Sabtu, 25 Januari 2014

DIORAMA

Adakah lagi bentangan waktu yang bisa dinego untuk memulikan sebuah asa ? Semoga saja ada sebuah penawaran yang mungkin terdengar berkali-kali untuk menemukan rasa yang terhapuskan itu. Bukan dengan sengaja namun oleh karena keadaan yang seolah tidak mempersilahkan lagi itu berlangsung terlalu lama. Berputar dalam lingkaran yang sama akan mulai menemukan titik kelelahannya sendiri. Namun bagaimana jika itu yang seolah memberikan sepotong bagian yang hilang ? Merasa utuh dan lengkap, bahkan mungkin tidak terpikirkan lagi hal yang lain untuk dicari selagi ada aku dan kamu. Aku punya Tuhan, aku punya mimpi, aku punya bakat, aku punya niat, aku hampir memilikimu. Apalagi ? Cantik, memukau, indah atau bahkan mempesona itu mungkin ada definisinya. Tapi kalau nyaman bisakan sedikit saja memberikan contoh apa definisinya ? Karena bagi aku nyaman itu tidak ada lagi definisinya, meskipun antara satu orang dengan yang lainnya dijamin akan berbeda. Tidak ada lagi kata yang mampu menggambarkan ketika kenyamanan itu sudah di dapat. Meski itu penuh dengan kekurangan namun kelengkapan itu yang menjadikannya bertemu dengan titik nyaman. Maaf. Aku tidak punya alasan apa-apa untuk memintamu selalu disini. Mungkin hanya ada satu alasanku yang buat banyak orang pastinya terdengar tidak logis. Aku membutuhkanmu. Aku membutuhkanmu untuk melengkapi hidupku yang penuh dengan ketimpangan. Klise bukan ? Tapi sungguh aku tidak punya alasan lain selain itu.  Aku tidak punya alasan untuk memintamu bagitu juga aku bahkan tidak punya alasan untuk melepasmu. Walaupun semuanya begitu jelas adanya. Tidak ada yang bisa dikompromikan lagi ketika keadaan tidak lagi memperbolehkan kita untuk saling menggenggam. Keadaan memaksa kita untuk kembali berpijak kepada realitas bahwa semuanya harus realistis.

Sungguh, aku mohon jangan pertanyakan lagi alasanku mengapa samapi saat ini aku masih sendiri. Aku mencoba bertahan dengan diriku sendiri meski disatu sisi aku menyoba untuk menghapusmu dalam ingatanku. Bukan untuk terlupakan namun hanya untuk disimpan. Sungguh aku benci dengan kata-kata selamanya. Tapi apa boleh aku menyebutmu dalam lingkaran kata selamanya ? Meski kadang kamu yang selalu jadi alasanku untuk tetap teguh berdiri. Aku tidak punya banyak cara lagi untuk meyakinkanmu bahwa aku baik-baik saja. Karena aku yakin kamu bisa mendapatinya sendiri dari apa yang dikatakan oleh mataku. Kamu memintaku untuk tetap baik-baik saja. Tenang, aku masih berusaha untuk menepati janjiku bahwa semuanya akan baik-baik saja. Kalau aku bilang kini aku limbung lagi apa itu akan terdengar berlebihan ? Hahaha. Sudah jangan lagi hiraukan semua perkataanku. Aku hanya masih berusaha untuk menghambarkan lagi bius-bius yang masih tersisa. Memunggut semua ingatan yang seolah tiada hentinya berkeliling di pikiranku. Aku tahu. Begitu juga dengan kamu. Tidak ada lagi hal yang perlu diperbicarakan. Karena semua sudah begitu jelas adanya. Berkali-kali aku harus meninggalkan rumah dimana aku merasa nyaman meski semua rumah itu bergaya dan berdekor sama seperti kamu. Maaf. Ini bukan tentang perbandingan. Karena aku telah mengganggapmu sebagai pondasi awalku untuk kembali berjalan dalam realitas kesendirianku. Terimakasih atas ucapan yang tulus itu. Terimakasih atas pelukan yang menghangatkan itu. Terimakasih atas rasa yang tak pernah pudar itu. Terimakasih atas tatapan yang mendamaikan itu. Tapi kini semuanya bukan lagi untukku. Meski itu tidak akan sama dan tidak akan pernah sama. 

