Senin, 14 Januari 2013

BACKPACKER (1)

Mereka terlihat bebas. Bebas melangkah kemanapun mereka mau. Bebas menjadi siapapun yang mereka mau. Bebas menemukan apa saja yang mereka ingin temui. Bebas dengan dirinya sendiri. Tidak harus terganggu oleh hal-hal yang hanya akan menghabiskan waktu untuk berpikir dan berpikir. Ah mungkin mereka hanya berpijak pada kaki mereka dan membiarkan mata, hati, dan raga mereka yang melangkah. Menemukan banyak hal yang diluar dugaan. Mereka bisa meliat lebih luas lagi. Mereka lebih bisa menjadikan dirinya sendiri sebagai teman, tidak harus selalu tergantung dengan orang lain. Orang lain ? Pasti banyak yang mereka temui di jalan-jalan, di pesisir-pesisir, di manapun mereka berada. Meninggalkan kehirukpikukan dunia yang hanya selalu menyita pikiran dengan segala permainannya hingga akhirnya cuma kepalsuan yang tercermin. Mungkinkah mereka masih memikirkan duniawi ? ah pasti mereka hanya tersenyum kecut ketika dipertanyakan tentang duniawi. Banyak hal yang pasti bisa didapat. Tidak hanya sebuah kesenangan nyata, namun lebih pada kepuasan batin yang mungkin tak pernah bisa tergantikan oleh apapun.

Mereka bisa pergi kemanapun mereka mau. Mereka melangkahkan kaki untuk mengeksplore apapun. Dunia adalah media belajar mereka. Jalanan adalah teman mereka, dan diri sendiri adalah sandaran mereka. Mereka bisa menemukan nilai-nilai dari setiap langkah kaki mereka. Tidak harus dari sebuah buku supertebal mereka mengerti akan sebuah teori, atau bahkan mereka bisa menciptakan sebuah dalil dari apa yang mereka lihat. Ah betapa menyenangkan menjadi mereka. 

Tapi pasti selalu ada kesukaran dibalik kesenangan dan kepuasan yang didapat. Banyak hal yang pasti sempat menjatuhkan mereka atau mungkin sempat mengancurkan semangat mereka, namun kembali lagi. Diri mereka sendiri adalah tempat untuuk berkompromi. Belajar untuk mengontrol kemauan sendiri, belajar untuk melihat dunia dari sudut pandang yang berbeda. Untuk apa terus-terusan mengantungkan diri pada orang lain, selagi kita masih bisa melakukannya sendiri dan masih punya kekuatan yang lebih luar biasa dibandingkan harus merengek pada orang lain. Dan belum pasti juga rengekan kita itu akan digubris oleh orang lain. Kamu ingin tau dari mana kekuatan terbesar itu ? Kekuatan yang lahir dari diri sendiri akan adanya Tuhan dalam setiap langkah kaki mereka. 

Mereka bisa bertemu dengan orang-orang yang akan menyampaikan pesan kehidupan yang mungkin tidak pernah tertulis di buku manapun. Pesan-pesan kehidupan yang selalu membisikkan suara dari surga ataupun neraka. Oh surga ? oh neraka ? pembicaraan yang terlalu jauh. Hentikan saja sampai sini.

Ketika melangkah dan bertemu dengan dunia, masihkah mereka peduli akan suara sumbang dari orang-orang yang hanya sirik dengan kebebasan mereka ? Pasti tidak lagi mempedulikan mereka. Untuk apa menjadikan omongan orang lain sebagai sebuah virus, abaikan saja, anggap saja itu angin lalu. Mereka tidak tahu pasti apa yang terjadi dan kita rasakan. Mereka hanya menghakimi dari sudut pandang yang mereka tahu saja. Siapa mereka ? Berhakkah mereka akan hidup kita ? Tinggalkan saja, dan lanjutkan langkah.

