Kamis, 19 Juni 2014

Jurnal Pertama

Dimana kamu saat ini ? Kamu masih mampu berdiri dan memandang. Nafasmu masih menderu dan menjagamu hingga saat ini. Darahmu masih mengalir melewati setiap pembuluh yang membuatmu tetap tersenyum sampai saat ini. Lalu siapa yang akan tahu apa itu arti senyuman ? Mungkin orang berusaha untuk menyembunyikan seutas kesedihannya dibalik senyum yang berusaha ia kembangkan. Lalu berapa lama hal itu akan bertahan ? Sekelilingmu banyak orang-orang yang peduli akan keberadaanmu, lalu untuk apa mencari yang sudah hilang ? Bukankah lebih baik menjaga yang masih ada ? Apa yang datang akan pergi. Seriap orang senyatanya sudah menyiapkan jalan untuknya sendiri. Meski bukan yang terbaik, namun kamu berusaha untuk memilih pilihan yang terbaik. Semua akan ada saatnya. Siapa yang menanam, dia akan menuai. Kamu bukanlah juri atas permainanmu sendiri, kamu hanya seorang pemain, yang diminta untuk memainkan peranmu seelok mungkin. Kamu adalah penanggungjawab atas dirimu sendiri. Semangat, senyum, keceriaan, kesediahan, masalah, cinta, kecurangan, mungkin itu adalah bagian dari pilihan. Kamu diminta untuk lebih lihat dan tidak ceroboh. Jalan yang kamu tuju mungkin tidak akan seiindah nirwana, tapi siapa yang akan tahu bahwa di depan sana akan ada ruang seindah nirwana yang sudah disiapkan untukmu ? Lantas bagaimana bisa kamu tahu jika kamu tidak mencobanya ? 

Beribu-ribu kilometer kamu tempuh untuk melakukan perjalanan. Bukan tentang tujuannya tetapi lebih pada perjalanan itu sendiri. Kamu melintasi ribuan jalanan yang mungkin bagi kamu itu adalah pantulan akan keberadaanmu. Keberadaan yang mungkin kamu lupa untuk mensyukurinya. Lihat saja, sang cakrawala masih terbentas sama jika kita berjalan sejauh apapun itu. Dalam naungan bulan yang sama, kita masih bisa melihatnya meski dari tempat yang berbeda. Kamu bukan seorang pengecut yang seolah melarikan diri dari apa yang tidak akan pernah bisa pergi darimu. Dia ada bersamamu, tengok saja apa yang ada dalam dirimu. Dia akan tetap bersamamu, dan seolah menjadi momok jika nyatanya kamu tidak mau sejenak saja berdamai dengannya. Banyak inginmu untuk mencapai langit setinggi mungkin, tapi apa mungkin bagimu jika yang ada kamu mengingkari dirimu sendiri ? Mungkin aku dan kamu berjuang bersama, tapi pada akhirnya jalan kita berbeda, aku akan berjalan pada alur yang sudah tersedia untukku, begitu juga dengan kamu. Kamu akan meneruskan langkahmu. 

Lalu apa lagi yang kamu takuti akan perpisahan ? Perpisahan itu hanya sementara, tapi mengapa banyak manusia menundanya karena tidak ingin sendiri. Apa yang salah dengan sendiri. Kamu mungkin boleh dikatakan sendiri, tapi jangan pernah dirimu dikuasai oleh kesepian yang mungkin akan memaksamu untuk lari. Sejauh appaun kamu lari, kamu sekali lagi tidak bisa terhindar. Kamu akan tetap berada di koordinatmu saat ini. Waktu mungkin akan berbaik hati untuk mengupayakan usahamu, memberimu ruang untuk semakin yakin bahwa dimana ada kemauan disitu akan ada jalan. Mungkin kamu akan merasa nyaman dengan apa yang kamu pilih, merasa itu satu-satunya. Tapi apa kamu lupa, bahwa kadang yang nyaman itu belum tentu yang terbaik ? 

