Rabu, 28 Mei 2014

DIMENSI PARALEL

Disana, mungkin di sudut bumi lain. ada sepasang mata yang saling beradu untuk mengucapkan janji. Mungkin bukan ditempat ini, janji suci itu terucap. Bahkan mungkin tidak terdengar dan terjangkau oleh frekuensi pendengaranku. Aku hanya bisa merasakannya, mengimajinasikannya, dan memahaminya. Mungkin bukan dengan cara yang kasat mata. Coba lihat saja. Di dimensi lain mungkin sepasang tangan itu saling menggenggam untuk saling menguatkan, bukan sumpah janji sehidup semati yang terlantun, namun lebih dari itu tatapan hangat salaing menjanjikan bahwa tidak akan ada celah untuk saling menjauh. Mungkin detak jantung itu sedang berirama melantunkan doa dan harapan bersama, tentang sebuah rasa, tentang sebuah arti yang banyak orang menyebutnya dengan cinta. Mungkin dibelahan dunia sana, bukan kemolekan yang menjadi senjata utama untuk saling memikat, namun radar yang saling menemukan untuk menjalin sebuah keharmonian. Mungkin bukan disini yang selalu memuja-muja keindahan fisik untuk menjadi jalan penentu sebuah rasa itu tercipta. Mungkin disana ada sebuah rasa yang pantas untuk diperjuangkan hingga tampilan bukanlah sebagai penentu.

Disana, roda-roda itu saling bergesak untuk melanjutkan langkah demi perjalanan menuju keabadian. Bukan dengan omong kosong, namun dengan sebuah pengaharapan bahwa tidak akan ada yang mustahil. Mungkin disana, disebuah ruang, jemari itu saling mneyentuh dan memberi sebuah kekuatan bahwa tidak akan ada yang akan hilang meski waktu dengan angkuhnya mengilas semua kenangan. Mungkin, di sebuah waktu disana, raga itu saling bersanding untuk menikmati malam yang sunyi bukan dengan keriuhan akan dunia, namun dengan kedamaian yang melantunkan nyanyian alam. 

Bukankah bisa kamu bayangkan, barang sejenak saja. Bukan detak jam yang menjadi petunjuk waktu. Bukan pandangan dinding ruangan sebagai penyita perhatian, tapi tentang kita. Hanya ada aku dengan kamu, dan mimpi mimpi indah itu. Telantun dalam sebaris doa yang tertuju pada empuNya kehidupan. Mungkin disana, tidak ada tempat lain yang mendamaikan selain berada disampingmu, untuk bersandar bahwa hidup ini hanyalah soal menjalani, bukan untuk dikeluhi. Mungkin disuatu masa aku dan kamu saling menciptalan ruang untuk saling berpegang tangan hingga rambut memutih bersama, berproses dengan waktu yang terus berlalu, hingga nanti aku dan kamu menua bersama. Mungkin, itu yang ada dalam bayangan. Bayangan yang mungkin akan semakin menyemu jika nyatanya itu hanya ada di tempat lain, karena yang seharusnya belum tentu yang senyatanya. Kini senyatanya, aku hanya duduk termenung untuk sejenak saja menuliskan sebuah dimensi yang aku ciptakan sendiri untuk melukiskan jika aku menua bersamamu. Mungkin bukan hari ini, namun di dimensi lain aku dan kamu akan saling berjalan beriringan untuk saling meyakinkan bahwa semuanya akan baik-baik saja. 

Selasa, 13 Mei 2014

Pada sebuah "DONGENG"

Hei kamu yang berdiri menghadap senja. Betapa sukanya engkau berlama-lama untuk menghadap senja ? Apakah ada ucap kata perpisahan yang engan untuk kamu ucapkan ? Ah rasa-rasanya senyummu selalu tegas untuk meyakinkan bahwa aku harus tetap berjalan. Bukan untuk berhenti di tempat yang hanya akan sama-sama menahan kita. Sungguh, terlalu jelas tegap tubuhmu ketika kamu berdiri memandangi besi kotak panjang yang berjalan di atas jalanannya sendiri. Bukankah itu saat-saat yang memilukan ? Aku tidak sedikitpun melihat senyummu. Mana senyummu yang selalu kamu banggakan itu ? Ah bayangan itu sungguh masih terlalu jelas untuk aku ingat. Waktu seolah menghanyutkan semua ingatan tentang sorot mata itu. Jangan, jangan sedikitpun pernah berbohong dengan kata-kata manismu. Mungkin aku terlalu mengenalmu sebagai pemain sadiwara yang sangat lihai. Kamu bisa memainkan peran yang sekalipun tidak kamu sukai. Kamu begitu memukau dengan peranmu dibalik topeng yang tidak pernah tertebak itu. Masihkah kamu anggun memainkan peranmu itu ? Ah aku rasa kamu akan tetap ahli dalam usahamu menutupi semuanya. Coba ajarkan padaku bagaimana caramu itu ? Biar sebentar saja aku bisa lupa untuk tidak membicarakan tentang kamu. 

