Selasa, 13 Mei 2014

Pada sebuah "DONGENG"

Hei kamu yang berdiri menghadap senja. Betapa sukanya engkau berlama-lama untuk menghadap senja ? Apakah ada ucap kata perpisahan yang engan untuk kamu ucapkan ? Ah rasa-rasanya senyummu selalu tegas untuk meyakinkan bahwa aku harus tetap berjalan. Bukan untuk berhenti di tempat yang hanya akan sama-sama menahan kita. Sungguh, terlalu jelas tegap tubuhmu ketika kamu berdiri memandangi besi kotak panjang yang berjalan di atas jalanannya sendiri. Bukankah itu saat-saat yang memilukan ? Aku tidak sedikitpun melihat senyummu. Mana senyummu yang selalu kamu banggakan itu ? Ah bayangan itu sungguh masih terlalu jelas untuk aku ingat. Waktu seolah menghanyutkan semua ingatan tentang sorot mata itu. Jangan, jangan sedikitpun pernah berbohong dengan kata-kata manismu. Mungkin aku terlalu mengenalmu sebagai pemain sadiwara yang sangat lihai. Kamu bisa memainkan peran yang sekalipun tidak kamu sukai. Kamu begitu memukau dengan peranmu dibalik topeng yang tidak pernah tertebak itu. Masihkah kamu anggun memainkan peranmu itu ? Ah aku rasa kamu akan tetap ahli dalam usahamu menutupi semuanya. Coba ajarkan padaku bagaimana caramu itu ? Biar sebentar saja aku bisa lupa untuk tidak membicarakan tentang kamu. 

Apa istimewanya dirimu ? Rasa-rasanya tidak ada. Yah, kamu sama saja seperti yang lain. Tidak lebih dan tidak kurang, tetapi kamu satu paket yang memiliki dua sisi. Aku tidak mengagumimu karena segala kelebihanmu. Bahkan aku terlalu bosan dengan kelebihan yang seolah ingin kamu banggakan itu. Yang terlihat dimata telanjangku, kamu itu tetap sosok yang manja dan "pembohong". Tapi coba saja kalau kamu berusaha membohongiku, pasti akan aku pelintir tanganmu. Terlalu menyeramkankah caraku untuk menghormatimu. Tidak peduli apa dan bagaimana caraku, tapi ini caraku untuk menerimamu dan melihatmu dengan apa adanya dirimu. 

Apakah kamu masih menyukai hujan ? Oh atau ingatanku sudah mulai memburuk tentang kamu, sepertinya kamu paling benci jika harus berhadapan dengan hujan. Tapi masih ingatkah kamu, jika aku menyukai hujan ? Kamu pernah bilang kalau saat hujan datang, sejenak saja kamu memintaku untuk mendengarkan nada yang dimainkan oleh rintik-rintik hujan dengan naturalnya. Dari situ aku bisa mendengar bissikan alam yang seolah memberikan kedamaian. Kamu selalu menyadarkanku akan sesuatu yang sedari awal tidak pernah terpikirkan olehku. Ah terlalu lama aku menikmati hujan, tetap saja ingatan itu masih tentang kamu. 


Apalagi yang harus aku mengerti ? Apalagi yang harus aku pahami ? Aku harus melihatmu menikmati tarian hujan dengan sosok penyempurna hidupmu ? Yah, itu harapku. Aku belajar untuk menikmati hujan meski hujan kali ini dan seterusnya tidak akan lagi sama. Kemarin, hari  ini dan yang akan datang, apa bedanya jika nyatanya tidak ada lagi teriakmu untuk mengingatkanku menikmati rintik hujan ? Kamu memainkan melodi hujan dengan cara yang berbeda, di dunia yang berbeda dan dengan anggukan anggun yang berbeda. Ah pasti rasanya menyenangkan, duduk berdua hanya mengitung bulir-bulir hujan seperti orang yang tidak punya kerjaan. Bukakah itu kebiasaan kita ? Melakukan berbagai hal yang seolah nampak konyol dan tidak bemanfaat. Tapi tahukan kamu, setiap sudut kota bahkan menertawakanku karena kenangan itu seolah timbul tenggelam karena ingatanku masih tentang kamu. 

Bukan hanya mereka saja yang menertawakanku, bahkan diriku sendiripun juga begitu. Aku seolah menertawakan kebodohanku yang mengulur-ulur kenangan dan tidak ingin menyimpannya dalam kotak hitam rahasia kita. Aku memilih menikmatinya, meski aku sendiripun tahu itu hanya caraku untuk selalu menghadirkanmu disini. Seperti orang bodoh bukan ? Ini kenyataannya, meski kadang kita selalu nampak egois yang memaksakan yang seharusnya. Lihat saja kenyataannya, kamu memunggungiku dan berjalan, terus berjalan. Mungkin melupakan atau memang sengaja untuk dilupakan, karena semua waktu dan ingatan itu akan tetap tertuju pada satu kenangan. Mungkin ini hanya akan menjadi catatan usang yang tidak berarti. Tapi percayalah ketika aku kembali membaca kertas usang ini, aku percaya, aku dan kamu sudah berada di dunia kita masing-masing. Siapa yang bisa menebak apa yang akan terjadi. Karena bukan hidup namanya jika tidak memainkan rasa. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Thankyou for reading :)