Rabu, 11 Juni 2014

[CERPEN] : PULANG

"Aku ingin pulang"
Aku meyakinkan diriku sendiri. Lalu kemana aku harus pulang. Arah itu semakin menyemu, dan seolah tidak ada lagi cahaya di jalanan yang bisa menunjukkan arah padaku. Ah di depan sana ada seseorang yang mungkin bisa aku tanyai.
"Permisi, bisa tunjukkan kemana arah untuk saya pulang ?" Tanyaku sambil merapatkan jaket tipis yang kini melindungiku dari dinginnya malam.
Orang itu tetap diam dan tidak bergeming. Dia tetap menghisap rokok yang hanya tinggal setengah batang di tangan kanannya sambil memandangku heran.
"Kamu tanya pada saya kemana anda harus pulang ?" Lelaki itu bertanya balik. Aku yang kini hanya bisa diam heran atas pertanyaan orang itu.
Sungguh. Sepertinya aku sudah kehilangan jejak untukku pulang. Malam sepertinya semakin menjadi-jadi, hanya ada raungan anjing yang saling bersautan mengisi kekosongan malam. Aku terus berjalan. Terus dan terus. Meninggalkan orang yang kini seolah pandangannya masih tertuju heran padaku.
Seberkas cahaya dimata orang itu, sepertinya aku pernah melihat cahaya yang sama, tetapi dimana. Ah aku segera menghilangkan rasa penasaranku. Mungkin aku hanya baru pertama kali ini bertemu dengan orang itu, dan mungkin hanya perasaanku saja kalau aku pernah mengenalnya.

"Aku ingin pulang." Gumamku lagi pada diriku sendiri. 
Aku membayangkan sebuah ruang yang tidak perlu luas, mewah ataupun mahal. Yang pasti aku hanya merindukan untuk pulang. Senyaman di pangkuan ibu yang seolah tidak ada lagi yang mengganggu. Tapi dimana aku. Aku mengedarkan kembali pandangan ke sekitarku. Semuanya masih gelap. Tidak ada seorangpun yang bisa aku tanyai. Mungkin aku harus mempersiapkan pertanyaan baru jika nanti aku bertemu dengan orang. Yah, aku tidak akan menanyakan arah, aku akan menyusun pertanyaan baru. Tapi tiba-tiba semakin aku memaksakan otakku untuk berpikir, aku semakin lemas, neuron-neuron dalam otakku seolah semakin melambat. Paksaku lagi pada sel-sel di tubuhku, namun mereka seolah berkebalikan dengan apa yang aku perintakan.

Dan kali ini aku terjatuh. Menopang tubuhku sendiri yang dilawan oleh tubuhku sendiri. Ada apa denganku ini. Aku berusaha untuk merintih minta tolonng. Aku mengapai-gapai apa-apa yang mungkin ada di dekatku. Tapi aku kini seolah berada di tengah jalanan luas tanpa seorangpun yang mempedulikanku. Tiba-tiba satu, dua, tiga, empat yang semakin banyak orang berdatangan dan hilir mudik namun mereka seolah tidak melihatku merintih kesakitan dan minta tolong. Mereka sibuk dengan urusan mereka masing-masing. Malam yang pekat seketika berubah menjadi panas yang terik. Langkah-langkah orang semakin cepat dikejar berbagai hal yang sudha ada di pikiran mereka. Mata mereka membuta, telinga mereka menuli. Aku berusaha untuk mengeraskan suara, dan kini kekuatanku kembali aku berteriak sekuat mungkin. Tapi apa, semua orang tetap sibuk dengan urusannnya masing-masing. Aku mencoba memegang mereka, mencoba bertanya dan memohon untuk diperhatikan barang sedetikpun.Tapi mereka bahkan terlihat acuh dan tidak mau tahu. 