Ini caraku. Jika memang nanti ada masa dimana kita kan bertemu lagi. Sungguh jangan lagi pertanyakan semua tentang kesungguhan rasa itu. Semua sudah terlalu jelas. Aku terlalu mengerti bahwa kini bahagiamu bukan lagi ada padaku. Lihat disampingmu kini telah berdiri sosok yang lebih memukau. Dia bisa membuatmu merasa lebih dari sekedar terberkati. Dia nampak anggun, dia nampak tulus, dia nampak mempesona. Dengan caranya memanjakanmu, dengan caranya menjagamu, dengan caranya memandangmu. Bukankah itu lebih dari cukup? Aku ingin melihatmu melakukan hal yang sama dengan dia memperlakukanmu. Kamu selalu bilang "maaf". Maaf untuk apa lagi ? Sudah jangan khawatirkan aku. Tidak ada yang salah atau benar. Ini bukan soal ujian yang menuntut untuk sebuah jawaban atas kebenaran atau kesalahan. Aku tahu. Begitu juga dengan kamu. Berkali-kali juga aku berkata, jika memang itu yang terbaik buat kamu, aku bisa apa ? Aku hanya bisa berdoa yang terbaik juga buat kamu. Aku hanya seorang pemain yang memainnkan peranku untuk menerima. Tidak lebih. Aku tidak bisa menolak dengan peranku yang seperti ini. Lihat, senyumku ini sungguh tulus untukmu. Aku harus berapa puluh kali lagi meyakinkanmu bahwa aku baik-baik saja. Meski kadang ada egoku yang membuat aku lagi-lagi terjebak dalam perasaan tidak terima. Namun aku harus kembali kepada nasibku. Aku ingin melihatmu tersenyum tulus untuk wanita di sampingmu. Bukan untuk membohonginya. Tapi aku memintamu untuk menjaganya buat aku. 

Selasa, 21 Januari 2014

i (won't) give up (?)

Aku kira cerita ini sudah menemui ujungnya. Ternyata perikiraanku salah. Lalu apa lagi yang kamu minta dari aku ? Kejujuran macam apa lagi yang hendak kamu pertanyakan dari endapan waktu yang seolah tidak ada lagi batasan akan sebuah pengakuan. Aku tidak lagi menunggumu dan mempertanyakan kesungguhanmu. Karena semuanya ternyata begitu nyata dalam hamparan waktu. Kamu mau mempertanyakan apa lagi ? Oh sekiranya memang sudah cukup. Tidak perlu lagi ada yang dipertanyakan. Anggap saja apa yang terlah terjadi itu menjadi sebuah rahasia. Atau mungkin ini sebuah alur untuk menujukkan sebuah kisah yang memang akan berpangkal indah ? Indah macam apa lagi yang akan tersajikan ? Rasa-rasanya aku sudah berkali-kali terhenti untuk mengucapkan kata menyerah, tapi sekalinya aku mengucap kata menyerah seolah ada daya yang mendorongku untuk selalu memandangmu dari jauh. Tanpa harus menyentuh karena yang terpenting adalah terhubung. Ada masa dimana kita tidak akan tahu jika semuanya itu berulang seperti memori yang kembali memainkan film usang yang seolah ingin ditinggalkan, namun apa ? Yang ada semuanya seperti kilatan cahaya yang seolah datang dengan cepatnya tanpa permisi melululantahkan semuanya yang telah susah payah dirangkai. Secepat itu ? Atau memang waktu masih mau menguji lagi sekuat apa rasa yang seolah ingin terhindarkan ini ? Kedengaran sangat pesimis. Karena keadaan yang menjadi benteng antara dua dunia yang berbeda. Bukan pijakan kita yang berbeda namun cara kita berpijak yang mungkin berbeda. Bayangkan saja betapa hancurnya jika harus membangun kembali pondasi dari awal bangunan yang sudah susah payah dibangun dalam jangka waktu yang cukup lama, namun dalam sekejap bisa disentil dan dihancurkan dengan mudahnya. Bukankan itu terdengar sungguh ironis ? Namun apa lagi yang bisa ditawar. Tidak ada. Jika ada jalan untuk berbuat lebih mungkin sudah dari dulu menawar agar sesuai dengan kemauan yang ada. Ini hanya sebatas waktu, dalam hitungan detik semuanya akan kembali lagi seperti semula. Tidak lagi ada perpanjangan waktu yang seolah mau memanjakan asa yang lama telah terbiaskan oleh rasa yang lain. Berkali-kali berjanji untuk menyudai, namun yang ada kesudahan itu yang akhirnya menemukan dalam lingkaran takdir yang tidak dapat di tebak. Inikah yang dinamakan dengan misteri ? Walaupun berkali-kali juga siap dengan pertemuan terakhir namun akan selalu saja ada masa dimana dua mata itu kembali lagi saling beradu. Bukan untuk saling menunggu namun hanya untuk saling bertemu pandang. Rasa-rasanya tidak ada lagi tempat untuk kembali pulang jika ruang nyaman dan tenang itu telah ditemukan kembali dalam redupnya tatapan yang tidak akan mampu berbohong. Lantas, rumah itukah yang akan selalu terindukan ? Tidak. Ini hanya semacam celah untuk meneukan kembali potongan kisah yang terpenggal hingga nantiny a akan terangkai dalam kisah yang utuh saat aku dan kamu tahu dimana kita akan berlabuh. 

