanita yang kelak kamu bisa banggakan. Mungkin bukan karena rupa, mungkin juga bukan karena tahta. Namun aku ingin usahakan menjadi wanita terbaik yang bisa membangun mimpi dan mewujudkannya bersamamu. Apa ini terdengar terlalu belebihan ? 

Teruntuk. 
Taukah kamu aku selau menyukai hujan. Entah mengapa aku selalu melihat bulir wajahmu disetiap rintik hujan yang turun. Terlalu hiperbolis atau berlebihan ? Apa peduliku. Ini caraku menyampaikan sejuta kerinduanku kepada alam. Ini caraku menyentuhmu dalam diamku. Bukan dengan cara yang kasat mata karena mungkin saat ini aku hanya bisa menyapamu melalui isyarat yang sanggup aku rasa. Aku selau mencoba mendeteksimu dengan radar yang aku punya. Bukankah kelihatannya aku canggih ? Menemukanmu seolah kamu itu alien yang bisa tertangkap radar dimanapun kamu berada ? Ah aku tidak terlalu muluk untuk nanti kamu bilang lucu, aku mungkin akan memperlihatkan diriku sebagaimana adanya. Inilah diriku, inilah caraku untuk menerimamu. Aku ingin kelak kita sama-sama berjalan beriringan untuk belajar akan sebuah kata yaitu "hidup". Aku mencoba untuk mengosongkan diriku utuk nantinya kamu jadikan utuh karena telah berhasil menemukanmu. Kelak aku ingin menyapamu dengan caraku yang tidak terlalu berlebihan, bukan dengan panggilan sayang ataupun panggilan lainnya. Kelak aku hanya akan memanggilmu pasangan jiwaku. Karena kamu adalah penyempurna hidupku.

Kamis, 27 Maret 2014

SOMEDAY

Alam. Apa yang manusia bisa lakukan untuk sebentar saja bercengkerama dengan alam ? Mencoba menghindar tapi apa yang manusia bisa ? Konspirasi alam itu seolah menujukkan sebuah jalan untuk mengungkap takdir manusia. Mana yang dikatakan cobaan dan mana yang bisa dikatakan pertanda ? Coba beri satu alasan untuk membedakannya. Bukankah itu amat sangat beda tipis sekali? Seolah menjadi pertanda kalau semua itu hanya ada dalam jangkauan mata untuk membedakannya. Bukankah manusia hanya diminta untuk berusaha lebih ? Lalu apa mau alam ? Seolah usaha manusia terkesan sia-sia jika alam menampakkan kemauannya yang tidak bisa dinego lagi. Ada hitam ada putih. Ada datang ada pergi. Ada hujan ada pelabgi. Bukankan dari hal sekecil itu semua membutuhkan proses ? Proses untuk mengubahnya. Yah, hati tidak bisa lagi memohon jika ntanya usaha yang manusia lakukan belum menujukkan hasil yang maksimal. Semua butuh usaha. Itu adalah kata-kata klise untuk mempermulus sebuah kekecewaan dan keputusasaan. Ini hanya tentang proses mengubah. Bukan tentang cara untuk memaksa. Wajar jika manusia berharap yang terbaik bagi hidupnya saat ini dan yang akan datang. Lalu bagaimana yang telah berlalu ? Itu hanya sementara. Toh pada akhirnya sudah berlalu. Lihat saja susunan katanya "masa lalu". Bisakah diubah ? Tidak yang bisa dilakukan hanyalah melakukan yang terbaik untuk waktu yang akan datang. Saat ini dan yang akan datang.Manusia sewajarnya boleh berusaha dan berdoa, berharap dan menerima. Hingga kelak semua akan indah pada waktunya. Akan ada masa dimana masa itu yang awalnya hanya ada di pelupuk mata kita, di angan kita, dan di mimpi kita. Semua akan begitu nyata hingga hidup menjadi terasa utuh karenanya. 