"Aku ingin pulang." Kini pertahananku sepertinya mulai runtuh. Aku mulai terisak. Air mata yang keluar dari pelupuk mataku seolah jeritan dari sel-sel tubuhku yang selama ini aku penjarakan sendiri, aku sembunyikan dan aku samarkan. Mereka berebut untuk keluar bersama dengan tetes air mataku. Aku seolah tidak mengenal diriku sendiri. Aku hanya seorang yang berusaha untuk berdamai dengan perlawanan yang datang dari dalam diriku. 
"Apa maumu ?" Aku bertanya pada diriku sendiri. Aku menggeleng. 
"Apa salahku padamu selama ini ?" Lagi-lagi aku bertanya pada diriku sendiri. 
Telingaku seolah tidak mampu mendengar apa-apa selain isakan dari diriku sendiri. 
"Lalu buat apa aku disini, jika aku tak tahu akan harus kemana. Aku ingin pulang." Teriakku. 
Aku memejamkan mata. Aku ingin keluar dari tubuh rapuh ini, aku ingin lepas, aku ingin bebas. Aku ingin pergi. 

Tidak perlu menunggu hitungan detik, kini jiwaku mebali melayang. Aku serasa terbang. Tapi aku tidak tahu kemana arahku pergi. Yang terlihat hanya putih, semua serba putih. 
Putih yang menyilaukan, mataku perih, tapi aku menyukainya. Aku terbang. Aku menghibur diriku sendiri. Nikmati ini, ayo nikmati ini. Ada sebuah suara yang seolah memberiku petunjuk. Akhirnya aku menemukan petunjuk itu. Tapi apa yang bisa aku nikmati di tempat serba putih seperti ini. Lagi-lagi jiwaku memberontak pada ragaku. Aku ingin bebas, aku ingin pergi. Dan lagi, "aku ingin pulang".

"Dia. mengapa dia ada disana dengan kamera kesayangannya itu ?" Aku bertanya pada diriku sendiri. Aku menyipitkan mata untuk memperjelas penglihatanku. 
"Apakah benar itu dia ? Aku bertemu dia lagi ? Dimana aku ?" Aku menggerutu pada diriku sendiri.
"Mungkin ini hanya mimpi, aku selalu bertemu dia dalam mimpi. Yah setelah ini aku akan terbangun. Dan semua akan kembali seperti sediakala." Aku meyakinkan diriku sendiri. 
"Tapi bukan, ini bukan mimpi. Lalu apa ?" Aku meragukan keyakinanku sendiri.

Aku mencoba menghampiri sosok tegap yang sedang sibuk dengan kamera kesayangannya itu. Yah aku ingat sekali. dia terlalu sayang dengan kamera itu. Kamera itu. Dari balik lensanya aku pernah melihat dunia apa yang hanya dia lihat. Mungkin hanya seberkas cahaya yang selalu dia cari untuk menangkap fokus, tapi aku tahu dunianya begitu berbeda dengan yang lain. Aku selalu suka mengamati gayanya dalam membidik sasaran. Dia nampak angkuh dengan caranya, tapi aku suka. Dia selalu berkata kalau apa yang dilihatnya dari balik lensa kameranya itu tidak akan pernah bohong. Dia akan berkata apa adanya. 
"Lalu apakah dia tahu bahwa aku merindukannya ?" Ah aku segera menghapus pertanyaan yang lagi-lagi muncul tentang dia.
Aku ragu, perlukan aku mendekat. Dia kini hanya diam. Dia terlihat sedang mengamati gambar hasil potretnya. Senyum itu mengembang. Aku segera bergetar ketika pupil mataku mengecil dan menangkap senyum yang tersimpan dalam memoriku. Masih sama dan mungkin akan tetap sama.