Mata yang terus memandang ke depan, langkah kaki yang menjadi pijakan, tangan yang menjaga keseimbangan, dan mulut yang mengucap doa untuk menjadi penenang. Dimana ada kemauan disitu pasti akan jalan. Imajinasi tetang mereka terlalu liar, terlalu menyenangkan, ingin rasanya membebaskan diri seperti mereka dan terbebas dari belit rasa dan asa yang hanya akan selalu mengkritik kehidupan yang tak akan ada habisnya. 

i'll be right here waiting for you

Apakah kamu tahu arti kata ini ? menunggu. Bagi sebagian orang, menunggu pastilah menjadi hal yang sangat membosankan dan menjemukan. Apalagi menunggu untuk sesuatu yang tidak pasti. Kecuali ada sebuah jaminan akan penantian itu. Pasti tidak lagi akan menjemukan dan membosankan lagi, atau bahkan akan menjadi sebuah cerita yang berbeda. Menunggu selalu memiliki banyak artian. Menunggu bukan hanya sekedar menunggu. Menunggu akan datangnya sebuah keajaiban ibaratnya menanti sebuah janji mentari, dia tidak pernah ingkar janji, dia selalu datang tepat pada waktu yang ia janjikan. Terbit dikala pagi dan selalu tenggelam di kala malam menjelang. Begitu seterusnya. Andai saja setiap orang bisa memegang filosofi ini. Kejujuran akan sebuah perasaan memang menjadi hal yang paling tidak bisa dibohongi. Seperti rintik hujan ia akan jatuh pada tempat dimana tempat itu akan menjadi sebuah kubangan. Kita bisa menutup mata dari apa yang tidak ingin kita lihat. Tapi kita tidak bisa membohongi perasaan dari apa yang memang kitta rasakan. Ah entahlah, hanya mengibaratkan sesuatu walupun itu menjadi sebuah arti yang ambigu.

Kamu tahu apa arti kalimat ini " i"ll be right here waiting for you" ? Ini mungkin bagi sebagian orang adalah sebuah ungkapan akan sebuah penantian. Penantian dengan ekspektasi yang selalu memberikan dia ruang untuk berharap. Kebanyakan orang sakit karena ekspektasinya sendiri. Terlampau mengharapkan banyak hal dan berimajinasi akan banyak hal pula namun kenyataan yang ada jauh dari apa yang dibayangkan. Dan ketika jatuh ? Segera harapan itu berubah menjadi sebuah rasa yang tidak diharapkan sebelumnya. "Kagol" tau gak apa arti kata itu ? Semacam kecewa dan enggan untuk mengulangnya kembali.

Tiap orang pastinya pernah kecewa. Setiap orang pastinya pernah jatuh. Buat apa semua itu terjadi ? Yah, karena dengan begitu biar kita lebih menghargai sebuah kebahagiaan. Jika tidak ada kecewa, jatuh, putus asa, dan semacamnya yang ada pasti kita hanya menganggap remeh apa itu bahagia. Begitu juga dengan menunggu. Setiap orang pastinya juga pernah merasakan menunggu. Entah itu menunggu untuk sesuatu yang memang benar-benar diharapkan atau mungkin menunggu hanya untuk sesuatu yang mungkin tidak berharga sekalipun. Seorang ibu ketika melahirkan anaknya, dia selalu menunggu supaya anaknya kelak bertumbuh besar dan dewasa dan menjadi apa yang diharpkan oleh ibu itu. Sebenarnya setiap waktu kita itu adalah Saat ini, waktu yang kita waktu penantian. Waktu yang sekarang kita jalani ini, adalah sebuah penantian kita dimasa lampau. Kapan datangnya waktu ini, kapan, dan pada kahirnya sampai juga kita pada titik ini. Setiap orang memiliki targetnya masing-masing sampai kapan dan sampai mana pencapaiannya itu akan diperjuangkan, diperjuangkan dalam sebuah penantian dan bukan hanya duduk berpangku tangan akan sesuatu yang memang worth it buat diperjuangkan.

"i'll be right here waiting for you" selalu memiliki banyak arti. menunggu itu tidak selalu berbuah indah. karena dari menunggu itu Tuhan mengajarkan banyak hal pada kita. Akan arti sebuah kesabaran, akan arti sebuah keikhlasan kalau pada akhirnya yang ada harus melepaskan atau mungkin sesuatu yang kita tunggu itu tidak sesuai dengan harapan kita. Mengerti, kadang hanya dibutuhkan sebuah pengertian kalau di kehidupan ini ada up and down-nya. Hari ini mungkin kita kalah, dari kekalahan itu kita bisa mengambil banyak inside kalau akan ada waktu kita harus berdiri dan melanjutkan langkah kita. Tidak ada sebuah keikhlasan yang berbuah percuma. Melepaskan sesuatu yang tidak bisa kita pertahankan adalah sebuah pilihan. Pilihan untuk mengerti kalau kita tidak cukup bisa mempertahankannya. Lepaskan apa yang memang harus kita lepaskan, jangan meratapi sesuatu itu terjadi tapi ikhlaskan apa yang pergi dari kita, karena apa yang diambil dari kita akan diganti dengan yang lebih baik. Tuhan bukannya tidak mendengarkan doa kita, namun Dia tahu saat dan waktu yang tepat untuk menjadikannya indah pada waktunya.