Selasa, 18 Maret 2014

TWIST

Rasa-rasanya baru kemarin kamu ingin segera mengejar ketertinggalanmu? Ah iya, rasanya juga baru kemarin juga kamu ingin segera menyelesaikan apa yang memang sepantasnya diselesaikan. Dan baru saja kamu berusaha meyakinkan dirimu sendiri bahwa kamu bisa dengan dirimu. Lalu sepertinya memang benar jika banyak orang berdalil kalau Tuhan itu memang Maha membolak balikkan perasaan umatNya. Mau buktinya ? Lihat saja kamu sekarang. Kamu baru saja mencari banyak keyakinan untuk memperkuat langkahmu sendiri menghadapi apa yang memang harus kamu hadapi. Lalu apa ? Sepertinya semuanya terlihat sia-sia. Ruang yang kamu kira sejenak saja memberimu kekuatan ternyata jauh dari apa yang kamu harapkan. Tempat untukmu sejenak saja mengadu sepertinya tidak mendengar teriakan dari dalam hatimu. Mereka bahkan membisu, menulikan telinganya untuk menghindar dari teriakanmu. Lalu apa yang salah dari sikapmu ? Coba sejenak saja kamu merenungkan apa yang kamu cari saat ini. Yah, kamu lagi-lagi harus berusaha berdiri di kakimu sendiri. Tidak tergantung dengan orang lain. Toh siapa yang mau kamu andalkan ? Bukankah dirimu sendiri, keyakinanmu pada Tuhanmu. Tidak ada yang lain. Jangan terlalu banyak berharap orang-orang mendengarkan rintihanmu, keluhakan saja semuanya pada Tuhanmu. Tidak ada tempat yang lebih mendamaikan ketika kamu bersujud dan memohon kepadanya. Sudah, abaikan saja segala kejengahanmu akan dunia ini. Luapkan saja apa yang membuatmu marah dan membuatmu merasa muak. Coba dengarkan saja kata hatimu. Tetaplah tersenyum untuk menghibur dirimu sendiri. Bukan dia atau mereka tapi dirimu sendiri. Tidak ada yang lain. Jangan terlalu percaya pada apa yang ditampilkan mereka dihadapanmu. Bukan mengajarkan untuk memiliki dendam namun yang pasti tempat untukmu menimba lagi semangat ya ada dalam dirimu sendiri. Lagi-lagi bukan dia atau mereka. Yah, memang rasa-rasanya tidak perlu hitungan hari, bulan atau tahun jika kamu ingin menguji seberapa kuat dirimu bertahan. Buktinya tidak dalam hitungan 24 jam kamu lagi-lagi diminta untuk yakin. Yakin untuk apa ? Yakin bahwa ruang itu ada dalam hatimu. Mungkin selama ini mereka tidak tahu apa yang kamu perjuangkan dibalik senyum bahagiamu ? Yah, mereka mungkin hanya tahu apa yang terlihat dari wajahmu. Tenanglah tenang kamu harus yakin bahwa dirimu tidak selemah itu. Belajarlah untuk mengampuni. Mungkin benar jika kamu belum melakukan yang terbaik. Anggap saja ini cara waktu dan keadaan menempamu hingga menjadi kuat. Tidak Harus setangguh baja namun jika kamu jatuh kamu tahu bagaimana caranya untuk berdiri. Oke, boleh saja kamu menertawakan dirimu sendiri saat ini. Dirimu yang ternyata tidak sekuat apa yang kamu bayangkan. Lagi-lagi janganlah kamu mengasiani dirimu sendiri. Gunakan saja waktu yang tersisa untuk menerima. Bukan menerima keadaan namun belajar untuk menerima dirimu sendiri. Lihat, kamu dalam hitungan detik kebelakang kamu masih terbakar oleh semangatmu. Namun seketika kamu mengingat titik lemahmu, hei ini saatnya untukmu berdiri. Bukan untuk tergantung dan hanya mematung. Tapi kamu harus tahu bahwa dirimu tetaplah sosok yang tahu bagaimana terus melanjutkan langkah meski setiap kali mengikis rasa percayamu pada sekitarmu.