Jumat, 27 Desember 2013

[CERPEN] : Tuan Pelupa & Nona Pengingat

Awan hitam masih saja menggantung di langit kota Jogja. Rasanya udah lama matahari tidak menampakkan semangatnya. Apakah itu berpengaruh pada geliat kehidupan kota Istimewa ini ? Ah rasa-rasanya tidak. Orang-orang masih saja berlalu lalang walau harus berburu dengan waktu untuk ke tempat tujuan pada waktu yang tepat. Aku Kayla. Aku diantara ribuan mahasiswa yang ingin mewujudkan mimpiku di Jogja. Kota ini. Yah, aku selalu suka dan kagum dengan kota yang menjadi sorotan banyak orang karena Keistimewaannya ini. Begitu juga dengan aku. Aku selalu suka setiap sudut di kota yang sudah hampir 3 tahun aku tempati ini. Walau dalam keadaan seperti apapun aku tetap suka berada di tempat ini. Kota ini masih seimbang dan menahanku mungkin untuk beberapa tahun kedepan. Begitulah harapkau ketika aku menyaksikan banyak orang berlalu lalang dengan segala cerita di kepalanya masing-masing. Aku menatap jalanan yang hiruk pikuk dari balik kaca. Aku suka dan selalu suka dengan tempat pojok yang menurutku strategis di kafe ini. Dengan leluasanya aku bisa mengobservasi banyak orang yang nampak dari balik kacamata tebalku. Aku membenarkan letak kaca mata tebalku yang kata orang mungkin sudah seperti pantat botol karena tebalnya. Aku tidak menghiraukan omongan mereka. Karena aku nyaman. Lalu dimana masalahnya ? 

"Kamu masih saja suka duduk di tempat ini apakah tidak ada tempat lain yang lebih nyaman?" Suara serak namun berat itu seolah membawaku kembali ke kenyataan bahwa aku dari tadi menunggunya. Aku hanya menyunggingkan senyumku. Karena aku tahu tanpa menyusun kalimat panjang sekalipun, dia bisa tahu apa yang aku mau. Begitukah ? Entahlah, namun aku selalu berharap seperti itu.

"Kamu dari mana saja ? Kenapa muka kamu tampak seperti baju yang belum di setrika begitu ?" Tanyaku mencoba mencairkan suasana. Laki-laki berkemeja biru jins itu menggeleng tenang dan selalu saja sukses mencuri perhatianku. "Semua baik-baik saja, Nona." Jawabnya melembut sambil mengelus lengan tanganku. 

Ah. Aku memang selalu saja tersanjung ketika dia memanggilku dengan sebutan Nona. Aku merasa seperti satu-satunya dan yang terspesialkan. Benar begitukah ? Entahlah. Aku selalu berharap seperti itu. 

"Kamu selalu punya banyak alasan untuk menutupi segala perasaanmu. Aku salut padamu. Coba ajari aku menjadi pemain yang bermain peran dengan apiknya seperti kamu." Tanyaku memohonnya. Laki-laki di depanku ini menggeleng. Ah, dia tersenyum. Senyum yang selalu saja sukses meluluhkan segala pertahananku. Awalnya aku sudah bersiap untuk mengisomasi dia karena kedatangannya yang terlambat jauh dari jam yang sudah dijanjikan. 

"Lalu, jika aku pemain yang hebat, bolehkan aku belajar menjadi pembaca pikiran yang ulung seperti kamu ? Aku salut juga padamu. Kamu bisa membaca tanpa ada tulisan dan mampu mendengar tanpa ada suara. Ajari aku keahlianmu." Dia membalikkan pertanyaan permohonan itu padaku. Aku hanya mengibaskan tangan dan tersenyum. Senyumku kembali aku kulum dan lagi-lagi aku terdistraksi untuk menatap ke luar kaca di kafe tempat aku selalu merasa tenang dan nyaman. 

Apakah mungkin ini yang dinamakan saling melengkapi ? Ketika ada sebuah ruang tidak terbaca dan tidak teridentifikasi, akan ada sosok pelacak yang mampu membuka tabir misteri dalam ruang yang tersembunyi itu. Aku dan laki-laki di depanku ini misalnya, ah itu mungkin saja hanyalah harapku.

Oya, aku belum mengenalkan laki-laki yang selalu saja sukses mencuri perhatian di depanku ini. Dia adalah Raga. Aku dan dia sudah mengenal cukup lama. Aku dan dia menikmati apa yang memang seharusnya kita syukuri. Kesempatan dan waktu dengannya mungkin adalah banyak waktu yang sudah lama aku tunggu hingga kini mimpi itu jadi nyata. Aku duduk berhadapan dengan seorang lelaki yang mempunyai rahang keras, muka yang tegas, mata yang tajam, namun hatinya mampu meluluhkan wanita manapun yang sudah duduk berdua dengannya. Mungkin juga saat ini, wanita itu adalah aku.

"Hei, tuan. Sepertinya ada yang kurang dari dirimu ?" Aku mengamati Raga yang sedang sibuk di depan laptopnya. Raga menghentikan aktivitasnya, menatapku, mengerutkan dahinya seolah bertanya apa yang kurang dari dirinya. "Sebentar, biar aku amati. Yah, aku tahu. Pasti penyakitmu sedang kambuh". Ucapku dengan senyum tertahan. Raga semakin mengerutkan dahinya dan seolah kedua alisnya sudah siap untuk bertemu. "Kacamata kotakmu." Aku menjawabnya seperti seorang pemain kuis yang mendapati sebuah jawaban dari pertanyaan yang diberikan oleh pemandu acara. Seketika raga tertawa dan memegangi perutnya. Aku heran dengan sikap Raga yang seolah malah aku yang aneh dan lucu. Aku diam dan hanya melihat gelak Raga. Selalu menyenangkan memang melihat sosok di depanku  ini dengan segala tingkah polahnya.

"Nanti ketika aku menua sepertinya aku butuh orang seperti kamu yang selalu mengingatkanku dimana kacamataku ku letakkan." Kalimat itu sukses meluncur dari mulut Raga seolah tidak melewati filter yang sukses mengoyahkan pikiranku saat itu juga. Saat nanti Raga menua ? Bukankah itu adalah sebuah mimpi yang seolah tersamarkan olehku ? Selalu saja aku membayangkan bisa melihat rambut Raga yang hitam mengilap itu memutih. Senyumnya yang nampak kuat itu memudar karena kerutan diwajahnya. Ah aku selalu saja merindukan membuka jendela kamar lalu melihat Raga baru terbangun dari tidurnya karena sinar mentari yang menyusup dari balik jendela. Momen-momen itu ? Sudah-sudah, aku mencoba menghindar. Tapi lagi-lagi mungkin itu harapan besarku.

"Hei, kenapa kamu malah melamun melihatku seperti orang pikun ? Ada yang aneh dariku ?" Raga menahan tawanya malah melihatku heran. Aku menggelengkan kepala. "Ya, aku rasa kamu harus segera memberi rantai kacamata supaya kacamatamu tidak kelupaan. Atau mungkin suapa seperti anak gaul kamu harus memakai softlens supaya matamu nampak seperti lampu bangjo. Kadang merah, kadang hijau atau kuning." Aku hanya asal menjawab tatapan heran dari Raga. Aku tidak mau dia menyusup ke tempat aku berimajinasi tentang kata 'menua" yang Raga tadi ucapkan.

"Nona Kayla. Dari kacamata penerawanganku, sepertinya kamu cocok kerja di darat." Celoteh Raga smacam cenayang. "Iyakah Tuan Raga. Lalu darat yang Anda maksud dimana ya ? Apakah TNI angkatan Darat ? Atau mungkin buaya darat ? Upss." Aku mulai meladeni dia bermain drama. Raga mengangguk-angguk sambil menggaruk-garuk dagunya. "Ah ya. Bisa jadi. Kamu semacam remainder untuk mengingatkan orang-orang daratan supaya tidak lupa daratan." Ucap Raga sok serius. Aku sudah tidak bisa menahan tawa lagi. Tawaku meledak dibarengi Raga yang juga ikutan tertawa karena kebiasaan kita yang senang bermain sandiwara. 

Aku teringat satu hal akan sandiwara ? Lalu selama ini aku dan dia hanya bermain peran untuk menyempurnakan sandiwara ? Oh, bukan dia. Mungkin lebih tepatnya aku.

"Hei, Nona Kayla. Aku selalu suka tertawa sendiri kalau aku ingat kekonyolanku di masa-masa dulu kita kuliah lapangan. Seolah kamu itu tahu segala tentang aku. Ya, sepertinya yang pantas disebut cenayang itu kamu. Kamu selalu saja mengingatkanku kalau aku selalu begadang melewati tengah malam hanya untuk mengutak atik program yang belum kelar. Dan seolah kamu itu seperti alarm yang setiap 10 menit sekali bangun hanya untuk mengingatkanku tidur. Ah masa itu. Kadang aku lupa, tetapi kalau aku bertemu kamu. Penyakit lupaku selalu saja menguap." Tutur Raga panjang lebar. Seolah mat Raga menerawang ke beberapa bulan yang lalu saat aku dan dia sedang kuliah lapangan bersama. Momen-momen itu. Aku mungkin tidak akan pernah lupa setiap detail waktu yang sudah aku habiskan bersama Raga. Tapi apa ? Raga tadi mengatakan dia mengingat momen itu hanya saat bertemu aku ? Ah aku memang tidak memaksanya untuk selalu mengingatku.

Waktu rasanya cepat sekali bergulir jika kau habiskan hanya duduk berdua dengan Raga dengan segala canda yang dia lontarkan padaku. Aku dan dia itu banyak yang mengatakan cocok seperti sepaket yang saling melengkap. Ada kekurangan yang bisa ditutupi dan ada kekurangan yang bisa dihilangkan. Bukankah itu hanya kata orang ? Aku tidak menyadarinya bahwa khayalanku terlalu jauh. Aku hanya sanggup melihatnya yang sedang sibuk mengutakatik sesuatu di balik laptop putihnya. Aku menyesap es coklat kesukaanku sambil berkhayal tentang Raga yang ada dihadapanku. Raga nampak sibuk. Namun tanpa berkata-katapun aku dan dia, lebih tepatnya aku, selalu menikmati momen dengannya.

Aku melirik jam tangan. Dan lagi-lagi waktu seolah iri melihatku bersama dengan Raga. Dia seolah merengut momenku dengan Raga. Namun apa yang bisa diperbuat dengan waktu, dia hanya menjalankan misinya membawa manusia pada satu kata, yaitu realita.