Apa istimewanya dirimu ? Rasa-rasanya tidak ada. Yah, kamu sama saja seperti yang lain. Tidak lebih dan tidak kurang, tetapi kamu satu paket yang memiliki dua sisi. Aku tidak mengagumimu karena segala kelebihanmu. Bahkan aku terlalu bosan dengan kelebihan yang seolah ingin kamu banggakan itu. Yang terlihat dimata telanjangku, kamu itu tetap sosok yang manja dan "pembohong". Tapi coba saja kalau kamu berusaha membohongiku, pasti akan aku pelintir tanganmu. Terlalu menyeramkankah caraku untuk menghormatimu. Tidak peduli apa dan bagaimana caraku, tapi ini caraku untuk menerimamu dan melihatmu dengan apa adanya dirimu. 

Apakah kamu masih menyukai hujan ? Oh atau ingatanku sudah mulai memburuk tentang kamu, sepertinya kamu paling benci jika harus berhadapan dengan hujan. Tapi masih ingatkah kamu, jika aku menyukai hujan ? Kamu pernah bilang kalau saat hujan datang, sejenak saja kamu memintaku untuk mendengarkan nada yang dimainkan oleh rintik-rintik hujan dengan naturalnya. Dari situ aku bisa mendengar bissikan alam yang seolah memberikan kedamaian. Kamu selalu menyadarkanku akan sesuatu yang sedari awal tidak pernah terpikirkan olehku. Ah terlalu lama aku menikmati hujan, tetap saja ingatan itu masih tentang kamu. 


Apalagi yang harus aku mengerti ? Apalagi yang harus aku pahami ? Aku harus melihatmu menikmati tarian hujan dengan sosok penyempurna hidupmu ? Yah, itu harapku. Aku belajar untuk menikmati hujan meski hujan kali ini dan seterusnya tidak akan lagi sama. Kemarin, hari  ini dan yang akan datang, apa bedanya jika nyatanya tidak ada lagi teriakmu untuk mengingatkanku menikmati rintik hujan ? Kamu memainkan melodi hujan dengan cara yang berbeda, di dunia yang berbeda dan dengan anggukan anggun yang berbeda. Ah pasti rasanya menyenangkan, duduk berdua hanya mengitung bulir-bulir hujan seperti orang yang tidak punya kerjaan. Bukakah itu kebiasaan kita ? Melakukan berbagai hal yang seolah nampak konyol dan tidak bemanfaat. Tapi tahukan kamu, setiap sudut kota bahkan menertawakanku karena kenangan itu seolah timbul tenggelam karena ingatanku masih tentang kamu. 

Bukan hanya mereka saja yang menertawakanku, bahkan diriku sendiripun juga begitu. Aku seolah menertawakan kebodohanku yang mengulur-ulur kenangan dan tidak ingin menyimpannya dalam kotak hitam rahasia kita. Aku memilih menikmatinya, meski aku sendiripun tahu itu hanya caraku untuk selalu menghadirkanmu disini. Seperti orang bodoh bukan ? Ini kenyataannya, meski kadang kita selalu nampak egois yang memaksakan yang seharusnya. Lihat saja kenyataannya, kamu memunggungiku dan berjalan, terus berjalan. Mungkin melupakan atau memang sengaja untuk dilupakan, karena semua waktu dan ingatan itu akan tetap tertuju pada satu kenangan. Mungkin ini hanya akan menjadi catatan usang yang tidak berarti. Tapi percayalah ketika aku kembali membaca kertas usang ini, aku percaya, aku dan kamu sudah berada di dunia kita masing-masing. Siapa yang bisa menebak apa yang akan terjadi. Karena bukan hidup namanya jika tidak memainkan rasa. 