Minggu, 19 Januari 2014

unconditionally

apakah hukum alam selalu begitu ? Datang dan pergi. Namun sejenak saja meminta untuk lebih lama apakah juga bisa dinego ? Tidak memiliki keahlian yang lebih untuk menahan sesuatu terlalu lama itu sungguh mengharukan. Namun apa terus menerus akan berkejaran dengan waktu ? Pasti akan lelah dengan sendirinya. Walaupun dengan lihainya menghitung mundur dalam rentang waktu yang pendek sekalipun itu tidak akan bisa mengubah atau merentangkan waktu barang sedetik sekalipun. Semuanya memang harus begitu dan berjalan sebagaimana adanya. Memohon untuk berada disisi itu nampak terlalu egois. Apa yang bisa menjamin kalau semuanya akan baik-baik saja saat logika tidak lagi mau mengkompromikan apa yang seharusnya dikontrol ? Tidak ada. Bahkan sama saja bohong. Ketika kedua kutub saling bertemu untuk mereduksikan muatan yang telah lama tertahan, sekalinya bertemu semua itu akan membolakbalikkan tentang hukum-hukum yang berlaku. Namun ada satu hukum yang tidak bisa terabaikan begitu saja. Hukum aksi dan reaksi. Lalu apa hubungannya dengan dalil itu ?Mungkin akan ada saatnya hukum itu bisa menahan sejenak seperti medan magnet yang selalu mempunyai kekuatan untuk menarik tanpa harus ada aksi atau reaksi yang berlebihan. Semuanya di luar akal sehat yang mampu memberi pencerahan ketika cahaya yang sejatinya dijadikan panutan meredup.

Tidak. Sudah berulang kali ucap janji untuk menyerah. Lantas menyerah seperti apa yang bisa menahan takdir untuk kedua ruang diam saling bertemu dan menatap walaupun untuk sejenak ? Pahatan-pahatan alam yang diam sekalipun meneriakkan kalau itu salah. Salah, selalu saja tidak ada contoh yang benar untuk membuktikan kalau semua itu masih saja sama. Teriakan-teriakan itu seolah sudah membisu dengan sendirinya seiring dengan berjalannya waktu untuk membungkam rasa yang semakin membeku. Lalu dalam sekejap dalam sebuah masa ada saat dimana kebekuan itu tercairkan lagi oleh waktu yang seolah mengelitik untuk memainkan nostalgia. Cerita lama yang terangkum seolah menjadi semakin unik dengan alurnya yang seolah hanya berputar dalam lingkaran yang sama. Kata-kata yang terucap bahkan tidak akan pernah terganti karena kejujuran yang tercermin dari tatapan tak mempu memanipulasi sebuah rasa semenjak lama. 