"Hei Tuan Raga. Waktu sudah menujukkan pukul 19.00. Bukannya dalam SMSmu semalam kamu bilang mau menjemput pacar cantik dan cerdasmu itu." Aku mengatur kata-kataku setenang mungkin agar tidak ada kesan iri di dalamnya. Raga menepuk dahinya. "Ah Nona. Kamu benar sekali. Hampir saja aku lupa untuk menjemput pacarku tercinta. Memang kamu sobat terbaikku. Selalu ada disaat yang tepat." Ucap Raga tanpa memperhatikan raut mukaku yang seolah engan melihat dia pergi dari hadapanku. 

Raga segera menutup laptop putih kesayangannya dan segera beberes untuk menjemput wanita tersayangnya. Aku dan dia jarang membicarakan waita tersayang yang selalu Raga banggakan itu, hanya saat Raga sedang ada masalah dengan wanita tersayangnya itu. Raga barumu bercerita. Yah, lebih bagus begitu pikirku. Karena aku tidak ada nama lain yangs eolah mengambang diudara dan membuatku terasa amat jauh dengan Raga.

"Nona, terimakasih atas perhatian darimu. Kamu memang sahabat terbaikku. Beruntungnya aku menemukanmu, Nona. Sampai berjumpa di lain kesempatan." Raga berbicara dengan mulusnya dan pergi begitu saja sambil mengacak-acak rambutku. Aku hanya mampu berusaha tersenyum sebisaku. Ini bukan keahlianku untuk menjadi pelupa yang ulung tentang masa-masa terbaikku bersama Raga. Kenapa harus ada kata sahabat sebelum kata terbaik yang Raga baru saja ucapkan ? Ah sudahlah, waktu memang sellau sukses mengembalikkanku pada realita. Dan sekarang aku lagi-lagi sendiri menatap realita yang ada membingkaiku untuk sekedar sadar bahwa tadi Raga menyebutku seorang sahabat. 

Tiba-tiba udara disekitarlku seolah menghampa. Aku tersadar satu hal, aku terlalu suka mengingat apa yang seharusnya aku lupakan. Mungkin suatu saat aku akan belajar untuk menjadi pelupa seperti Raga dan hanya ingat disaat-saat tertentu. Bukannya mengingat di sepanjang hariku. 

Sabtu, 21 Desember 2013

RIVAL

Dalam diam bukan berarti tidak banyak yang bisa dilakukan. Lihat saja, dinding-dinding dingin dan beku itu seolah menertawakan kekosongan yang telah lama menghampa bahkan mungkin lama tak tersinggahi. Lihat saja, kesombongannya seolah menertawakan kesendirian yang hanya akan mengerogoti waktu yang tak segera menjauh. Lalu apa yang diinginkan dari senyum kecut itu ? Hei senyum-senyum sinis, masih dengan angkuhkah kamu akan selalu dengan caramu yang masih saja sama dari waktu ke waktu ? Tidakkah kamu lelah dengan kesombongamu itu ? Tidak. Ini bukan tentang sebuah belas kasian. Bahkan mungkin tidak membutuhkan semua itu. Karena ada hal yang masih bisa dipercaya, karena ini akan berlalu. Ah, tidak ada gunanya memang kalau nyatanya hanya saling menertawakan keadaan yang engan berganti warna ini. Mungkin posisi ini tidak selamanya menjadikan kita sebagai seorang musuh. Ah, tapi nyatanya kamu masih saja tetap menertawakan kesendirianku. Tidak, aku tegaskan lagi. Aku tidak butuh belas kasian darimu. Karena yang aku tahu hanya kesombonganmu yang seolah tidak menyadari bagaimana keadaan dirimu sendiri.

Oke. Kalau ini maumu. Mau sampai kapan kita akan saling menyebut sebagai rival ? Rival dalam kegelapan, rival dalam kekosongan, rival dalam kesendirian atau bahkan rival dalam kesepian ? Bukannya kamu akan lebih menertawakan keironisan kata-kataku ini ? Tidak, harus berapa puluh kali lagi aku menyatakan padamu bahwa aku tidak butuh belas kasianmu. Lalu bagaimana dengan tawaranku, mungkin kita bisa saling memahami keadaan kita masing-masing. Bukankah kamu selalu dan selamanya akan menjadi sosok diam, dingin dan tetap kekeuh dengan keadaanmu saat ini ? Jika kamu tahu, aku tidak akan menganggapmu sebagai musuhku. Aku ingin bersahabat denganmu. Tapi ternyata balasanmu masih saja tetap sama. Bahkan pandanganmu nampak sinis melihatku, ehm mungkin lebih tepatnya lagi kamu mengangapku nampak sendu memintamu untuk menemaniku. Lalu selain kamu kemana lagi aku mampu bersembunyi dibalik keriuhan di luar sana ? Bukankah di luar sana akan nampak lebih sombong dari apa yang ada dalam diam disini ?

Ayolah. Aku bukan menantangmu untuk saling berbentur ego dalam kesendirian. Coba saja, kita mungkin bisa saling mengisi. Meski aku tahu dan sadar, kamu akan tetap dalam posisimu saat ini. Hahaha. Yah, kamu pasti akan tertawa seperti apa yang baru saja aku lakukan. Aku memang bisa saja meninggalkanmu dan memamerkan padamu keramaian diluar sana yang bisa aku dapat ? Tapi selama ini apa buktinya ? Ada sisi lain yang memintaku untuk tetap bersembunyi di balikmu. Walau aku tahu kehangatan yang kamu beri mungkin berbeda dari apa yang aku cari. Namun disini satu-satunya tempat yang memberi aku ruang dan waktu berbincang dengan sisi lain dari diriku yang seolah aku anggap baik-baik saja. Tapi apa nyatanya ? Dia meronta, memintaku untuk diperhatiakan, lantas dia memintaku untuk tetap berjuang. Kamu pasti penasaran sebenarnya apa yang aku cari ? Sudah tidak perlu kamu melontarkan pertanyaanmu itu. Sini biar aku beritahu. Yang aku ingin adalah sebuah pencapaian. Bukan berada ditengah keramaian jika nyatanya ada jiwa kita yang kosong, namun pencapaian bahwa waktu yang aku lalui telah terlewati dan nyatanya aku bisa. Namun sepertinya itu masih terlampau jauh dari pandangan. Anggap saja ini prosesku menuju tempat itu.

Hei kamu dinding-dinding dingin, kaku dan nampak egois. Sudah abaikan saja semua yang ada saat ini. Anggap saja kita ada untuk saling bersimbiosis memainkan peran kita masing-masing. Aku berlindung dibalik bahumu dan kamu akan tetap saja sama dengan posisimu sata ini. Yang seolah mengejekku karena apa yang aku lakukan saat ini. Aku anggap kita rival, rival yang akan saling membuktikan siapa yang akan lebih bisa bertahan. Aku bukan takut, namun aku tahu aku hanya membutuhkan satu tempat untukku mengerti apa yang saat ini aku jalani adalah jalanku menuju pencapaian yang tadi aku ceritakan. Masih butuh kata-kata yang seperti apa lagi ? Ah aku tidak mau terlalu banyak berujar padamu. Bukan takut membuang terlalu banyak waktu, tapi mungkin ini hanya akan semakin menujukkan sisi lainku untuk kamu ketauhi sebagai titik kelemahanku buat kamu kalahkan. 

Rabu, 18 Desember 2013

Dalam Penjamku

Aku hanya membawamu dalam terangku namun nyatanya kamu selalu mengikutiku dalam gelapku. Aku berlari namun nayatanya kamu tidak pernah lagi menungguiku untuk kembali. Kamu tetap bertahan meski itu tidak akan pernah mungkin terjadi. Aku tidak banyak berharap. Aku hanyalah sosok yang mengais-ngais sisa waktumu yang tertunda. Berharap, berharap semuanya masih tetap sama. Namun nyatanya aku hanya terhibur oleh imajinasiku sendiri. Kamu telah menuai cinta lain di tempat barumu. Aku mungkin harus pergi. Pergi bukan untuk meninggalkanmu. Namun aku pergi untuk kembali melihatmu bahagia. Bukti seperi apa lagi yang mampu menjelaskanmu dalam diamku. Aku hanya sesosok pribadi yang jauh dari anggan untuk berdiri disampingmu. Menenangkanmu, mendamaikanmu dan mengatakan bahwa semuanya baik-baik saja. Bukankah itu semua hanyalah omong kosong ? Aku memilih untuk pergi, pergi untuk mencari sisa bayanganmu yang masih bisa aku temukan di tempat yang lain. Dia yang terbaik yang ada untukmu. Memberimu ruang untuk menuai cinta yang selama ini kamu nanti. Siapa aku ? Aku tak punya kuasa untuk meminta waktumu barang sedetikpun untuk kembali lagi disini. Bukankah masih akan tetap sama elegi di pagi hari tanpa kamu lagi  ? Elegi itu hanya terdengar semu karena nadanya mengihilang menemukan harmoni yang lain untuk menjadikannya lebih merdu. Bukan maksud hati untuk membimbingmu menemukan jalanmu kembali, bukan kuasaku untuk menahamu lebih lama lagi. Lihat saja disana, bukan disini. Disini hanyalah hidup dalam bayangan yang tak pernah jadi nyata. Ini hanya sebuah harapan yang terucap dalam doa. Aku selalu mampu mendapatimu menemukan jalanmu untuk hidup lebih lama lagi. Kamu jauh. Jauh untuk menjemput bunga yang kini bermekar di tempat yang lain. Tidakkah disini lebih tandus dan hanya akan membung waktumu percuma ? Sudah tidak lagi perlu kamu hiraukan segala keadaanku ini. Ini hanya sementara. Ini hanya masalah waktu. Bukankah aku masih bisa bertemu dengangmu meski itu dalam penjamku ? Aku tak bisa mengendalikan alam untuk selalu berpihak padaku, aku hanya bisa mengerakkan imajiku untuk kembali duduk bersamamu dalam pejamku. Tidak butuh waktu lama untuk melihatmu memetik bunga yang sungguh indah untuk menemani perjalananmu. Tenanglah tenang. Aku akan baik-baik saja. Ini jalan yang memang menemukan kita pada persimpangan. Siapa yang pernah menginginkan ini ? Lekas hapus saja air matamu itu. Sayang air matamu mengalir untuk menemukan jalan pulangnya. Meski aku sadar itu bukan untuk aku. Ini hanya semacam retorika untuk mengijinkanmu pergi. Pergi dan mungkin tidak akan pernah lagi menengokkan kepalamu sekalipun kebelakang. Ingatlah aku akan terus disini. Dalam pejamku aku hanya meminta dalam wujud doaku. Namamu selalu bahagia di duniamu. Dunia yang kini berbeda, dunia yang kini tak lagi sama. Dalam pejamku aku berjanji akan selalu menemukan namamu meski itu telah terlapisi oleh kenangan lain. Namun, dalam pejamku aku mampu mendamaikan hatiku dalam pelukan semua kenangan bersamamu. 