Minggu, 13 Januari 2013

BIG ENEMY

Kita istimewa. Kita berbeda. Kita lain daripada yang lain. Kita memiliki ciri. Kita memiliki cerita. Kita memiliki rasa. Kita memiliki asa. Kita memiliki segala yang telah dianugrahkan pada kita. Namun kenapa kita selalu merasa kurang ? Hanya satu kekurangan kita, kita kurang bersyukur menjadi diri kita saat ini. Tak ada yang membedakan kita dengan yang lainnya jika kita tidak hanya memandang diri kita dengan segala kelemahan diri kita saat ini. Ada pepatah mengatakan "rumput tetangga lebih hijau daripada rumput sendiri". Ini sungguh jelas mengartikan kalau kita kurang menghargai apa yang kita punya sekarang. Apa yang ada dihadapan kita selalu kita lihat dengan kasat mata kita. padahal apa yang kita lihat belum tentu sesuai dengan apa yang kita presepsikan. Semua itu hanya gambalangnya kita, kita tidak pernah tau apa yang terjadi sebenarnya kalau kita hanya dibuatakan oleh apa yang terlihat dari luarnya saja.

Coba kita lihat dari konteks makro. Dari banyak hal kita merasa kurang bahkan jauh tertinggal dari negara-negara lain. Kita lihat Malaysia, Singapura dan negara-negara tetangga kita yang memang masih serumpun dengan kita. Dari ruang lingkupnya sendiri mereka jauh lebih kecil bahakan tidak ada apa-apanya jika dibandingkan dengan Indonesia yang begitu besar dan begitu beranekaragam kekayaannya. Namun apa yang membuat kita merasa kurang dengan segala yang kita miliki ? Yah kita kurang menghargai yang kita punya. "Bukan lautan hanya kolam susu, kail dan jala cukup menghidupimu" Dari selarik lagu itu cukup menjelaskan betapa kayanya Indonesia dengan segala keberlimpahan sumber daya alamnya. Dengan sumber daya manusia yang banyak juga seharusnya kita bisa mengupayakan kemampuan kita untuk mengolah anugrah yang luar biasa ini. Namun kenyataannya kita selalu merasa kurang dan merasa kalah dengan negara-negara tetangga kita yang mungkin sebenarnya tidak ada apa-apanya dibandingkan dengan kita. Yah itulah kita, kita selalu membanggakan apa yang kita punya namun kita kurang mengoptimalkan apa yang kita punya tersebut. Yang ada semua hanya terbengkalai dan terbuang sia-sia. Dan lebih parahnya lagi, kita akan merasa terusik kalau apa yang kita miliki sekarang ini diganggu oleh negara-negara tetangga yang mungkin hanya mengupayakan apa yang ada. Kita merasa geram dengan usikan Malaysia yang selalu mengklaim segala bentuk kebudayaan yang kita punya, bahakan negara Singapurapun sanggup membeli pulau yang sebenarnya itu milik Indonesia. Betapa mirisnya negeri ini dengan segala kenyataan yang ada saat ini. Dan disaat seperti ini baru kita merasa kalau diganggu dan akhirnya mengejudge Malaysia itu musuh kita. Dengan segala tindakannya, yah satu point yang bisa kita ambil. Malaysia adalah musuh kita. Atau mungkin bisa dikatakan musuh dalam selimut kita ? Padahal disisi lain kita mencoba untuk berhubungan baik dengan negara itu, warga negara kita masih banyak yang berkerja dan menimba ilmu di negara itu, walaupun seperti yang kita tahu, kalau disanapun kita merasa disepelekan. Banyak TKI yang diperlakukan semena-mena disana seperti diperkosa, dianiaya, dan yang lain sebagainya. Sungguh nyata potret kerapuhan kita di negara lain. Dan kita semakin memplokamirkan kalau Malaysia itu musuh kita.
Dari lingkup makro, coba kita sempitkan pemikiran kita ke lingkup mikro. Kita, teman-teman kita, lingkungan kita. Kita adalah diri kita. Pernahkan terbayang oleh kita betapa kompleksnya diri kita ini ? Coba kita bayangkan saja ketika ada orang yang meninggal, dari situ akan terlihat betapa kompleksnya orang yang kehilangan sosok kita. Tidak hanya orangtua kita saja, namun sebuah sistem yang dinamakan dengan lingkungan itus endiri akan berubah ketika satu komponennya hilang. Dari situ kita bisa lihat betapa ada sebuah keterkaitan kita dengan apa yang ada disekitar kita. Tapi mengapa kadang kita selalu merasa kalau kita hanya berdiri sendiri ? Atau mungkin bahkan terpikirkan kalau tidak ada yang peduli dengan kita ? Ibaratnya sebuah mesin yang terdiri dari onderdil-onderdilnya, kita adalah salah satu bagian dari onderdilnya itu. Jika satu dari kita tidak berfungsi dengan baik makan akan ada sebuah kerancauan atau mungkin sistem itu tidak akan berjalan sama sekali. Apakah kita masih punya alasan untuk kita masih selalu bilang kalau tidak ada yang peduli dengan kita ? 