Sabtu, 03 Mei 2014

because dreams will come true

Bukan hidup namanya jika tidak mempermainkan rasa. Mungkin kalimat itu yang akhir-akhir ini selalu tergiang dan selalu menjadi bahan permenungan. Benar bukan ? Coba lihat saja, baru sejenak manuisa dikunjungi bahagia, bisa dalam sekejam manusia ditinggalkan bahagia lantas yang ada hanya sepi. Terlalu klise jika mengatakan hidup itu adalah perjuangan, hidup itu adalah perjalanan. Yah terlalu sering mendengar hal itu bukan ? Apa ada filosofi lain yang bisa dijelaskan pada dunia apa itu hidup ? Ah terlalu luas jika harus berdiskusi tentang makna hidup dan kawan-kawannya, toh itu akan kembali lagi pada bagaimana orang itu menerima hidupnya dan menghabiskan kesempatan yang diberikan kepadanya. Ini bukan sekedar omong kosong atau apalah yang orang kira membual. Mungkin ada kalanya kita mau menurunkan ego kita untuk menerima yang terjadi. Apa yang kita rencanakan tidak selalu terjadi sesuai dengan detail yang kita bayangkan. Persiapkan diri kita untuk sebuah kemungkinan dan menerima kemungkinan yang lain. Jika satu pintu tertutup percaya saja kalau akan ada pintu lain yang akan terbuka.

Seberapa besar kamu percaya akan sebuah keajaiban itu ? Ah hidup ini memang penuh dengan kejutan, baik kejutan yang bisa kita terima atau bahkan kita tolak dengan mentah-mentah. Manusia terkadang terkesan egois, selalu mau apa yang dia mau, bukan mencoba apa yang Tuhan mau. Benar begitukan ? Bukan cuma aku, kamu, bahkan mungkin kita. Kita, ya kita yang sekarang sedang belajar berpijak pada realitas. Sungguh, jangan terlalu sinis akan dunia yang berpantul dari pikiranmu, meski itu yang akan kamu dapati. Percayalah, yang kita bisa hanya melakukan yang terbaik dan siap dengan kemungkinan terburuk sekalipun. Lihat, banyak orang berjuang untuk hidupnya. Ayah berjuang untuk emncari nafkah bagi keluarganya, ibu berjuang untuk menopang keluarganya, anak berjuang untuk mempersiapkan kehidupannya kelak. Belajar, belajar, dan belajar. Hidup itu adalah proses belajar. Belajar untuk menerima. Belajar untuk mengerti. Belajar untuk merelakan. Belajar untuk melepaskan. Belajar untuk bahagia. Belajar untuk sedih. Dan pada akhirnya belajar untuk berserah. Lantas apa yang bisa kita lakukan untuk belajar ? mempersiapkan diri, toh pendaki gunung mana yang tahu bahwa didepan sana ada tebing yang curam, jalan yang rata, hutan yang rindang, badai yang menghadap, atau pemandangan yang menakjubkan ? Siapa yang bisa menjamin semua itu. Manusia hanya sebatas menerima, karena ada kalanya dengan menerima manusia harus terus berharap. Meminta untuk sesuatu yang lebih baik. Walaupun bukan untuk saat ini juga, tetapi untuk kehidupan yang akan datang. 


Manusia boleh menyerah, siapa yang tidak memperbolehkan manusia menyerah ? Karena dengan menyerah mungkin manuasia bisa tahu batas kemampuannya, dan dia tahu diri bahwa bukan hanya kekuatannya yang menjadikan semuanya nyata. Lalu apa yang bisa manusia lakukan ? Kadang menjaga mimpi untuk terus bermimpi itu adalah salah satu hal yang kita butuhkan. Bayangkan saja jika kita hidup tanpa mimpi ? Apakah hidup akan berjalan lebih indah ? Oh sungguh mimpi itu memang memabukkan. Tetapi dengan mimpi itu, orang yang yang sekarat sekalipun masih berharap memiliki hari esok. Berkumpul dengan keluarganya, melihat matahari terbit dan terbenam, bahkan melihat kejutan kehidupan mempermainkannya. Pelihara saja mimpi itu, walaupun banyak orang yang gembar gembor jangan mimpi setinggi langit, tapi itu yang menuntun langkah kita bahwa mentari esok akan terbit dari timur dan tenggelam di ufuk barat. Jaga saja mimpi itu dan percaya saja, memintalah belas kasihNya, dan bagikan belaskasihNya. Dan lihatlah hidup  kita akan memiliki warna meski tanpa harus terlihat oleh orang lain.