Selasa, 17 Desember 2013

terima kasih bijaksana

Terimakasih. Satu kalimat itu yang mungkin bisa menjabarkan banyak hal yang ingin terucapkan. Bukan kata-kata yang bisa menyentuh hati banyak orang, bahkan tidak bermaksud untuk membuat kata-kata puitis yang mempu menyanjung banyak orang. Dengan kalimat sederhana, mencoba untuk menjabarkan dari hal tidak terdefinisi sekalipun menjadi kata yang patut diucapkan kepada semesta. 

Terimakasih akan nafas yang masih bisa terhirup sampai pada detik ini. Alam sungguh berbaik hati menyediakan sesuatu yang tak terbatas persediaannya untuk memberi satu detik kesempatan kedepan untuk melihat dunia lebih dekat lagi. Tidak akan pernah terbayangkan jika alam ini keras hati untuk memberi sedikit kehidupan untuk menemukan sebuah langkah baru yang dicari oleh setiap pribadi. Alam ini adalah tempat dimana banyak orang diberikan ruang untuk menuliskan cerita kehidupannya masing-masing. Mulai dari warna yang disukai maupun warna yang paling dihindari sekalipun, namun warna itu yang menjadikan canvas kehidupan menjadi sebuah lukisan indah yang tidak akan pernah tertandingi oleh hal lain sekalipun. Masih selalu membandingkannya dengan canvas milik yang lain ? Oh betapa tidak bersyukurnya hidup ini jika yang dilihat adalah sebelah kiri dan kanan yang seharunya menjadi pemacu semangat untuk menjadi lebih baik. Bukan malah menjadi titik perbandingkan untuk terus mengeluh dan merasa tidak puas bahkan kurang akan apa yang dimilikinya saat ini. Dengan adanya ketidakpuasan itu, tidak bisa diabaikan lagi sebuah rasa saling iri hati yang sejatinya hanya akan menghancurkan diri sendiri. Kenapa tidak ? Selalu menjadikan orang lain pesaing, lalu kapan sejenak ingin duduk bersama dan saling berbagi ? Yah, karena dunia ini memang penuh dengan hawa persaingan. Tidak lagi memandang siapa dia, sahabat atau musuh. Bahkan yang dekat menjadi rival yang pantas untuk dikalahkan. Oh, betapa ironisnya dunia saat ini jika cinta kasih semakin terkikis. Mungkin dalam hitungan jari lagi semua orang hanya akan saling mendendam dan saling membanggakan diri akan harta, kekuasaan dan pangkat yang mereka miliki. Lalu kapan lagi, setiap orang mampu saling menyapa dengan nada yang lembut berlandaskan kasih ? Atau mungkin itu hanya tinggal di dunia dongeng saja ? Bukankah memberilah untuk menerima ? Apakah dalil itu masih berlaku untuk saat ini ?

Terimakasih masa lalu. Banyangkan saja jika tidak ada masa lalu yang pasti tidak akan ada masa kini. Mungkin apa yang dijalani saat ini adalah bagian dari imajinasi masa lalu. Kehidupan yang lebih baik, pengharapan yang lebih nyata dan perjuangan yang lebih ketat. Banyak pribadi yang mengabaikan masa lalu, lupakan semuanya. Oke, baik. Memang benar jika mobil yang sedang berlaju tidak akan mungkin terus menerus melihat kaca spion, karena di depannya ada kaca yang lebih besar untuk dipandang. Namun, walaupun kecil bentuknya, kaca spion juga mampu menjamin keselamatan kita untuk sampai di tempat tujuan kita. Jas merah, itu yang dikatakan oleh para pejuang pendahulu kita. Mungkin itu lebih tepatnya, mereka tidak ingin terlupakan begitu saja atas apa yang mereka berikan untuk penghidupan anak cucunya di masa saat ini. Tidak akan ada pernah salahnya untuk selalu mengingat orang lain, agar apa yang dilakukan saat inipun tidak terlupakan oleh yang akan datang. Melakukan yang terbaik namun harus siap dengan kemungkinan terburuk sekalipun. Selalu berupaya untuk memberikan yang terbaik, namun kadang alam menolah untuk menghargainya karena apa yang dilakukannya hanya karena pamrih. Seperti seorang investor yang ingin menanamkan modalnya ke banyak bidang, dan takut untuk ambil rugi. Namun sekalinya mereka rugi, selalu ada alasan untuk menyalahkan atas kerugian yang menimpanya. Lalu bagaimana jika yang dilakukan itu berdasarkan cinta kasih ? Baik itu akan rugi maupun untung, semua itu karena ketulusan. Dia tidak akan mengharapkan balasan mekipun dunia akan menertawakan karena kebodohannya. Lalu buat apa takut ditertawakan namun yang ada kita mendapatkan balasan kedamaian ? Itu hanya soal pilihan.

Terimakasih bijaksana karena itu yang akan mendewasakan. Dia menuntun menuju sebuah tempat dimana bukan hanya kepuasan diri yang menjadi tujuan namun pelayanan yang tulus yang menjadi acuan. Disitu mungkin lagi tidak ada perseteruan, namun yang ada hanyalah persahabatan. Disana mungkin lagi tidak ada iri hati karena disana dimungkinkan hanya saling memberi. Bukan untuk saat ini, namun terimakasih bijaksana karena itulah yang melahirkan sebuah keharmonian. Tidak perlu menjadi yang terkenal jika menjadi bermakna itu lebih bisa menjadikan kedamian bagi sesama. 

Sabtu, 14 Desember 2013

tuan alien

Anggap saja aku tinggal di sebuah planet. Menurut orang planetku sangat menyenangkan dan membuat banyak orang penasaran. Banyak peneliti yang mencari tahu bagaimana keadaan di planetku, entah dengan cara apapun manusia selalu mencoba segala hal. Karena aku tahu bahwa manusia adalah mahkluk yang penuh tanda tanya. Manusia ingin selalu menciptakan sebuah temuan baru yang bisa membawa namanya berkibar ke berbagai negara, entah karena penemuannya atau karena dalilnya. Lupakan saja manusia yang selalu mencoba menciptakan sebuah "dunia" sendiri yang menurutku itu adalah hal konyol. Pasti kamu bertanya-tanya kenapa aku mengatakan hal itu ? Yah, asal kamu tahu, coba lihat saja manusia dengan segala kearoganannya seolah dia yang paling tahu akan apa yang akan dia temui nantinya, seolah bisa menerawang jauh akan seperti apa nantinya jika planet yang dinamakan bumi itu semakin mendekati matahari atau semakin jauh dalam lingkaran Galaksi Bima Sakti. Biarkan saja mereka berkutat dengan penelitian mereka akan perkiraan-perkiraan yang seolah bisa diputar balikkan dalam sekejap mata.

Walaupun aku mengatakan bahwa diriku tinggal disebuah planet namun aku tidak akan berusaha membanggakan seperti apa planet yang aku huni saat ini. Namun kali ini aku hanya ingin memberitahukan kepadamu sebuah rahasia.Kamu tahu ? aku seolah seperti alien. Bukan, aku tidak hanya akan menyebut diriku alien. Aku juga akan menyebut dirimu alien. Pasti di bayangan kamu saat ini, alien adalah mahkluk yang bertubuh kecil, yang seolah memiliki tangan dan kaki kecil, namun memiliki kepala yang cukup besar bahkan mungkin wajahnyapun tidak bisa didefinsikan. Kedengarannya menyeramkan, tapi aku tidak akan mengomentari keadaanku sendiri. Aku hanya ingin bercerita kepadamu tentang keadaanku dan kamu.

Kita adalah sesosok alien yang seolah tersesat dari tempat kita berada saat ini. Ada suatu masa yang
membuat aku tahu bahwa aku berada di tempat yang lain dari aku tinggal. Aku menemukan sebuah dimensi baru, dimensi akan sebuah pemikiran yang mengenalkanku pada sebuah kekuatan semesta. Mereka saling bersinkronisasi membentuk sebuah pola, dimana pola itu akan mengisahkan sebuah cerita. Cerita itu yang menjadikan aku dan kamu saling bersinggungan. Aku hanyalah sesosok alien yang tersesaat dan kamu juga sama halnya denganku. Kita saling mencari jalan utuk pulang namun apa jadinya ? Kita saling bertegur sapa untuk sedikit membagi kisah bagaimana dunia kita masing-masing. Seperti apa bentuk-bentuk di planetku begitu juga dengan kamu. Dasar kamu tuan alien, apakah di planet kamu diajarkan semuanya untuk menjadi sosok yang angkuh ? Ya, itu yang aku lihat di kamu saat ini. Jangan salahkan aku jika nyatanya aku hanya menilaimu dari apa yang aku lihat. Karena kita hanya saling bersinggungan tanpa saling terikat untuk membentuk sebuah ikatan semacam ikatan molekul kimia. Oh Tuhan, sejauh itukah aku harus mengibaratkan diriku dan dirimu. Aku bahkan tidak ahli dalam berdalil kimia atau semacamnya. Mungkin kamu lebih tahu tentang dalil-dalil kimia yang rumit itu. Yah, aku memang selalu payah tentang satu hal. Tentang mengingat, namun yang tidak pernah bisa aku lupa adalah momen dimana aku kebetulan bertemu denganmu, tuan alien. Oke, aku tahu, aku dan kamu selalu saling mengingatkan kalau di dunia ini tidak ada yang kebetulan. Tapi aku rasa, aku dan kamu yang sama-sama tersesat adalah kebetulan yang mengejutkan. Dan, ehm entahlah.

Yang aku tahu, ketika aku keluar dari planetku aku menemui sebuah tempat dimana sebenarnya tempat itulah yang lama aku tunggu. Namun, aku terlalu sadar, atmosfer yang kita hirup tidak sama. Cuaca dan musim di planetmu berbeda dengan di tempatku. Aku baru sadar bahwa senyamannya aku berada dalam planetmu, aku hanya akan bertahan sebentar, tidak ada alasan yang bisa membuatku untuk terlalu lama bertahan di tempatmu. Maka dari itu aku dan kamu memilih untuk tersesat. Tersesat di sebuah planet yang baru bagi aku dan kamu. Disitu kita bisa menciptakan atmosfer sendiri bagi kehidupan kita, untuk apa yang kamu hirup dan apa yang bisa aku hirup juga. Kita bisa saling berbagi ruang untuk bernafas, kita bisa menciptakan imajinasi akan sebuah tanah nan lapang yang akan kita gunakan untuk memanjakan diriku dan dirimu. Tapi sekuat apa aku dan kamu berusaha, ternyata tempat itu tidak mampu menampung kita terlalu lama lagi, bukan sebuah penolakan. Tapi, aku baru tahu ternyata semensta di planet ini membuat kita tahu bahwa kita melupakan sebuah kata realita. Kita berlari dan seolah besembunyi untuk membuat dunia baru bagi kita, namun sejauh apapun kita berlari kita harus kembali ke tempat asal kita masing- masing. Aku ke planetku begitu juga dengan kamu. Kita tidak akan terus menerus bersembunyi dibalik kata tersesat. Karena realita menarik kita untuk kembali ke dunia nyata yang menyatakan bahwa dirimu dan diriku hanyalah dua alien yang tanpa sengaja bertemu. Dan kini aku dengan jiwa alienku harus kembali melanjutkan hidupku di planetku dan kamu meneruskan hidupmu di planetmu. Aku disini dan kamu disana. Bukan kemauanku dan kemauanmu untuk saling menjauh namun ternyata hukum realita itu yang mebuat kita kembali ke jalan kita masing-masing. Jangan dipersalahkan akan ketersesatan kita, anggap saja itu adalah masa dimana kita tahu bahwa nantinya akan ada sebuah planet baru yang bisa kita huni walaupun kita tidak akan pernah saling terhubung. 