Hubungan kita dengan lingkungan kita, teman-teman kita. Kita diciptakan sebagai mahkluk sosial yang tidak bisa hidup sendiri tanpa adanya orang lain. Hubungan itupun tidak selalu berjalan mulus seperti yang kita harapkan. Selalu ada sebab yang menjadi pemicu konflik kita dengan orang lain. Misalnya satu orang tidak "sreg" dengan orang lain, maka dengan sekuat tenaganya dia akan mengatakan kalau orang itu adalah musuhnya. Dan satu poin lagi yang kita dapat. Kita selalu bermasalah dengan orang lain. Yah kita mengganggap orang yang berkonflik dengan kita itu adalah musuh kita.

Coba kita luangkan waktu sejenak. Pandanglah pantualan wajah kita dicermin. Liat mata kita, lihat hidung kita, lihat wajah kita. Lihat senyum kita. Itulah diri kita. Kita berbeda dengan yang lain. Kita istimewa dengan cara kita. Apa yang membedakan kita dengan orang lain salah satunya adalah prespektif kita. Cara kita melihat, cara pandang kita menentukan siapa diri kita. Kita selalu mencari sebuah akar dan titik pangkal akan masalah yang selalu kita hadapi. Itulah kodratnya sebagia manusia. Kita ada karena kita berpikir. Kita ada karena kita masih mampu berlogika. Seperti yang kita bahas sebelumnya, kita memandang Malaysia sebagai musuh kita, kita merasa kalau kita mempunyai musuh yaitu orang lain yang memang berseberangan prinsip dengan kita akhirnya berkonflik, dan kita selalu merasa kalau tidak ada yang peduli dengan kita. Apa memang benar musuh itu selalu berada diluar kita seperti apa yang kita pandang itu ? Padahal kalau dipikri secara gamblang, Malaysia secara langsung tidak pernah mengganggu gugat diri kita, namun karena rasa nasionalime kita, kita merasa kalau Malaysia itu musuh kita. Kita dengan oranglain, mungkin bisa saja orang itu hanya menganggap biasa konflik yang terjadi, karena kita yang terlalu menggebu-gebu bisa saja yang menganggap orang lain musuh itu adalah diri kita sendiri. 