Aku tetap setia berdiri di tempatku kini. dia tahu keberadaanku di dekatnya. Dia berjalan mendekat padaku dengan senyum itu. Senyum itu yang masih terpotret jelas dalam ingatanku. Dia mendekat dan dia memandangku lama. Aku hanya mampu terpatung. Aku memaksakan syaraf-syaraf wajahku untuk sedikit saja menyunggingkan senyum, tetapi kenapa ini terasa berat sekali. Aku mulai merutuki diriku sendiri. Kini dia mungkin hanya berjarak satu jengkal dari wajahku. Dia masih dengan senyumnya. Dia tidak berkata apa-apa. Sebentar saja dia lalu memperbaiki posisi kacamatanya, ternyata tidak ada yang berubah dari kesombongannya. Lalu terdiam melihatku dengan senyumnya. Aku berusaha menangkap isyarat yang dia sampaikan dari molekul-molekul udara di ruang antara aku dan dia. Aku mengartikannya satu persatu kiriman itu. Mata itu, seolah segera melumpuhkaku, membuat semua pertahanan dalam diriku melemah. Aku seolah kehilangan keseimbanganku, aku mengalami fase trans.

Dan dalam sekejap dia langsung menangkapku dan merengkuhku ke dalam pelukannya. Pelukannya, yah pelukannya. Aku merasakan kedamaian itu, aku merasakan kekuatanku kembali lagi. Aku merasakan penyatuan sukma yang aku sendiri tidak mengerti apa itu. Dia masih tetap diam dan tidak bergeming. Dia memelukku erat dan semakin erat. Aku hirup dalam-dalam aroma tubuh yang dikeluarkan oleh hormon-hormon itu. Aku merasakan mendapatkan kekuatanku kembali, aku mendapati diriku kembali. 

Aku ingin mengucapkan sesuatu, tetapi mengapa lidahku masih saja kelu. Semakin berusaha untuk aku berucap, semakin aku melemah. Aku berusaha untuk mempertahankan fase ini, fase dimana aku menemukan kekuatanku, tidak ada tempat lain yang aku tuju. Disini. dipelukannya, aku kembali mendapatkan kekuatan itu. Tetapi, ketika aku mencapi titik dimana aku merasakan sebuah ketenangan, ucapan lirih itu terlontar juga, "Aku harus pulang." 
Dan, semakin lama pelukan itu merenggang dan merenggang. Dia menyemu dan semakin menyemu. Dan kini lagi-lagi hanya ada aku. Dia menghilang.
Pelukan itu masih terasa, tapi apa, kini aku meyakinkan diriku sendiri bahwa dia telah pulang. Begitu juga dengan aku "Aku ingin pulang."

Peluit panjang itu memekakkan telingaku. Aku mencoba mengerjapkan mata. Aku mencoba menyandarkan diriku di kursi ruang tunggu dengan sisa-sisa tenagaku. Suara gesekan besi dengan besi itu semakin jelas. Aku mencoba untuk memfokuskan dan menyadarkan diriku sendiri. Hiruk pikuk itu mulai terasa. Pengumuman bahwa kereta api sebentar lagi akan di berangkatkan. Aku menarik nafas panjang. Dan kini aku tersadar aku sudah tertidur di kursi tunggu peron. Sepertinya aku sudah melewati banyak dimensi waktu, tetapi aku melirik pada jam yang melingkar di tangan kiriku, aku baru tertidur kurang dari 30 menit. Tapi rasanya sudah berhari-hari dan melelahkan.

Suasana stasiun malam ini cukup ramai. Disini aku lihat orang berlalu lalang, mengucap janji, mengucapkan selamat datang dan selamat tinggal. Di tempat ini semua orang mulai berharap. Disini semua orang mulai merasa cemas. Tapi yang pasti ditempat ini aku tahu bahwa perjalanan itu hanya sementara. Pada akhirnya semua akan datang dan pergi lagi. Dan paa akhirnya akan pulang.
Aku segera membereskan ranselku dan dengan sedikit terhuyung aku menaiki kereta yang akan membawaku. Terimakasih perjalanan. "Aku pulang."