Jumat, 29 November 2013

bukan berkhotbah

Manusia tercipta dengan begitu istimewanya. Tuhan sudah membekali kita dengan segala kelebihan yang kita punya, tapi kenapa kita masih selalu saja mengeluh ? Yah, memang kita sebagai manusia biasa memiliki keterbatasan akan segala hal yang tidak bisa kita rengkuh. Misalnya saja waktu. Waktu tidak akan pernah bisa kita kendalikan sesuai dengan kemauan kita tanpa kita pernah punya kemampuan itu. Lihat saja, pasti banyak dari kita selalu mengatakan "lhoh udah jam segini saja, lho sudah setahun saja". Mungkin kita kadang mengabaikan banyak hal yang sesungguhnya berarti untuk kita. Karena kita terlalu disibukkan dengan rasa yang diciptakan oleh waktu itu. Yah, seperti itu tadi misalnya waktu. Waktu itu ada untuk memberikan kesempatan pada kita. Bukankah begitu ? Lihat saja, semuanya sepertinya bergulir dengan cepat. Dengan cerita yang hilir mudik berganti dengan cerita-cerita baru tanpa pernah bisa kita sadari. Rasa-rasanya baru kemarin kita duduk berdua bercerita dengan seseorang yang "hampir" memiliki mimpi yang sama dengan kita. Tapi apa ? Buktinya semuanya sudah berlalu bukan ? Seperti tetesan embun pagi yang dengan cepat menghilang ketika terik sudah tepat di atas kita. Ah memang kalau berbicara tentang waktu ehm time flies so fast. Dia datang dengan tiba-tiba dan kadang pergi tanpa aba-aba. Semua bergulir begitu saja, sampai-sampai semua momen-momen yang terlewatkan itu hanya nampak sekilas dan dengan begitu saja terekam dalam memori kita. Entah kenapa selalu suka dengan kata memori, seolah kata memori itu memiliki sebuah kekuatan untuk menyimpan sesuatu yang detailnya kadang terlupakan oleh kita. Meskipun memori itu memiliki keterbatasan, namun sadarkah kita ketika kita mengulik akan memori-memori lama seolah kita kembali berpetualang di masa silam ? Menyenangkan bukan ? Walaupun banyak juga orang yang ingin terhindar dari ingatannya di masa lampau. Mengapa ? Karena memori itu juga mampu merekam kejadian yang tidak kita inginkan sekalipun, atau mungkin seperti itulah yang dinamakan dengan trauma ? Atau mungkin bahasa itu terlalu tinggi ? Entahlah. Yang pasti setiap orang punya hak untuk memilah-milah mana yang ingin terkenang dan mana yang ingin terlupakan.

Coba letakkanlah segala bebanmu sejenak. Mari kita kembali ke masa-masa yang sudah berlalu dengan
anggapan bukan untuk mengulang trauma ataupun kesakitan di masa lampau, tapi lebih pada bersyukur bahwa kita pernah ada dimasa tersulit sekalipun dan pada kenyataannya sekarang kita ada di masa ini dan semua kesakitan itu telah berlalu. Ingat-ingat saja setiap detail kehidupan kamu, mungkin mulai kamu bisa mengingat setiap kejadian yang sudah bisa terekam dalam memorimu. Atau mungkin kita bisa mengingat kapan saat pertama kali kita bisa berjalan ? Wow, itu pasti sudah lama sekali, dan kebanyakan manusia memang tidak bisa mengingat umur-umur dimana banyak orang mengenalnya dengan "golden age". Saat kita mulai mengenal bahasa, saat kita mulai bisa berbicara dengan orang, saat kita mulai berjalan dan segala hal yang menjadi awal kita mengenal dunia. Menarik bukan ? Namun apa yang terjadi di awal kehidupan kita kadang itu tidak bisa teringat jelas dalam memori kita. Namun sadarkah kita, bahwa segala sesuatu yang menyusahkan di masa lampau buktinya kita bisa melewatinya ? Betapa bersyukurnya kita bahwa saat-saat sulit itu sudah terlewati. Lalu mengapa disaat kita sudah bisa berlari, disaat kita bisa berteriak, masih saja kita mengeluhkan bahwa kita tidak mampu ? Tenanglah tenang, apa yang menyakitkan dan memberatkan disaat ini semua itu juga akan berlalu. Waktu akan berbaik hati menjadi teman setia kita untuk menyembuhkan apa yang kita pikir tidak bisa tersembuhkan. Karena sesungguhnya masa ini akan berlalu. Kekhawatitan hari ini cukup untuk hari ini karena esok akan ada kekhawatirannya sendiri. Lalu alasan mana lagi yang kamu dustakan untuk tidak bersyukur dengan waktu yang masih diberikan untuk kita saat ini ? Nikmati saja, yah memang kedengarannya terlalu berserah. Tapi kalau kita sadar diri, seberapa daya kita untuk emngubah dunia seperti mau kita, kita memang memiliki permainan ini karena kita adalah pemain di dalamnya namun kita bukan juri atas permainan kita ini. Yah, kita harus tahu, hal yang berharga dalam hidup kita adalah satu detik yang baru saja berlalu dari hidup kita, karena sejatinya kita tidak akan pernah bisa mengulangnya lagi.

Kamis, 28 November 2013

aku-memanggilmu-ISYARAT

Aku memanggilmu isyarat. Kamu tahu mengapa ? Karena kamu bisa aku rasakan tanpa perlu bisa aku sentuh. Kamu hadir ketika aku ingin mengabaikanmu. Kamu seperti angin, hujan, air dan apapun yang seolah menghantarkan beribu pesan surga untuk aku mengerti. Kamu begitu kuat seolah menyapaku, untuk aku bisa lebih mengerti kehadiranmu. Karena aku tahu kehadiranmu ingin aku anggap ada. Isyarat yang memberiku jalan, isyarat yang membawaku pada dimensi lain yang hanya aku anggap sekilas. Tapi apa buktinya, kamu selalu hadir seolah mengusik setiap waktuku. Aku hanya bisa menikmatimu dari jauh, meskipun aku tahu kamu selalu membelakangiku. Namun aku tahu bagaimana kuatnya kamu menarikku untuk memperhatikanku. Banyak upaya aku lakukan untuk memahamimu. Aku memanggilmu isyarat. Aku mencoba mengerti kalau kamu adalah cara alam menyapaku, membuatku mengerti, membuatku paham, dan akhirnya membuatku menunggu. Menunggu dengan tanda demi tanda yang seolah sebagai kepingan puzzle yang terpisah untuk disatukan hingga menjadi utuh. Aku memaminggilmu isyarat sebagai cara Tuhan untuk membuatku mengerti bahwa hidup ini adalah sementara, bukan sekejap mata semua bisa ada dengan begitu apiknya, namun aku memahamimu sebagai isyarat yang harus bisa aku tebak. Kamu selalu nyata dalam mimpiku namun di dunia nyataku kamu nampak semu. Harus bersusah payah untuk aku menyatakan bayangmu dalam wujud aslimu. Aku memanggilmu sebagai isyarat yang selalu membuatku belajar. Belajar kalau hidup adalah sebuah sinkronitas yang harus bisa dimengerti jika hidup tidak hanya sendiri. Isyarat yang mampu aku rasakan disetiap hembusan nafas tanpa aku tahu harum tubuhmu menyeruak disetiap aku berdiri. Aku memanggilmu isyarat yang belum bisa aku artikan kebenarannya. Aku mencoba dengan segala caraku untuk semakin mengenalmu dalam realitasku. Aku ingin mengenalmu dengan nyata dan pasti didepanku. Meski kini garis semu itu masih begitu nampak, biar saja garis itu bisa selalu menghubungkanmu. Aku memanggilmu isyarat. Aku bisa menikmatimu meskipun rasa itu hadir setiap waktu. Kamu seolah ingin membimbingku pada suatu masa dimana aku mendapatimu dalam bentuk utuh.

#Drew - Hanya Isyarat

Rabu, 27 November 2013

Lelaki Berbaju Hitam

Hai kamu yang berbaju hitam, sepertinya kamu nampak muram. Mengapa begitu ? Adakah yang sedang membebani pikiranmu ? Coba berhentilah sejenak. Lupakan laramu. Atau mungkin laramu itu ingin kau bagi denganku. Lihat. Lihat aku disini. Aku disini hanya bisa memandangmu. Tidak banyak mauku. Aku hanya melihatmu tersenyum kembali. Mana senyummu yang dulu ? Yang diam-diam aku liat dan aku kagumi. Bukan hanya punggungmu saja yang bisa aku lihat dari jauh, karena semenjak saat itu aku tahu bahwa kamu tidak akan pernah tergapai. Sungguh ironis memang ingin dekat denganmu, namun jarak antara kita bahkan seperti jutaan tahun cahaya. Membentang antara kita namun yang pasti kita tidak akan pernah saling menggenggam. Lupakan saja tentang keironisan ceritaku. Aku tahu itu sedikitpun tidak akan menarik perhatianmu. Hei kamu lelaki berbaju hitam, sepertinya aku bisa ikut merasakan kesedihan yang kamu simpan dibalik mata bulatmu itu. Sinarnya nampak redup, apakah tidak bisa seperti dulu lagi ? Masih mengangakah lukamu yang dulu ? Luka yang dulu kamu coba simpan sendiri. Luka dari masa lalumu yang kini seolah nampak menjadi sebuah lelucon untuk kamu ceritakan. Mana ? Coba lanjutkan ceritamu. Aku ingin mendengarkannya lebih jelas lagi, masa lalumu yang hanya bisa membuatmu terdiam dan tidak bisa lagi menerima realitas. Tapi bukankah itu sudah lama ? Lupakan saja semuanya, letakkanlah laramu dipundakmu. Mari, mari bersama kita hadapi realita itu bersama. Namun maukah kamu membaginya bersamaku ? Aku tahu kamu akan mengurungkan niatmu itu. Mekipun tawaranku ini menarik, tapi aku tahu diri ini tidak akan menarik untukmu. Kamu terlalu kekeuh dengan apa yang ingin kamu genggam sendiri. Ingin berapa lama lagi kamu mengeraskan hatimu itu ? Yah, kamu nampak bebal. Sampai kapan kamu akan seperti itu ? Hei kamu lelaki berbaju hitam. Mengapa kamu suka sekali mengenakan baju itu ? Apakah itu punya makna tersendiri buat kamu ? Oh, itu memang bukan urusanku. Namun kamu selalu sukses menarik perhatianku dengan baju hitammu itu. Kamu nampak berbeda. Kamu nampak, ehm entahlah. Aku tidak punya kata-kata lagi untuk mengungkapkan bertapa aku kagumnya sosokmu dengan baju hitammu itu. Hei kamu yang berbaju hitam, masihkah kamu menuliskan segala kisahmu dalam lembaran-lembaran kertas ? Sudah tertulis berapa lembar halamankah ? Sungguh, aku bisa mengerti mengapa kamu begitu cintanya pada pena kesukaanmu itu. Lagi-lagi aku hanya bisa mengangguminya dari jauh, melihatmu menumpahkan segala rasa dan asamu dalam kertas-kertas usang yang mampu menyimpan segala memorimu. Ah aku tidak ingin lagi menganggumu dengan segala rengekanku. Biar saja aku tetap disini, ditempaku ini, melukiskan sebauh cerita tentang kamu lelaki berbaju hitam. Entah sampai kapan aku bertahan di tempatku ini, karena inilah tempat aku selalu bisa menikmati senyummu dari jarakku menjadi pengangummu. 