Apa yang terjadi dengan diri kita ini ? Pernahkah terpikirkan oleh kita kalau sebenarnya musuh terbesar kita itu adalah diri kita sendiri. Rasa malas kita, sikap egois kita, sikap keras kepala kita, apapun itu yang negatif pada diri kita, itu yang sebenarnya musuh dalam selimut kita. Emosi-emosi negatif itu bukan berarti harus dihilangkan begitu saja, namun mereka ada juga untuk menyeimbangkan emosi kita selain emosi-emosi positif. Itulah mengapa kita harus terbiasa dengan kontrol emosi kita supaya tidak emosi kita selalu ada dalam keadaan seimbang, atau mungkin memang lebih bagus kalau kita selalu dilingkupi emosi-emosi positif. Ini tinggal bagaimana kita mengontrol diri kita sendiri. Kita diajak untuk bisa bersahabat dan berdamai dnegan diri sendiri. Kita hidup dengan diri kita sendiri, kita diberi daya untuk self-talk, dimana kita diberi daya untuk mengerti apa yang kita mau, untuk memahami apa yang kita mau, dan pada akhirnya tau apa yang harus kita lakukan. Musuh itu sebenarnya tidak ada jika kita mau memandang hal ini dari sudut pandang yang lain. Out of box kandang diperlukan untuk lebih menyelaraskan pemikiran kita supaya tidak dikuasai oleh perasaan-perasaan negatif yang hanya akan membuang waktu dan tenaga kita. Kita sejatinya diciptakan selaras dengan alam, kita mempunyai keterkaitan dengan alam jika kita mampu memiliki regulasi emosi yang baik, hingga akhirnya bukan orang lain dan diri kita yang menjadi korbannya. Only a matter of time, semua masih ada waktu. Tidak ada istilah terlambat jika kita masih mau berproses. Semua itu proses dan memiliki dinamikannya masing-masing, oleh karena itu kenapa kadang terjadi konflik pribadi dalam batin kita. Karena kita kurang menyelaraskan diri kita dengan apa yang ada diluar kita, sehingga semua menumpuk dalam benak kita jadinya kita selalu beranggapan pihak luarlah yang menyebabkan segala kekacauan kita. Karena itu naluriah kita yang selalu memiliki defense akan diri kita masing-masing. Tidak ada musuh yang nyata selain dir kita sendiri. Kalah menang itu hal biasa, yang ada kita mau berdamai dengan diri sendiri sehingga kita mampu bersahabat baik dengan diri kita sendiri. 

Minggu, 06 Januari 2013

critical psychology

Kebudayaan berasal dari kata budaya. Budaya itu sendiri terdiri dari kata budi dan daya. Konsep lama menjelaskan tentang arti kebudayaan yaitu kebudayaan adalah hasil cipta, rasa dan karsa. serta hasil kesenian. Sedangkan konsep baru menjelaskan kebudayaan itu sendiri merupakan ide/gagasan pengetahuan yang menjadi pedoman hidup masyarakat dalam bertingkahlaku, baik secara individu maupun secara berkelompok. hal ini bisa dilihat dari prespektif kognitif dan behavioral dalam suatu kelompok masyarakat. Dimana setiap kelompok masyarakat memiliki definisi masing-masing tentang konsep kebudayaan itu sendiri. Namun sejatinya kebudayaan adalah sebuah warisan dimana warisan itu dihasilkan oleh nenek moyang kita yang berupa bahasa, adat istiadat, tarian, bahasa, dan banyak hal lainnya yang bisa menjadi sebuah icon dalam masyarakat. Kebudayaan muncul karena berbagai faktor, karena adanya interaksi yang saling menuangkan ide dan gagasan. Selain itu kebudayaan juga berasal dari interpretasi pengalaman suatu kelompok masyarakat akan sebuah kultur yang sudah turun temurun, dengan begitu apa yang menjadi turun temurun itu dipresepsikan dan diartikan oleh generasi penerusnya, sehingga kebudayaan itu merupakan produk dari pengalaman masa lalu sebuah kelompok. 

Kebudayaan dalam sebuha kelompok memiliki peran yang sangat penting. Karena dengan kebudayaan itu bisa mempengaruhi berbagai segi kehidupan seseorang, seperti kepribadian, pola pikir, pembawaan, pola interaksi, dan masih banyak segi kehidupan lainnya. Karena adanya karakter yang dibentuk karena kebudayaan tersebut setiap orang memiliki identitas etnisnya masing-masing. Dimana yang disebut dengan identitas etinis itu sendiri adalah konstruk dinamis, yang mengacu pada identitas diri, siapa diri orang tersebut, dan dari mana asal orang tersebut. Misalnya, etnis Jawa, dengan pola pembawaannya yang terkenal dengan lemah lembut, halus, kalem dan sopan. Sehingga ketika orang Jawa itu pergi ke etnis lain misalnya Bugis, secara tidak langsung dia kana memiliki identitas etnis yang mencirikan darimana dia berasal dan siapa dia. Sehingga dengan adanya identitas etnis inilah yang membedakan antara etnis satu dengan etnis lainnya. Dengan begitu mengapa muncullah istilah stereotipe. Dimana stereotipe itu seakan mengelompokkan dan memberi label pada suatu kelompok etnis tertentu. Misalnya, orang Batak terkenal dengan stereotipe yang keras, tegas dan tanpa bosa basi. Begitu juga kelompok etnis lain. Karena adanya stereotipe itu yang kadang bisa melabeling orang dengan segala background yang dibawanya sebagai sebuah kebudayaan yang melekat pada diri orang tersebut. Etnis di Indonesia sangat berpengaruh besar pada interaksi  seseorang pada lingkungan sekitarnya. Berbeda dengan di Swedia. Di Swedia menanyakan dari mana seseorang itu berasal dan dimana orang tuanya tinggal itu adalah menjadi hal yang tabu untuk ditanyakan. Sehingga di Swedia sendiri etnis ini tidak dipandang sebagai sesuatu yang penting apalagi identitas etnis yang disandang oleh seseorang.