Kamu baru saja bilang bahwa kamu hampir saja menjadi orang terkaya di dunia namun karena 0,001 % hal yang tidak bisa kamu penuhi akhirnya semuanya itu meruntuhkan segala keinginanmu untuk menjadi orang yang terbahagia dan terkaya di dunia itu. Sebegitukah kamu mengkiaskan hal yang tidak bisa kamu sentuh namun masih bisa kamu pandang meski berbeda dimensi ? Tidak. Ini hanya perumpamaan semata. Logika harus segera mungkin kembali memainkan fungsinya untuk tahu mana yang harus dilepas dan mana yang harus dipertahankan. Sungguh, jangan berucap lagi dengan segala rasamu yang ternyata masih tertahan sampai saat ini. Simpan saja semuanya hingga menjadi sebuah diorama yang indah ketika esok merindukan momen dimana duduk diam akan menjadi cara kita untuk bernego dengan alam akan perasaan. Langit yang kita pandang akan masih tetap dalam lingkaran dimensi yang sama walau sekalipun kita berbeda dunia. Karena itu yang membuat kita saling terhubung walaupun itu hanya sejenak untuk bersajak merindu. Angin seolah memberikan kesempatan untuk selalu mengirimkan seuntai doa yang belum tentu terdengarkan namun yang pasti itu akan selalu berharap yang terbaik. Bukan untukku ataupun hanya untukmu namun untuk mereka yang ada di selayang pandang kita. Bukan untuk saling menahan lagi jika nyatanya semua terlalu berkutat dalam hal yang sama. Hanya ada sebuah ruang yang kembali kosong ketika menginjak realita yang sama terus menerus.

Bantu aku sejenak sadar untuk kembali berpijak pada realita yang ada. Meski aku hanya membutuhkan beberapa detik namun sekejam semuanya menguap dengan tangguhnya sang waktu menghantam segala ingatan akan sebuah tawa yang baru saja tercipta. Kamu yang selalu berujar akan kesederhanaan. Bukan untuk mencari yang sempurna, karena aku dan kamu seolah menyatukan lagi kepingan puzzle yang terpisah. Namun dalam sekejap realita menghancurkan kembali puzzle yang hampir saja tersusun. Sungguh semua di luar kendaliku untuk kembali mengunci pandanganku di pelupuk mata itu. Walau hanya sejenak namun semua memori itu kembali berhamburan keluar mencari dan menempati ruang kosong yang sudah lama tertinggalkan. Semua di luar rencanaku untuk menyusun kembali langkah untuk pergi. Aku harus mengingat kembali bagaimana pertama kali aku belajar untuk berjalan ketika salah satu bagian langkahku kurang. Aku harus menata kembali ruang yang telah susah payah aku susun dan seketika berantakan lagi hanya dalam hitungan detik. itulaah cara yang lagi-lagi akan ku tempuh karena semuanya tidak akan pernah bersyarat untuk kisah kita. 

Rabu, 08 Januari 2014

a-b-s-u-r-d

Untuk kesekian kalinya kamu datang menyambangiku. Rasa-rsanya kamu selalu saja datang untuk mencariku atau menahanku supaya tidak melupakanmu ? Sungguh ironis. Kalau itu maumu, kamu semakin nampak egois dengan caramu itu. Hei, ada apa denganmu saat ini ? Coba sekali saja kamu tidak menyambangi dalam mimpiku, apakah akan sama jadinya kalau itu bukan kamu ? Apakah akan tetap sama seperti sebelum-sebelumnya. Kamu tahu, aku bisa merasakan rasa enganmu untuk aku melangkah mejauh. Kamu bilang mencariku, namun kenyatannya kamu bilang 'let me go". Lantas kamu anggap aku ini semacam apa ? Sesaat kamu minta aku bertahan lalu sebentar lagi ketika kamu menyerah oleh realitas kamu memintaku untuk melepaskanmu. Apakah kita ini sebenarnya masih terhubung ? Terhubung oleh sesuatu yang tidak bisa kita lihat jika nyatanya kita masih saja terus dipertemukan dalam suatu situasi yang bagiku itu absurd, tidak nyata dan hanya membuat gamang. 