Senin, 25 November 2013

[CERPEN ] : Tempat Terakhir

Selalu saja aku terbangun dalam keadaan begini. Lalu apa yang bisa aku lakukan ? Rasa-rasanya air mataku sudah kering untuk meratapi apa yang sudah terjadi sebelum-sebelumnya. Aku raih apapun yang ada di dekatku untuk memberiku pengertian untuk pagi ini. Apapun itu. Lantas panggilan itu ? Ternyata ada beberapa panggilan bahkan puluhan panggilan yang tidak terjawab dalam layar handphoneku. Mau apa lagi dia ? Aku merutuki pagiku. Selalu saja masih merutuki apa yang sebenarnya aku sendiri tidak bisa mengerti. Mungkin ini saatnya aku menanyakan apa maksud dia. Aku menimbang-nimbang untuk telepon balik nomor yang tertera di layar handphoneku. Namun rasanya sangsi untuk mengalahkan egoku sendiri. Haruskan mulai hari ini ? Tidak. Sudah, aku memutuskan untuk beranjak pergi dari tempat tidurku. Masih banyak hal yang bisa aku lakukan dengan sisa-sisa kekuatanku. 

Tiba-tiba dari balik pintu kamarku sudah datang Bi Ijah yang seolah radarnya tahu jam berapa saja aku membutuhkan bantuannya. "Neng Oka, mau mandi ?" Tanya Bi Ijah lembut. Bi Ijah belum terlalu tua, namun sepertinya beban kehidupan yang harus ditanggungnya menjadikannya matang sebelum umurnya. Dia harus menanggung 3 anak dan menjadi tulang punggung keluarganya semenjak ditinggal pergi oleh suaminya. Dan kini anaknya harus diurus oleh orangtuanya yang berada di desa dan tiap bulannya menunggu kiriman uang dari bi Ijah yang menerima upah tidak seberapa. Namun dari Bi Ijah aku selalu didongengin akan apa itu kerajaan sabar yang membuatku selalu terpukau dengan kelapangan dadanya.

Dengan sabar Bi Ijah selalu membantuku menyiapkan segalanya sebelum aku berangkat ke kampus. Dari mulai persiapan pakaianku, barang-barang apa saja yang akan aku bawa, sarapanku dan bahkan Bi Ijah kadang lebih ingat detail apa saja yang harus aku persiapkan untuk berangkat ke kampus daripada diriku sendiri. 

"Neng Oka, Bang Ojannya sudah nungguin di mobil siap nganterin Neng Oka ke kampus." Aku segera menghabiskan segelas susu yang sudah disiapkan oleh Bi Ijah. Betapa senangnya aku jika Bi Ijah menggunakan logat sundanya saat bicara denganku. Meskipun aku bukan asli turunan Sunda tapi aku selalu kagum jika mendengar bi Ijah dan siapapun menggunakan logat Sundanya, terlihat kalem dan berbeda. Entah berbeda seperti apa namun aku selalu suka mendengarkannya. 

"Neng Oka kenapa ? Kok mukanya murung gitu ?" Tanya Bang Ojan dari balik kemudinya. Aku tersenyum, namun aku sendiri merasakan senyumku lebih terasa ganjil jika dibilang senyum. "Tidak apa-apa kok Bang. Oka cuma lagi pengen diam aja." Elakku. Aku masih menatap keluar jendela. Jalanan pagi ini tidak terlalu macet dari biasanya. Sepertinya Bang Ojang tidak menanyaiku lebih banyak lagi, dia selalu sadar diri jika nyatanya raut mukaku menampakkan bahwa aku hanya butuh sendiri dengan diriku sendiri.

Aku turun dari mobil dibantu oleh Bang Ojan. Namun untuk masuk sampai ke ruangan kelasku, aku harus berjuang dengan menyiapkan mentalku melihat tatapan-tatapan yang entah sulit untuk aku artikan dari teman-temanku. Tapi aku ragu, masih bisakah mereka disebut teman atas perlakuan mereka yang seolah mengasingkanku ke tempat yang sangat terpencil di kamus itu. Banyak kasak kusuk yang aku lihat dari sorot mata teman-temanku. Kelas pagi ini memang di mulai pukul 07.30, setidaknya aku masih punya waktu sekitar 10 menit untuk duduk manis di kelas sembari menunggu dosenku datang. Tapi waktu sesingkat itu terasa sangat panjang buatku. Tidak seperti dulu lagi, dulu aku bisa bertegur sapa dengan temanku sana sini, menanyakan bagaimana pagi mereka, bagaimana kabar mereka, namun sekarang. Seolah semuanya berubah. Aku hanya bisa duduk dan menekuri setiap inci kehidupanku yang seolah berubah.

Dulu waktu-waktuku di kampus sangat kunanti-nantikan. Berkumpul dengan teman-temanku yang lain dan seolah aku menemukan tempat kedua dimana aku harus bersembunyi dari kesepianku. Tapi sekarang, seolah semuanya berubah. Aku tidak bisa lagi lebih lama bertahan di tempat ini. Aku ingin tahun-tahunku segera berlalu. Setidaknya aku akan berjuang untuk kehidupanku selanjutnya. Aku ingin menemukan duniaku yang baru, dan yang ada hanya aku dan duniaku bukan yang lain. Aku benci akan tatapan-tatapan itu, aku benci akan tempat itu, aku benci semua yang ada dihadapanku saat ini. 

Selepas jam kelas habis, Bang Ojang dengan sigapnya sudah menungguku di parkiran. "Neng, gimana tadi kuliahnya ? Sudah lamakan Neng nggak masuk kuliah, pasti tadi abis kangen-kangenan ya sama temen-temen eneng ?" Canda Bang Ojang mencoba mengartikan lain dari kedatanganku di kampus pagi ini. Memang benar apa yang dikatakan Bang Ojang, sudah hampir 2 minggu aku tidak masuk kulaih karena kejadian yang seolah mengunjang dan membolak balikkan kehidupanku.
"Bang, aku ingin jenguk ibu. Anterin Oka ya." Tanpa menjawab pertanyaan Bang Ojang aku hanya meminta dia mengantarkanku ke tempat Ibu.

Tempat sepi. Tidak nampak seorangpun yang ada disana. Semilir angin seolah menyambutku untuk lebih dekat lagi ke tempat Ibu. Aku langkahkan kakiku. Aku lupa untuk membawakan setangkai mawar kesukaan Ibu. Tapi aku tidak akan pernah lupa membawa seribu cerita untuknya. Masih tinggal 5 langkah jarakku dengan tempat Ibu, air mataku sudah tidak bisa lagi aku tahan. Rindu itu tiba-tiba menyeruak. Aku ingin lari ke pelukan ibu. Namun apa yang bis aaku peluk hanya nisan hitam yang bertuliskan "Michelia Handayani". Baru 2 minggu kepergian ibu, namun duniaku seolah terhenti dan aku kehilangan arah. Aku bahkan tidak sanggunp lagi menopang diriku sendiri. Aku sulit untuk berkata pada diriku sendiri.

"Selamat siang Ibu. Bagaimana kabar ibu di tempat Tuhan ? Pasti disana lebih nyaman dari pada disini ya Bu ? Oka kangen Ibu." Suaraku bergetar. Aku tidak punya kata-kata panjang selain berucap kangen, kangen dan kangen. Aku ingin melepas beban ini bersama dengan ibu. Namun Ibu sudah tidak ada lagi disini. Aku ingin mengadu kepada ibu, tapi yang aku bisa hanya merengkuh nisannya yang diam. Aku merasakan kehadiran ibu. Entah dimana itu. Lagi-lagi aku hanya memanggilnya dengan lirih dan berucap "aku kangen ibu." Aku mencoba mengerti mengapa ibu memilih berdiam di tempat ini, karena mungkin dia mendapatkan ketenangannya di tempat sunyi dan sendiri ini.

Tidak ada yang pernah termakan waktu selain kasih ibu yang hadir sepanjang masa kita. Baik ada maupun tiada, seolah dia hadir dalam setiap hembusan nnafas dan aliran darah kita. Sejauh apapun aku dan ibu saling berjarak, namun satu hal yang pasti aku sayang ibu. 

Semenjak kepulanganku dari tempat ibu, panggilan itu terus saja masuk ke handphoneku. Kali ini aku beranikan diriku untuk mengangkat telepon itu. Hening. Suara di seberangpun seolah sedang menyiapkan suara untuk menyapaku. "Oka, kamu baik-baik saja nak ?" Tanya suara laki-laki diseberang sana. "Baik." Aku hanya menjawab singkat. "Kamu sehat ?" Tanya laki-laki itu lagi. "Aku hanya diam. Menurutku itu pertanyaan retoris yang tidak perlu dijawab setelah apa yang dia lakukan kepadaku dan ibuku. "Sebelum semuanya terlambat, maafkan ayah nak. Ayah hanya berharap kamu baik-baik saja disana. Jaga dirimu baik-baik. Sekali lagi maafkan ayah." Suara itu mulai terdengar bergetar. Dan tanpa menunggu hitungan menit, panggilan itupun terputus. Aku hanya diam mematung dan air mataku lagi-lagi tidak bisa kalau tidak keluar dari persembunyiannya.