Sabtu, 07 Juni 2014

Just For Information

yang aku dengar dari kamu adalah sebuah kebohogan, bukan lagi kejujuran. Buat apa kejujuran yang kamu nyatankan jika nyatanya kamu tidak akan pernah mempu menjadikannya nyata. Aku berharap apa yang terucap dari mulutmu adalah omong kosong, tak berarti dan seolah hanya ingin membuatku senang. Apa dengan begitu kamu seolah menyelamtkan kehilangan itu ? Tidak. Yang ada kamu malah seolah membuka lebah pintu yang seharunya sudah tertutup rapat itu. Untuk apa sebuah kejujuran jika nyatanya kamu tidak mampu menepatinya. Tidak usah kamu mengumbar seribu janjimu untuk terus mengingatku jika nyatanya kamu selalu bercumbu dengannya tanpa lagi mengingat namaku. Jangan lagi mengucapkan kata-kata yang hanya akan membuatku enggan bertemu denganmu lagi, dan sekalipun ucapkalah selamat tinggal sebagai bentuk perpisahan yang memang seharusnya begitu. Pergi saja, lupakan saja semua tentang aku dan kamu. Bukankah itu adalah bagian dari perjalanan. Tidak lagi ada yang perlu dikenang jika nyatanya itu tak sanggup menahanmu. Yah aku tahu ini terlalu berat, tapi tidak jika tanpamu. Aku lebih sanggup menjalaninya sendiri, tanpa lagi ada bayang wajahmu yang seolah mengiba untuk aku selalu baik-baik saja. Jangan lagi epdulikan keadaanku, memang seperti ini keadaanku, selalu bergumul dengan keadaan yang berusaha untuk aku jadikan sahabat. Jangan lagi panggil aku sahabat, jika nyatanya kita hanya berteman. Bertemu untuk berpisah, bukan untuk saling mempertahankan. Aku hanya memintamu untuk membandingkan dia yang lebih beruntung itu dengan diriku. Aku bukan siapa-siapa, aku hanya wanita biasa yang mengharapkan perkataanmu itu hanya kebohongan. Seolah berusaha untuk memanipulasikan keadaan sesuai dengan drama yang tiada akhirnya. Cukup, aku tidak mau lagi mendengar komentarmu tentang diriku, yang seolah tahu banyak tentang keadaanku saat ini. Jika nanti kita bertemu lagi, jangan sedikitpun tanyakan bagaimana keadaanku, aku akan baik baik saja dan selalu berusaha untuk baik-baik saja. 

Aku tidak berharap lebih, aku hanya sebatas menjalaninya. Aku harap kamu mengerti. Aku terbiasa seperti ini, dan tidak lagi aku ingin kamu mengerti. Karena aku tahu pengertianmu hanya untuk dia yang saat ini disampingmu, menggenggammu erat dan seolah takut untuk kamu lupakan barang sedetikpun. Untuk apa menjanjikan bahwa kamu akan selalu menyediakan ruang tersendiri untukku, jika nyatanya semua ruang itu telah dia kuasai. Kamu selalu berujar, itu masih kamu, tapi untuk apa kamu mengumbar semua kelakarmu itu jika nyatanya dengan jelas kamu menyatakan bahwa it's you, dia yang kini memilikimu, pantas disampingmu dan memilikimu. Tidak ada banyaj harapku saat ini, yang aku mau mulai saat ini, hilangkan saja memory tentang aku dan kamu. Aku dan kamu hanyalah sebuah kisah klise yang membuat banyak orang mendengarnya muak. Lupakan saja tentang hari, hujan dan cerita itu. Itu hanya ada dalam ingatan masa lalu, bukan untuk masa yang akan datang. Yang akan datang adalah milikmu dan dia, sedangkan aku adalah aku dan duniaku.