Sepertinya akan lebih menarik jika dalam bahwah sadarku, aku berjalan menyusuri jalanan dan bertemu dengan hal-hal yang membuatku nyata tertawa karena itu dibandingkan bertemu denganmu aku hanya bisa tersenyum kecut karena kekonyolan bawah sadarku. Oke, jika memang ini hanya semacam permainan. Aku ingin membuktikan sampai mana batas kekuatanmu untuk mempengaruhiku dalam setiap malamku. Aku tidak lagi akan memohonmu untuk mendengarkan cerita yang pastinya selalu kamu anggap konyol ini. Walaupun awalnya kamu tertarik mendengar ceritaku tapi ujung-ujungnya kamu akan selalu mengucapkan "yasudahlah". Hei, tahukah kamu aku kadang terpenjara oleh ketakutanku sendiri karena alam bawah sadarku yang seolah membuatkan dunia sendiri untukku. Apa kamu bisa rasakan ketakutanku itu ? Tapi, maaf, aku sepertinya tahu kamu akan bebal jika mendengar teriakan ketakutanku itu. Karena berulangkali juga kamu bilang kalau itu hanya kebetulan saja. Ah sudahlah, aku sudah terlalu lelah untuk semakin menegaskan lagi kalau "tidak ada yang kebetulan di dunia ini". Itu mimpi buruk, mimpi indah, pertanda, bunga tidur, firasat atau semacamnya siapa lagi yang mampu membuktikan kebenarannya jika bukkan waktu. Coba kita lihat saja nanti macam apa ini yang selalu ada di setiap saat aku tanpa sengaja menyebut namaku di luar kendaliku. 

Aku tidak mau berkompetisi dengan alam semesta jika aku harus emndahului kemauannya. Atau ini semua adalah pertanda ? Jika ini pertanda mungkinkah semuanya bisa tertebak dari awalnya ? Alunan rasa yang setiap saatnya mengalir seolah membuatku semakin mengerti jika hidup ini adalah misteri, tidak ada yang tahu pasti apa yang akan terjadi. Selalu dan masih saja selalu berharap ini sebatas sementara tanpa harus ada pesan semesta yang memang tersiratkan. Sungguh aku mungkin tidak akan pernah mampu membayangkan bagaimana jika ini adalah alam yang mengatakan ? Aku bukan ahli yang sellau bisa mengartikan hembusan angin, tarikan nafas, pandangan termbus ruang ataupun hujan deras sekalipun. Semuanya ini begitu nampak absurd bagiku. Jika ini semua adalah pertanda biar saja semuanya nampak absurd hingga semuanya terpaparkan secara jelas oleh waktu yang seolah dengan bijaknya menjadi kanvas semesta. 

Sabtu, 04 Januari 2014

n-i-g-h-t-m-a-r-e

Semacam lelucon. Rasa-rasanya baru kemarin aku mengucapkan selamat-tinggal, lalu apa ? Kau seolah menyambangiku untuk meringsut masuk ke dalam mimpiku. Harus berapa puluh kali lagi kamu sukses menutup mimpiku dengan pikiran absurdku seharian ? Aku yang seolah selalu menggerutu kepada semesta pertanda apa ini ? Yah memang ada kalanya yang bisa kita lakukan hanyalah menerima. Karena dengan menolak, menyangkal dan mencari pembenaran hanya akan melelahkan diri sendiri. Lalu mau apa lagi ? Akan seperti apa lagi ? Atau mungkin karena aku mengucapkan selamat tinggal hingga kamu engan untuk aku tinggalkan ? Semakin terdengar seperti lelucon. Atau mungkin ini hanya sebuah kebetulan belaka ? Ah. Tidak. Aku tidak akan membahas soal kebetulan. Jujur, aku lelah. Hei, lihat harus berapa lama lagi aku harus memenjarakan rasaku sendiri dalam kegamangan yang tidak pasti ? Lihat masih banyak yang harus aku lakukan. Bolehkah aku melanjutkan langkahku ? Apa nadaku kurang terdengar lebih memohon lagi ? Selalu saja kamu nampak egois dengan cara alam yang seolah menghalangiku untuk berjalan mundur. Aku tidak bisa lagi pasang badan untuk menghalangimu juga meraih bahagiamu. Kurang alasan seperti apa lagi ? Lihat, apa yang kita pijak, apa yang kita hirup, apa yang kita raba, dan apa yang memberi kita hidup sudah jauh berbeda. Lantas beda apa lagi yang harus dicari untuk menjadi satu alasan yang pasti ?