Aku mulai membabi buta lagi di kamarku. Marah, kecewa, takut, sedih apapun itu seolah menyatu dan memberi aku kekuatan untuk meraung sebisaku. Bi Ijah yang mendengar aku kambuh lagi, dia segera mengetok pintu kamarku dibantu Bang Ojang. Lagi-lagi aku meronta-ronta seolah aku ingin melampiaskan semua kekesalan dan pemberontakanku akan diriku sediri dan dunia. Bi Ijah mencoba untuk menenangkanku, memelukku, dan seperti biasa Bi Ijah tidak bisa menahan air matanya juga jika sudah melihatku seperti kesetanan begini. Bang Ojang segera memanggil doketr yang sudah lama menjadi doketr keluargaku. Keluarga ? Itu dulu. Dan dengan cepat dokter yang rumahnya hanya berjarak beberapa meter dari rumahku datang dan mulai menyuntikkan obat bius padaku. Lagi-lagi keadaan menjadi tenang meski harus dipaksakan. Jika bisa mungkin aku akan lebih merindukan obat bius itu untuk membawaku kembali ke ketenangan tanpa pernah mau tahu lagi akan realita yang harus aku hadapi.

"Bi sepertinya Oka harus dibawa ke tempat yang selayaknya dia berada." Ucap Dokter Andika sesaat setelah keadaanku tenang. "Biar saja Neng Oka saya yang merawat di rumah Dok. Ayahnya masih menanggung semua biaya kehidupannya begitu juga dengan saya dan Ojang. Neng Oka hanya tidak ingin bertemu dengan ayahnya. Semenjak Ibunya meninggal karena bunuh diri. Neng Oka seolah tidak kuat menanggung realita yang harus dia hadapi. Ayahnya menikah lagi. Dan sekarang biar saya saja yang merawatnya disini bersama dengan Ojang." Tutur Bi Ijah sendu menatapku. "Yasudah, nanti coba saya bicarakan dengan Pak Birawan. Bagiamana baiknya. Kalau ada apa-apa nanti silahkan saja langsung menghubungi saya." Ucap Dokter Andika lalu pamit untuk pulang. Bi Ijah dan Bang Ojang malam ini berada di kamarku menemaniku.

Pagi harinya aku tersadar, bi Ijah sudah menyiapkan sarapan di sampingku. Kenapa harus selalu ada pagi ? Inikah realita yang masih harus terus menerus aku hadapi. Aku ingin seperti semalam, tenang, dan aku bisa bermimpi apapun sesukaku. Namun tetap saja aku tidak bisa menghilangkan kebencian itu pada ayahku yang membuat ibuku bunuh diri dan sekarang dia malah menikah lagi dengan wanita lain. Meski aku masih hidup serba berkecukupan dari apa yang diberiakan ayah padaku, tapi nyatanya aku belum bisa menerima semua ini. Aku kangen ibu, aku ingin bersamanya di tempat itu. Tempat terakhir. 

Minggu, 24 November 2013

tentang seseorang

Ini cerita tentang seseorang. Seseorang yang membawa sebuah cerita dan membangkitkan naluri untuk bercerita. Mungkin ini bukan awal yang bagus untuk menarikmu mendengarkan cerita tentang seseorang ini. Ini sebuah rangkaian kisah yang menceritakan seseorang. Seseorang yangseolah hadir dalam wujud yang berbeda dari masa ke masanya. Dia tidak pernah sama karena dia memiliki caranya masing-masing. Coba sebentar saja beri aku wkatu untuk mengingat bagaimana cerita tentang seseorang itu. Tenang. Aku tidak akan menghabiskan waktu lama jika hanya mengingat tentang seseorang. Mungkin ini bisa menjadi intermezzo untuk aku membuka cerita tentang seseorang itu untuk kamu. Sejenak saja apakah kamu mau mendengarkan cerita ini ? Aku tidak berusaha untuk muluk-muluk menceritakan tentang seseorang ini. Mungkin jika aku terlalu banyak cakap kamu akan bosan mendengarkannya. Bahkan melihat judulnya saja mungkin kamu sudah tidak tertarik. Memang. Ini bukan lagi sebuah dongeng yang menyenangkan. Dan aku tidak menganggap kamu seperti anak-anak yang selalu suka untuk dibacakan sebuah dongeng. Ini mungkin hanya dalam khayalan, tidak menarik atau bahkan klise. Tenang. Aku tidak memaksamu untuk berpikir terlalu dalam tentang cerita ini. Ini hanya tentang seseorang yang memberi makna dalam langkah demi langkah hingga membawa pada pemahaman yang baru akan dunia. Dan satu hal yang aku tahu, everthing has changed. Wow, kedengarannya menarik bukan jika aku mengatakan segalanya itu sudah berubah, berubah, dan akan berubah ? Seperti yang banyak aku dan kamu dengar, tidak ada yang abadi di dunia ini. Seperti itukah ? Kedengaran lebih klise bukan tentang kata-kata itu ? Tidak. Aku tidak akan bercerita tentang keklisean sebuah kata-kata. Ini hanya tentang seseorang. Coba sejenak saja dengarkan aku menceritakan tentang seseorang yang mungkin akan membuatmu jemu untuk melanjutkannya.

Kamu tahu, tentang seseorang ini ? Dia pernah ada. Dia bahkan nyata samapi saat ini. Hadir di hadapanku namun yang aku tahu masa sudah mengubahnya. Dia tegap berdiri walaupun egoku pernah merobohkannya. Mengujinya untuk berjuang. Tentang seseorang ini yang selalu hadir dalam waktu yang tepat. Apa yang bisa kamu lakukan jika dia tiba-tiba ada dihadapanmu dengan sekotak kado untuk kado terindah di hari ulangtahunmu ? Hahaha. Pasti kamu bertanya-tanya ada isi kado itu. Bukankah harusnya kamu penasaran bagaimana bisa dia melakukan itu ? Toh, dia bukan terpredikat sebagai sosok yang istimewa. Dia hanya hadir, berusaha, dan menunggu. Tapi nyatanya dia sepertinya tidak mendapatkan jalan, permintaan dia tidak diterima, bahkan dia lebih memilih untuk berdiri di belakangku. Dia selalu ada disaat waktu-waktu mampu memanggilnya kembali. Aku dan dia selalu menjadikan kisah yang ada sebagai sebuah lelucon yang tidak akan ada habisnya jika dibahas. Waktu mengalirkan sebuah memori akan ingatan-ingatan silam yang mencoba untuk dihilangkan, tapi apa nyatanya ? Dia akan tetap menjadi seseorang yang hanya bisa aku ceritakan kepadamu melalui kata demi kata tentang seseorang ini.

Dia. Dia pernah menghadirkan sebuah cerita baru. Cerita bahwa bumi ini berputar. Kadang banyak manusia meremehkan apa yang mereka punya, tidak pernah dianggap keberadaannya hingga pada akhirnya kita akan merasa kehilangan jika sesuatu yang kita abaikan itu pergi. Menghilang dengan meninggalkan sebuah cambukan yang terhebat dimasa itu. Tahukah kamu kenapa aku harus memakai kata-kata hiperbola ini ? Kamu harus tahu bahwa manusia harus bisa memposisikan dirinya. Dimana dia berada, dimana dia beradu, dan dimana dia akan berpaling. Dan kamu tahu bagaimana rasanya ? Yah, dan tentang seseorang ini memperkenalkanku pada satu kata yang banyak orang tidak sukai "pengkhianatan". Bukankah ini terdengar seperti di filam-film ? Lucu bukan. Yah, kedengarannya memang seperti itu. Sudah, jangan pasang muka yang ironis seperti itu. Lihat, lihat aku sekarang. Bukankah itu tidak menjadi masalah buat aku ? Jangan kasiani aku dengan tatapan matamu yang memancarkan keharuan seperti itu. Aku memilih untuk percaya pada diriku sendiri. Tentang aku yang mampu bertahan. Dan satu hal yang harus kamu tahu, hei, itu sudah berlalu. Sudah kembalikan raut mukamu menjadi raut muka yang biasa saja. Mari kita lanjutkan bercerita tentang seseorang. 

Mereka menganggap kisah ini bahkan melebihi drama melankolis. Lebih terdengar ironis dari sebelumnya bukan ? Kamu tahu, aku memiliki banyak puisi yang tersampaikan dan tersimpan. Berlembar-lembar kertas pernah aku dan dia habiskan untuk merangkai sebuah masa yang ingin kita lewati. Ini bukan tentang sebuah kisah romansa yang mengharukan. Namun ini lebih pada realita. Kamu tahu, aku ingat tatapan matanya. Dia yang mengajarkanku bahwa hanya ada satu yang tidak pernah bisa bohong yaitu mata. Mata akan mampu mengungkapkan lebih dari apa yang bibir tidak bisa mengucap. Mata memiliki caranya sendiri untuk membuat orang percaya bahwa ada keajaiban dari tatapan mata. Pasti kamu bertanya-tanya apa maksudnya ? Coba pandang saja dirimu sendiri dan lihat mata yang terpantul dari cermin. Disitu kamu akan tahu rahasia dirimu sendiri yang bahkan kamu sendiri tidak pernah sadari kalau rahasia itu pernah ada dan tersimpan disana. Yah, banyak dari kita ingin berteriak kepada dunia kalau kita bisa. Tapi apakah kamu mampu membohongi dirimu sendiri bahwa kamu selama ini meremehkan apa yang sebenarnya kamu bisa ? Aku tahu. Aku bukan guru yang pandai mengajarkan banyak hal tentang kehidupan. Lagi-lagi ini hanya tentang seseorang. Masa yang membuat aku semakin mengerti bahwa segala sesuatu harus berjalan. Tidak ada yang bisa kita pertahankan ketika kita sudah berhadapan dengan realitas. Perbedaan menjadi sebuah pergolakan. Bukankah pelangi nampak indah karena keanekaragaman warnanya ? Yah, aku tahu, walaupun itu hanya sementara. Tapi apakah pernah kamu punya satu alasan untuk mendustakan bahwa pelangi itu buruk ? Tidak. Ini hanya berjalan sebagaimana mestinya. Segala sesuatu terjadi karena sebuah alasan, Walaupun semua pertanyaan itu tidak harus ada jawaban. Karena itulah kita diminta untuk percaya. Semakin kita mencari pembuktian akan sesuatu yang sudah senyatanya terjadi, sama saja kita tidak percaya bahwa tangan Tuhan berkarya di dalamnya. Semua lorong itu pasti ada ujungnya, membukakan pada cahaya baru, meski harus melewati tempat gelap, namun jika itu satu-satunya jalan, jalan mana lagi yang ingin kamu cari jika hanya ingin menjadi pencundang ? Lari dari apa yang memang seharusnya dilalui. Sejauh apapun kita pergi, serapi apapun kita bersembunyi, dan sebanyak apapun kita mencari pembelaan, apa yang bisa kita perbuat jika realitas itu selalu mengikuti ? Tidak ada yang pernah bisa menghindar dari apa itu yang dinamakan realita. Karena itu ada realistis yang harus kita punya untuk tahu diri bahwa kita bisa dan mampu menjalani semua yang memang senyatanya harus kita lalui.