Dengan adanya perbedaan budaya yang menjadi background seseorang ini, menyebabkan adanya perbedaan pola pikir setiap orang. Tidak hanya memahami perbedaan individu itu sendiri namun juga dilihat apa saja yang melatarbelakangi individu itu. Ketika sebuah kelompok masyarakat memaknai sebuah kehabagiaanpun juga akan berbeda-beda antara etnis yang satu dnegan etnis yang lainnnya. Orang minang akan memaknai sebuah kebahagiaan dari 5 karekter yaitu grateful, kindness, fairness, intergrity, dan population. Bebeda dengan orang bugis yang memandang kebahagiaan dari 5 karakter yaitu gratitude, kindness, citizenship, fairness, and intergrity

Budayapun juga diartikan berbeda dari masyarakat yang ada dalam kelompok itu sendiri. Perbedaan itu dilihat dari anak-anak muda dan orang tua yang memaknai budaya yang dianutnya. Orangt tua dalam memandang sebuah budaya masih sangat kental dan masih sangat saklak, sehingga kebanyakan anak muda mengatakan kalau orang tua itu terlalu kolot karena masih terlalu mengacu pada kebudayaan yang dianutnya turun menurun. Sedangkan anak-anak muda jaman sekarang sudah memandang remeh sebuah budaya itu sendiri, karena pola pikir dan cara pandang mereka yang sudah mengikuti perkembangan jaman, dimana pergeseran ini dipengaruhi oleh arus globalisasi. Budaya sendiri memiliki citra yang memaksa orang untuk mematuhinya. Padahal dengan arus globalisasi sekarang, dimana perkembangan ilmu pengetahuan semakin berkembang pesat, pola pikir orang jaman sekarangpun juga dituntut untuk mengikuti perubahan jaman. Selain itu, adanya proses asimilasi yaitu "pencaplokan" sebuah budaya oleh budaya lain sudah marak terjadi dewasa ini. Seperti, budaya ketimuran yang masih kuat dijaga di Indonesia semakin lama semakin luntur karena masuknya pengauh Barat yang sekain merajalela.