Semacam sukses tidak sadarkan diri dalam dunia yang serba tidak pasti. Ingin, ingin sekali sejenak rehat dari apa yang ada di depan mata. Melarikan diri ? Tidak atau pastinya bukan. Hanya seolah ingin menghirup udara yang seolah memberikan kesegaran baru ketika dia berhasil merambat memenuhi rongga di dada. Hanya itu mungkin. Ingin lepas dari ke-absurd-an ini. Lalu pergi. Atau mungkin menghilang ? Ah rasanya belum waktunya untuk menyerah sampai disini. Memang rasa-rasanya langkahku terasa limbung, butuh tempat untuk sejenak menjadi pegangan bahwa semuanya baik-baik saja. Aku seolah seperti orang yang siap di terapi dengan terapi macam apapun, humanistik, behavioral atau sekaligus psikoanalisis ? Kurang lengkap apa coba ? Coba sebutkan semua jenis terapi untuk membuatku sadar untuk berpijak pada realita yang terjadi. Sudah, aku tidak ingin memusingkan diriku sendiri akan kehadiranmu yang berulang kali menyambangi mimpi indahku. Atau mungkin kamu adalah bagian dari mimpi indahku ? Ah tidak mungkin. Aku akan menganggapmu sebagai nightmare yang tak kunjung menghilang. Maaf bukan maksudku untuk mengakategorikan kamu dalam sesuatu yang tidak suka. Karena aku terlalu lelah untuk terus menerawang jaun akan sesuatu yang tidak pasti. Mungkin kali ini bukan lagi mimpi yang aku takuti tentang kamu namun hanya saja kamu adalah bagian dari nightmare yang aku hindari. 

Jumat, 03 Januari 2014

selamat-tinggal

Hei, aku ingin memberitahumu satu hal. Mungkin ini tidak berarti lagi buat kamu. Ya, aku tahu kamu tidak mau mendengarkan cerita kliseku ini ? Oh tidak apa, mungkin aku hanya ingin menyampaikan sesuatu padamu. Entah cerita ini akan kamu dengar atau tidak aku tidak peduli karena ini hanya semacam kabar. Seperti angin yang datang kadang didamba dan tidaknya, manusia sering mengabaikannya hingga dia menggunakan seluruh dayanya untuk dihiraukan baru semua orang menyadari angin itu ada. Mungkin ini sama seperti apa yang ingin aku sampaikan padamu. Aku tidak memintamu atau bahkan tidak sedikitpun memohonmu untuk menyisakan sedikit waktu untuk diam sejenak mendengarkan apa yang ingin aku sampaikan. Biar saja ini menjadi semacam pesan yang tidak tersampaikan jika nyatanya kamu sudah tidak memiliki waktu  barang sedetikpun karena aku terlampau sadar waktumu lebih berharga untuk menggenggam apa yang sekarang telah kamu miliki.

Ah rasa-rasanya baru kemarin aku melihatmu merencanakan sebuah mimpi untuk masamu yang akan datang. Tapi apa ? Oh ya, aku sudah dengar kabar bahagia itu. Awan yang sembari kemarin menyampaikan pesan bahagia darimu. Seolah langit malam yang aku pandangi kemarin mengatakan bahwa duniamu sudah berwarna. Dengan bintang-bintang yang kamu rindukan untuk kamu nikmati keindahannya setiap malamnya. Lalu siapa disampingmu itu ? Oh ya, itu dia orangnya yang selama ini kamu nantikan. Aku bahkan mungkin terlalu naif jika harus mengatakan aku-turut-bahagia jika nyatanya aku ingin menyampaikan sesuatu tentang janji kita dimasa lampau. Ah mungkin ini tidak akan mungkin berarti lagi. Mungkin orang-orang akan menatapku dengan tatapan ironis. Melihat sebuah senyuman yang seolah terlahir karena sebuah keadaan yang terlampau memaksa saraf-saraf di otot mukaku menarik menyunggingkan sebuah senyuman. Walaupun itu senyuman palsu. Pasti kamu tahu senyumanku ini hanya untuk menyenangkanmu. Tidak, mungkin aku harus melatih senyumku untuk terlihat lebih tulus lagi hingga kamu percaya bahwa aku kini baik-baik saja. Memang. Seperti itu yang aku ingin sampaikan padamu.