Tentang seseorang yang menyapamu tanpa pernah tahu kalau kita harus bertemu. Bertemu dipersimpangan jalan. Saling menyapa, bertegur sapa, bercerita, dan merasa. Namun apa, yang kita tahu persimpangan itu membawa kita pada sebuah (lagi-lagi) realita. Tahu banyak cabang jalan yang harus dilalui. Bertahan untuk berlawa-laman di persimpangan, tapi harus berapa lama lagi ? Tidak untuk satu minggu, bulan bahkan tahun. Tidak selama itu. Karena perbedaan itu semakin ketara. Tidak ada yang berusaha untuk saling mempertahankan. Bertemu untuk berpisah. Bukankah itu adalah hukum alamnya ? Seperti itulah. Sesaat datang dengan pengakuan, namun lantas pergi tanpa perhatian. Melepas itu menjadi pilihan. Melanjutkan mimpi itulah keputusan. Melangkah di area yang berbeda, meski tahu kalau saling memandang. Saling bertaut seperti radar yang mampu mendeteksi keberadaan sosok lain yang melalui partikel-partikel tak ketara. Membawa berita rindu meski tahu itu hanya ilusi. Kamu ingin bilang bodoh ? Memang. Aku dan dia terlihat bodoh. Dia ? Sepertinya tidak. Mungkin aku saja yang terkontaminasi oleh pemikiran akan kekuatan yang membawaku pada sebuah kepercayaan bahwa tanpa memandang orang mampu bertaut. Dalam caranya masing-masing orang mampu mengirim kabar rindu meski itu hanya melalui sebuah ilusi buatan akan pikiran. Percayalah, ini hanya sebuah cara aku dan dia sejenak bertahan. Namun nyatanya, aku tidak pernah bisa mempertahankannya sejenak saja bertahan disini lebih lama. Lalu dia pergi memilih dimensi yang baru dengan radarnya hingga bertemu dengan dunia barunya. Hei, kamu sepertinya memandangku dengan muka haru lagi. Jangan. Ini memang keputusanku dan dia, karena aku dan dia tahu bahwa di dunia ini memang tidak ada yang kebetulan. Seperti aku yang memang dengan tiba-tiba bertemu dengannya di suatu masa. Namun aku dan dia sudah memilih satu hal, bahwa ada saatnya kita harus saling memaklumi. 

Inilah tentang seseorang. Seseorang yang tidak sempurna namun menjadikan cerita menjadi hampir utuh. Menemukan perbagiannya untuk kelak menjadi rangkaian cerita yang panjang dan utuh. Tidak untuk saat ini, karena ini hanya cerita tentang seseorang. Hingga nanti tentang seseorang akan ada lagi dengan memori baru yang tidak akan termakan oleh waktu. 

Selasa, 19 November 2013

"malaikat" jalanan

Kamu dimana. Kamu siapa. Kamu untuk apa. Kamu apa ? Sebuah kata-kata ambigu. Seambigu itu jugakah jika kita merasa sendiri di jalan panjang yang tidak berpetujuk ? Hanya menyakinkan langkah untuk menemukan jalan setapak itu. Heran dengan segala kesombongan dunia yang seolah tahu arah mana yang akan mereka tuju. Jaminan apa yang memastikan mereka akan tetap seperti itu. Berjalan berlenggok dengan angkuhnya bahwa semua akan sama seperti semuala. Ini awal dan di depan sana ada akhir. Mungkinkah perjalanan  itu akan tetap sama ? Tidak ada satu orangpun yang tahu bagaimana dan seperti apa perjalanan itu nantinya. Semua memang kadang terlihat suram. Lihat saja orang-orang jalanan yang seolah kehilangan harapannya, mereka seperti kehilangan dunianya. Hanya gelap yang bisa mereka lihat. Orang selalu melenggang dengan anggunnya seolah memamerkan segala keberadaannya. Dimana sudut ruang yang bisa saling memahami itu ? Dunia ini memang adil. Walaupun adil itu tidak harus sama. Banyak orang yang bergelimpangan akan kasih dan sayang namun mereka menacuhkan begitu saja. Coba tengok sebentar saja kepalamu bagi mereka yang merasa sendiri dan tidak memiliki siapa-siapa. Meraka seperti kehilangan semua mimpi mereka. Tidak ada tanggan yang menggenggam mereka dengan hangatnya. Hanya tatapan pilu bahwa mereka rindu. Mereka rindu akan kepunyaan orang yang mereka tidak bisa punyai. Mereka hanya mencoba bertahan untuk hidup bukan menyerang seolah mereka punya daya yang lebih untuk menjadikan kenyataan seperti apa yang mereka harapkan. Apa sebuah belas kasiankah yang tersisa ? Rasanya sudah terdengar basi atau bahkan tidak lagi pantas untuk dipertanyakan ? orang lebih memilih untuk membutakan mata dari apa yang tidak ingin mereka lihat. Orang lebih memilih untuk menulikan telinga dari apa yang ingin mereka dengar.

Bayangkan saja sejenak, betapa bahagianya hidup ini jika kita mau memandangnya dengan sederhana. Sesederhana anak-anak yang selalu merindukan tatapan-tatapan hangat jika mereka masih diharapkan. Bukan untuk dibuang atau bahkan tidak dianggap. Lalu untuk apa mereka ada jika harus menanggung dosa awal dari manusia-manusia yang tidak bertanggung jawab ? Mereka ada untuk melihat dunia lebih dekat lagi. Mereka ada untuk emnyapa dunia lebih nyata lagi. Bukan terkesan kabur dan lantas memburam bersama dengan jaman-jaman yang semakin tidak bisa diharapkan ini. Tangan-tangan mungil mereka terlatih untuk terbuka merintih meminta belas kasian dari sesama. Bahkan mereka sedikitpun tidak mau menyentuh tangan yang dianggap kotor itu. Lebih kotor mana dari mereka yang selalu menutup mata akan dunia ? Lagi-lagi ego yang sukses membawa mereka dalam posisi yang tidak mau diganggu lagi. Hidup mereka sudah nyaman. Tanpa terkena serbuan serdadu-serdadu langit jika awan menghitam. Atau mungkin serbuan asap yang seolah membuktikan keegoan orang dari kekuasaannya ? Mereka tidak meminta lebih. Bahakan jiwa ada penawaran mereka juga pasti tidak akan pernah mau berada di pinggiran jalan yang berdebu, panas dan sumpek itu hanya untuk bertahan hidup. Demia menghidupi diri tanpa harapan yang pasti. Dunia buat mereka sudah menghilang. Tidak lagi hitam atau putih, namun terlihat samar. Hingga semakin lama semakin menghitam dan menghilang. Semua. Tidak pasti. Tidak ada yang bisa menjamin mereka. Hanya tatapan-tatapan kosong itu yang seolah menerawang jauh ke depan untuk menemukan setitik cahaya yang bisa membawanya pada sebuah kepastian akan jaminan kehidupan yang lebih baik. 

Minggu, 17 November 2013

TIMING

Ada waktu untuk lahir, ada waktu untuk meninggal.
Ada waktu untuk menanam, ada waktu untuk mencabut yang ditanam.
Ada waktu untuk membunuh, ada waktu untuk menyembuhkan. 
Aada waktu untuk merombak, ada waktu untuk membangun.
Ada waktu untuk menangis, ada waktu untuk tertawa.
Ada waktu untuk meratap, ada waktu untuk menari.
Ada waktu untuk membuang batu, ada wkatu untuk mengumpulkan batu.
Ada waktu untuk memeluk, ada waktu untuk menahan diri dari memeluk.
Aada waktu untuk mencari, ada waktu untuk membiarkan rugi.
Ada waktu untuk menyimpan, ada waktu untuk membuang.
Ada waktu untuk merobek, ada waktu untuk menjahit.
Ada waktu untuk berdiam diri, ada waktu untuk berbicara.
Ada waktu untuk mengasihi, ada waktu untuk membenci.
Ada waktu untuk perang, ada waktu untuk damai. 


By : Paulo Coelho (Sebelas Menit : Eleven Minutes)

Unsent Letter

Ini tentang surat yang tak tersampaikan. Entah kepada siapa penerimanya. Yang pasti ini hanya tertahan ditempat ini, di kotak ini. Mungkin bahkan hingga nanti surat ini masih akan tersimpan rapi di sudut tempat ini. Ini semua tentang sebuah rahasia. Rahasia yang tertahan dan terpendam. Mungkinkah semua orang harus tahu ? Ini tidak akan menjadi sebuah rahasia lagi jika nyatanya nanti surat yang tidak beralamatkan ini sampai di tangan orang yang pantas menerimanya. Mungkin ini adalah sebuah doa yang tersembunyi dari ungkapan lirih seorang gadis kecil yang dalam ketakutannya. Dia menahan surat ini hanya untuk dirinya sendiri. Bukan untuk dia, atau bahkan untuk yang lain. Ini hanya untuk dirinya sendiri. Tentang mimpi-mimpi yang tidak terungkap karena kejamnya dunia memperangkapnya dalam keegoisan yang hanya semakin memojokkan dirinya. Dia hanya mampu berbicara dengan dirinya sendiri tanpa tahu untuk apa semua itu. Dia tersesat ditempat asing. Dia mencari dan terus mencari hingga kata-kata itu hanya terulang dan terungkap melalui surat ini. Mungkin barisan kata ini tidak pantas disebut sebagai surat. Karena terlalu banyak keluhan yang hanya memperangkapkan jiwa menjadi pemasung diri tanpa bisa berkembang. Ketakautan-ketakutan itu menahan dia untuk tidak memperjuangkan mimpinya. 