Karena adanya proses asimilasi ini, penggolongan dalam masyarakatpun semakin jelas terlihat. Yaitu, upper class, middle class, dan lower society. The upper class jelas terlihat perbedaannya dengan kelas-kelas sosial lainnya. Seperti sekarang banyak istilah baru bermunculan yaitu sosialita. Dimana sosialita ini termasuk dalam jajaran kelas atas yang secara jelas terlihat sudah menganut paham kapitalis. Namun dilihat dari segi kegiatannya sendiri dalam mengalokasikan kekayaannya seorang sosialita di Indonesia sangat jauh berbeda dengan sosialita di Barat. Sosialita di Indonesia lebih cenderung "hedon" seperti clubing, mengoleksi perhiasan, mengikuti acara-acara yang high-class, dan acara-acara lain yang berbudget banyak. Sedangkan sosialita di Barat lebih cenderung mengalokasikan kekayaannya untuk jangka panjang, seperti memberikan beasiswa, ataupun mengalokasikan untuk kegiatan-kegiatan sosial. Karena gaya hidup sosialita di Indonesia inilah yang menyebabkan bermunculan istilah-istilah baru seperti jetset. Kebutuhan kaum sosialita ini tidak lagi hanya sandang, papan, dan pangan. Namun lebih meluas ke pendidikan, rekreasi, makanan berkelas, pakaian yang mewah, dan hal-hal lain sehingga mereka selalu terlihat wah. Karena gaya hidup yang mau tidak mau harus mengikuti perkembangan jaman ini banyak orang-orang baru yang memaksakan untuk masuk ke kelas sosial dengan cara memaksakan keadaan. Ini lebih dikenal dengan social climber. Seperti yang terjadi di Ambon. Orang Ambon akan dipandang sebagai upper-class jika dia terbiasa makan di KFC. Sehingga banyak orang-orang yang ingin dipandang sebagai upeer-class yang memaksakan diri untuk berjam-jam duduk di KFC hanya untuk dipandang sebagai kaum atas. Hal ini sangat nampak terjadi di Indonesia. Setiap orang berlomba-lomba untuk mencitrakan dirinya sebagai kaum yang terpandang dibandingkan kaum lainnya. Seperti artis-artis yang berlomba-lomba untuk menunjukkan dirinya sebagai sosialita, bahkan kebanyakan dari mereka ada yang mengoleksi tas-tas mahal dengan harga selangit bahkan sampai ratusan juta untuk menjadi kaum sosialita. Dan faktanya, kaum sosialita di Indonesia semakin mendapat cap negatif. Istilah arisan brondong juga tidak bisa dipisahkan dari kaum ibu-ibu sosialita yang bergelimpangan harta dari suaminya namun kurang mendapat kasih sayang dari suaminya. Maka selain arisan berlian, dan barang-barang mewah lainnya, arisan brondong banyak diminati oleh ibu-ibu kaum sosialita yang haus akan belaian. 

Ada langit pasti ada bumi. Menurut survei World Bank, 55, 5% dari 237 penduduk Indonesia adalah kelas menengah. Sedangkan Litbang Kompas dari 5 kota besar di Indonesia (Jakarta, Yogyakarta, Bandung, Surabaya, Medan, dan Makasar) hasilnya adalah middle class (50,3%), lower-class (39,6%), extremely low-class (5,6%), upper mid-class (3,6%), dan upper-class (1%). Dari penelitian ini dapat disimpulkan bahwa kebanyakan masyarakat Indonesia adalah kalangan menengah. Sebagai negara yang sedang berkembang, bangsa Indonesi semakin berbenah untuk menjadikan masyarakatnya semakin berada. Namun seperti yang kita ketahui, semakin kesini, orang kaya semakin kaya dan orang miskin semakin miskin. Dan dengan adanya perbedaan status sosial ini menyebabkan adanya pengelompokan dalam masyarakat sehingga masyarakatpun menjadi terkotak-kotak. Dan tidak bisa dipungkiri lagi karena adanya perbedaan kelas sosial ini menjadikan kesenjangan sosial yang terjadi dalam masyarakat semakin nampak. 

Selain isu-isu yang di sebuatkan di atastadi, critical psychology juga mengamati isu gender dalam masyarakat yang masih berlatarbelakangkan kebudayaan. Gender adalah rekayasa sosial, yang tidak universal dan memiliki identitas, politik, ekonomi, sosial, budaya, agama, etnis, adat, kelas, serta faktor sejarah, waktu dan tempat dan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi (Subady, 2007). Setiap budaya memandang berbeda-beda akan isu gender ini. Maka di indonesia ada istilah garis keturunan patrialis (garis ayah) dan matrialis (garis ibu). Isu gender ini bisa dilihat dari dua sisi yang berbeda, yang pertama dilihat dari gender roles yaitu isu gender yang dipengaruhi oleh sudut pandang budaya. Sedangkan sex roles yang berhubungan dengan perbedaan biologi seorang laki-laki dan perempuan. Sehingga muncullah istilah feminim dan maskulin. Sosok wanita cenderung dikaitan dengan pekerjaan rumah, mengurus anak, suami. Sedangkan sosok laki-laki cenderung dikaitkan dengan pekerjaan mencari nafkah dan hal-hal berat lainnya. Namun sekali lagi karena adanya arus grobalisasi dan perubahan jaman, peran itu semakin bergeser. Banyak wanita yang sekarang beralih peran menjadi wanita karir, dan tanggungjawab anak diserahan pada pengasuh. Dan laki-laki semkain sibuk dengan urusan pekerjaannya. Inilah mengapa culture dalam masyarakat semakin hari semakin tergerus oleh perkembangan jaman. Ini tinggal bagaimana tanggungjawab kita dalam mengahadapi perkembangan jaman yang semakin pesat ini tanpa mengabaikan dan mengacuhkan begitu saja peran dan hakikat kita sebagai bagain dari masyarakat. Apalagi Indonesia terkenal dengan keanekarahaman budayanya yang sangat membanggakan, tinggal bagaimana kita melestarikannya sehingga semkain berkembanglagi bukannya meninggalkannya dan budaya hanya tinggal menjadi formalitas saja. 