Kemarin aku menyusuri lagi jalanan itu yang seolah membangkitkan ingatanku yang ingin aku luruhkan dalam setiap waktuku semenjak aku melangkah pergi dari hidupmu. Langit yang seolah menjadi saksiku menjadi trenyuh melihatku seolah kembali menyapa ribuan daun yang mengiringi langkahku kembali ke tempat dimana disana aku datang untuk memungut sisa-sisa memori yang tertinggal. Yah, waktu memang mampu mengubah segalanya. Dan orang banyak tahu akan hal itu. Setiap sudut tempat itu seolah menertawakanku. Mereka menyambut kedatanganku dengan sindirian bahwa kini aku datang hanya sendiri. Dan itu tanpamu. Mana senyummu yang dulu ? Yah, ilalang-ilalang itu meneriakkan lagi namamu. mereka memutar kembali ingatanku akan masa dimana aku menemukan diriku di pelupuk matamu. Namun apa, kini di pelupuk matamu bukan lagi ada bayanganku namun ada sosok lain yang lebih nyata. Sosoknya lebih dekat dan mampu merengkuhmu lebih damai lagi, namun tangan itu bukan lagi tanganku yang mampu meghapus peluhmu. Lupakan saja. Masih terlampau ingat akan kata yang kamu teriakkan di telingaku. Tapi kini aku seolah menantang diriku sendiri untuk datang menantang ingatan yang ingin aku lupakan. Aku ingin membiarkan segalanya pergi dengan indah. Bukan tentang kenangan yang membuat takut ketika film-film kehidupan itu berputar kembali. Masa itu adalah bagian dari hidupku. Masa itu mempertemukan aku ke hadapanmu. Hingga masa itu pula yang membuat aku sadar bahwa aku terjebak dalam keinginan sesaat. 

Kamu pasti akan akan mengataiku sosok yang sok tangguh. Lantas apa salahku jika memang aku ingin terlihat baik-baik saja dihadapnmu ? Aku memang bukan manusia sempurna yang mampu menjadi apapun yang banyak orang inginkan. Ini aku dengan segala caraku untuk menemukan keutuhanku. Dan mungkin inilah caraku untuk melihatku berjalan memunggunggiku dengan sosok di sampingmu yang menjagamu. Tidak. Aku tidak akan pernah takut untuk selalu mengenangmu. Bahkan tempat ini seolah masih menggambarkan bahwa kamu masih begitu nyata dihadapanku. Ah bahkan aku rasanya hampir muak melihat segala keangkuhan bayanganmu. Keangkuhanku untuk terus mengingatmu itu hanya akan semakin membuatku mengerti bahwa aku harus meninggalkan semuanya. Bukan karena menyerah dan ingin melupakan, namun aku ingin melihat cahaya yang berbeda di malam kelam yang aku temui esok. Biar saja dinding-dinding dingin dan kaku itu selalu menjadi saksi bahwa aku dan kamu pernah menikmati malam yang sama di tempat yang sama. Hingga nanti kamu menemukan duniamu yang baru aku juga mampu melihatmu dengan dia yang seolah mampu menyempurnakan hidupmu walaupun itu bukan aku. Aku tidak ingin lagi terlalu berlama-lama meratapi apa yang memang tidak pernah bisa aku miliki. Bukankah lebih baik begini walaupun bagaimana bisa aku merasa kehilangan bahkan aku tidak pernah memilikinya ? Sudahi semua ini. Sungguh aku tidak ingin lagi menanti jika yang aku nanti tak sanggup lagi memberi. Bahkan waktu yang selalu aku minta tak lagi buatmu mengerti jika itu hanyalah setapak yang pantas ditinggalkan di belakang sana. Yah, aku mampu melihatmu dari caraku memahamimu meski dimensi kita berbeda. Bahagiamu akan selalu aku lihat dari tempatku mengamatimu, meski disampingmu bukan lagi aku. Aku tidak pandai mengucap kata-kata yang indah hingga membuatmu terpukau dan berpikir ulang untuk bertahan dan menanyakan semuanya untuk berulang. Bahkan aku tidak ahli dalam bersandiwara menjadi pemain yang handal untuk membuatmu tahu bahwa aku baik-baik saja. Tidak ada kata yang pantas lagi untuk membuatmu tahu bahwa aku hanya ingin mengucapkan selamat-tinggal.