Sabtu, 05 Januari 2013

take it slow

Tidak ada kesusahan yang tidak bisa kita lewati. Semua ada karena sebuah alasan. Tidak mungkin apa yang kita lalui sekarang tidak ada endingnya. Ini mungkin hanya masalah waktu. Waktu yang mampu menguji kita, menguji seberapa dewasanya kita menghadapi masalah yang silih berganti dalam hidup kita. Kita mungkin adakalanya terjatuh. Mungkin adakalanya kita kalah. Mungkin adakalanya kita rapuh. Namun ini hanya sebuah permainan, teman. Tidak akan mungkin terus begini jadinya. Masih ada apa itu yang dinamakan dengan bertukar peran. Tinggal bagaimana kita menyikapi segala sesuatu yang datang dalam hidup kita. Ketika air mata itu tertumpah, biarkan itu semua mengalir mewakili apa yang kita rasakan. Bila mulut ingin berteriak, biarkan dia mengucapkan segala kecamuk yang kita rasakan. Tapi percayalah kawan, ini hanya sesaat. Menang atau kalah itu soal biasa. Karena semua ini hanya akan menjadi cerita.

Tidak ada batu keras yang tidak dapat dipecahkan. Tidak ada karang yang kuat yang tidak bisa rapuh. Semua itu terjadi untuk menyadarkan betapa kecilnya kita dihadapan Tuhan. Kita mungkin tak berarti sama sekali ketika semua itu terjadi. Jangan pernah merasa masalah besar itu tak akna terpecahkan. Karena kita memiliki Tuhan yang Maha Dahsyat yang menjanjikan kalau dibalik segala kesusahan itu selalu ada kemudahan. 

Mungkin sekarang apa yang kita miliki harus kita relakan kepergiannya. Ini bukan berarti kita lemah dan kita menyerah. Namun ini hanya soal bagaimana kita mengerti akan jalan yang nantinya akan kita lalui. Kadang apa yang terjadi sekarang sulit untuk dimengerti oleh kita, semua terasa sulit untuk dilewati. Namun semua itu kembali lagi hanya masalah waktu. Waktu akan selalu berbaik hati memberikan penyembuhan yang teramat luarbiasa untuk menjadikan pribadi kita yang tangguh. Kalau kita masih percaya dengan adanya keajaiban itu, tidak ada yang mustahil.

Kita dipertemukan dengan orang yang salah terlebih dahulu untuk bertemu dengan orang yang tepat. Mungkin membutuhkan waktu dan proses yang lama. Menguji kesabaran dan keikhlasan kita. Namun tidak ada ikhlas dan sabar yang berbuah percuma. Percayalah ketika ada hujan akan selalu ada pelangi di akhir badai. Jangan pernah merasa sendiri ketika cobaan itu datang, ini soal biasa. Lihatlah kesekeliling kita, banyak tangan-tangan tulus yang sanggup merengkuh kita kedalam pelukannya dan membawa kita dalam sebuah arti kehidupan yang baru. Mungkin saat ini kita boleh menyerah dnegan keadaan. Ini karena Tuhan tidak ingin kita terlalu terlarut dalam sebuah manipulasi ekadaan yang kta buat sendiri. Tuhan telah mempersiapkan rencana yang lebih indah dari segala rencana kita yang pernah ada. Berkali-kali hal ini terungkap kalau Tuhan menjadikannya semua indah pada waktunya, tapi memang inilah kenyataannya. Selama masih ada iman, pengharapan, dan kasih. Semua itu akan selalu menjadi nyata. Pecayalah dalam iman, menunggulah dalam pengharapan dan lakukanlah dalam kasih. Lepaskan apa yang sejatinya tidak bisa kita pertahankan, tersenyumlah walau hati kita menangis, ucapakanlah selamat tinggal untuk mengehentikan segala harapan untuk sebuah pertemuan lagi. Yakinlah akan ada sebuah pertemuan baru untuk sebuah perpisahan.