Dunia apa yang kamu mau. Tentang pengharapanmu. Tentang kangkuhanmu yang seolah menulikan telinga dan membutakan mata banyak orang dalam kemewahannya masing-masing. Tentang sebuah kecamuk rasa yang hanya tertahan di dada. Berteriak untuk mengungkapkan semuanya tapi tidak pernah ada telinga yang mampu mendengar. Coba lihat dirimu dipantulan cermin. Rasanya bukan itu yang dia kenal. Sosok lain yang membawanya kembali ke realita bahwa tidak ada satupun yang mempedulikannya. Dia seolah berjalan sendirian menyusuri setiap tapak kehidupan. Mengencangkan sabuknya untuk bersiap dengan segala kemungkinan. Oh bayangkan akan gemerlapnya dunia luar itu seolah tertahan di pelupuk matanya. Hanya dalam imajinasi yang bisa dia nikmati hingga tertekan di bawah alam sadarnya. Hingga dia bertemu dan bertemu lagi di kesempatan tanpa sebuah pembuktian. Beri satu alasan untuk memperjuangkan semuanya . Apa ? Mana lagi alasan yang bisa membuktikan semuanya bahwa masih ada jalan. Bukan. Ini bukan tentang jalan yang menghilang. Ini hanya sebuah rasa yang terkaburkan. Hambar. Dan tidak pasti seperti apa wujudnya. 
Surat tidak tersampaikan ini bukan untuk siapa-siapa. Ini hanya untuk jiwa yang berusaha menahan dirinya sendiri untuk tetap bertahan. Bukan untuk mereka yang masih menyombongkan diri dengan segala egonya yang semakin menjadi. Tidak ada kata-kata manis seperti orang yang sudah bertahun-tahun tidak berjumpa. Tidak ada kejujuran yang menyampaikan segenap rasa yang selama ini tertahan hingga akhirnya mengalir menjadi sebait puisi yang indah. Bukan, bukan tentang itu semua. Ini semacam surat untuk pribadi yang tersesat akan jalannya sendiri. Tidak perlu surat ini tersampaikan kepada dia yang ada disana. Karena mungkin hanya akan menjadi sampah yang tidak pernah dihiraukan. Atau bahkan tidak akan pernah tersentuh karena mungkin surat ini hanya dipandang sebagai kertas yang tidak berbentuk. Untuk siapa dan apa saja tidak jelas pasti. 

Biar saja surat ini tertahan dan tersimpan di tempat ini. Mungkin waktu lebih bisa menghargainya untuk tidak pernah tahu apa isinya. Tempat ini lebih bisa menerima apa yang tertuliskan di berlembar-lembar ketas tua yang mungkin semakin lama akan semakin memburam. Semacam itu juga mungkin jika surat ini tersampaikan untuk sosok yang dialamatkan disurat ini. Bukan untuk disimpan sebagai sebuah kenangan. Tapi hanya semacam angin lalu yang tidak pernah dianggap ada. Surat ini tidak berisi tentang rengekan untuk minta dibalas. Ini hanya berisi tentang sebuah keangkuhan diri yang juga ingin ditandingkan dengan dunia. Dunia mungkin akan mengelak untuk bersaing. Karena surat ini memang tidak ada apa-apanya. Yah, memang. Tapi setidaknya pesan demi pesan itu pernah terlahir di dunia dan pernah diakui keberadaannya tanpa harus dianggap ada. Buat apa memperjuangkan sesuatu yang hanya akan diangap sampah ? Tentang surat ini. Tidak perlu banyak orang merasa haru karena surat ini tidak pernah tersampaikan. Biar saja waktu membuka rahasianya untuk mengungkap apa yang ada di surat ini. Surat ini mungkin akan menjadi bukti bahwa perjuangan dan mimpi itu pernah ada meskipun itu tidak bisa abadi. Ada tanpa harus dipertahankan. Surat ini tidak harus sampai ditangan orang yang tepat. Namun berharap surat ini kelak ditemukan oleh orang yang pantas. Memiliki mimpi yang sama seperti yang terungkap di deretan kata di surat ini. Tidak harus menjanjikan segala yang ada untuk menemukan siapa pengirimnya, namun yang menemukan surat ini semoga tahu bahwa penantian itu pernah membawanya pada titik putus asa walaupun akhirnya saat itu tiba juga pada orang yang memang pantas. 

Selasa, 12 November 2013

[CERPEN ] : Dua Tapi satu

Wulan melirik jam yang melingkar di tangan kirinya. Waktu sudah menunjukkan pukul 15.30. Rasa-rasanya sudah cukup lama Wulan duduk berhadapan dengan laptop hitam kesayangannya itu. Sudah beberapa buku berhasil dia bolak balik untuk melengkapi teori yang dia butuhkan untuk kelengkapan skripsinya. Bahkan Wulan tidak sadar kalau dia sudah menghabiskan hampir 4 jam menekuri buku demi buku dan berkali-kali berpindah pandangannya ke laptopnya itu.

"Duh duh anak satu ini. Betah banget. Udah keburu deadline ya bu ?" Goda Fira teman Wulan yang sembari tadi sudah keluar masuk perpustakaan karena terlalu bosan kalau hanya untuk berlama-lama duduk di perpustakaan. Wulan tidak mengubris sindiran Fira. Bahkan dia hanya senyum dan seolah itu bukan apa-apa untuk dia. Wulan sedang merapikan peralatan "perang"nya hari ini dan bersiap untuk pulang. Tapi tiba-tiba Fira menahan Wulan dan meminta Wulan untuk duduk kembali. 
"Lan, kemarin ada yang nyariin kamu. Terus dia salam gitu buat kamu." Ucap Fira lirih karena takut-takut kalau tiba-tiba petugas perpustakaan menegur mereka. 
Lagi-lagi Wulan tidak berekspresi. Dia hanya mengerutkan dahinya seolah menanyakan tentang salam menyalam itu. 
"Kemarin Giga nyariin kamu. Tapi kemarin kamu pas nggak di kampus. Jadinya dia cuma titip salam aja buat kamu. Akhir-akhir ini kamu susah banget ditemuin. Kenapa ? Kalian sedang ada masalah ?" Tanya Fira seolah mengintrogasi. Bahkan Wulan yang diintrogasipun tidak merasa kalau pertanyaan-pertanyaan Fira itu harus dijawab. Wulan meneruskan beberesnya. 
"Masalah atau bukan itu tergantung orang mau memilih itu dijadikan masalah atau bukan." Ungkap Wulan singkat lalu tersenyum dan meninggalkan Fira yang masih kebingungan melihat tingkah laku Wulan akhir-akhir ini.

Akhir-akhir ini Wulan lebih sering terlihat sibuk dengan skripsinya. Padahal kalau dilihat-lihat belum deadline juga kalau seandainya memang itu alasan Wulan. Fira tahu kalau Wulan sebenarnya adalah tipe orang yang santai. Tapi Fira sendiri tidak tahu mengapa Wulan jadi berubah sikapnya dan tidak cerita dengan Fira seperti biasanya. Sepulan dari kampus, Fira mencoba mencari tahu apa yang terjadi dengan Wulan. Fira stalking Wulan mulai dari Twitter, FB, Path, sampai dengan blognya. Namun sepertinya semua usahanya sia-sia. Tidak ada pertanda apapun dari semua media sosila Wulan yang menceritakan bahwa dia sedang ada masalah atau ada hal lain yang membuat Wulan jadi pendiam seperti sekarang ini. Bahkan dari semua media sosial yang Wulan punyai, Fira malah mendapati post-post Wulan beberapa minggu yang lalu. Padahal biasanya apapun yaanng terjadi dengan Wulan bisa ditelusuri dari salah satu media sosialnya. Namun kali ini usaha Fira nihil.

Ada hal-hal yang kadang tergambar secara nyata, namun ada kalanya yang nyata itu semakin dibuat absurd oleh orang yang melihatnya. Langit sore ini nampak murung seolah tahu apa yang dirasakan oleh Wulan. Dia hanya menatap kosong di ambang jendelanya. Hujan sebentar lagi akan menyapa bumi. Daun-daun akan terbasahi oleh guyuran hujan. Tanah yang kering seolah sudah merindukan datangnya hujan untuk sedikit merasakan sebuah kesegaran yang memang sudah lama dirindukan. Awan gelap nampak mengantung dan tidak perlu hitungan jam lagi, hujan deras akan turun. Wajah Wulan memanas, dan tanpa dia sadari air matanya mendahului turunnya hujan. Air mata itu akhirnya keluar juga setelah beberapa hari ini Wulan mencoba untuk tetap biasa saja. 

"Hujan. Aku selalu suka hujan. Aku ingin menari di bawah hujan. Biar tidak ada satu orangpun yang tahu bahwa aku menangis." Bisik Wulan dengan lirih.

Hari demi hari berjalan dan Fira masih tetap saja penasan dengan apa yang terjadi dengan Wulan. Dia hari ini berencana untuk menemui Giga. Fira merasa ada yang ganjil antara Wulan dan Giga. Selama ini Fira hanya tahu kalau Wulan dekat dengan Giga namun tidak tahu pasti bagaimana hubungan mereka. Mungkin setelah dipikir-pikir Fira merasa bersalah dengan pertanyaannya beberapa hari lalu pada Wulan. Apakah Wulan sedang berkonflik dengan Giga ? Padahal hubungan mereka sendiri tidak jelas kemana arahnya. Yang Fira tahu, Giga dan Wulan baru dekat beberapa bulan ini semenjak mereka pernah ada satu proyek bersama. Dan pertemuan merekapun tanpa sengaja. Lalu mereka jadi dekat dan kelanjutannya bagaimana Fira tidak tahu karena mulai sata itu Wulan lebih memilih untuk tidak cerita. 

"Ga, kamu tahu buat apa sahabat itu ada ?" Tanya Fira membuka pembicaraan dengan Giga. Giga masih sibuk dengan semangkuk bakso di depannya yang tiba-tiba berhenti seolah tahu kalau Fira akan membuka pembicaraan menjadi serius. 
"Ada karena mereka dibutuhkan. Entah dibutuhkan dalam artian tulus atau mungkin hanya dimanfaatkan untuk kepentingan ego sendiri. Ya mungkin konsep sederhananya seperti itu." Jawab Giga tenang.
"Yah, mungkin seperti itu gampangannya. Tapi apa yang kamu lakukan jika nyatanya temanmu itu tidak menganggap kamu ada ?" Tanya Fira lagi yang semakin membuat Giga penasaran kemana arah pembicaraan mereka. 

"Ya sudah. Kalau nyatanya kita berusaha berbuat baik buat teman kita tapi tidak diterima. Toh mau bagaimana lagi. Ya harus kita terima. Dan yang pasti kita tidak bisa memaksa supaya sikap baik kita dihargai." Jawab Giga lagi-lagi dengan sikapnya yang tenang.
"Dan kalau seandainya teman kamu itu terus berusaha membantu kamu walaupun lewat orang lain. Apa kamu masih tetap membiarkan dia begitu saja ?" Fira masih terus membombardir Giga dengan pertanyaan.
"Mungkin masalahnya tidak sesimpel yang kita bayangnya. Dan kita juga tidak bisa menyalahkan kalau nyatanya teman kita itu memang tidak butuh bantuan kita. Tapi kalau memang kita care, mungkin kita bisa lewat cara lain untuk tahu apa masalah yang dihadapi teman kita itu melalui orang lain." Jawab Giga lagi.
"Dan itu poinnya. Aku merasa akhir-akhir ini semenjak dekat dengan kamu Wulan jadi lebih banyak diam. Kalian baik-baik sajakan ?" Tanya Fira kini langsung ke poinnya. Giga hanya diam dan tidak menjawab apa-apa. Dia mengungkapkan kalau tidak bisa cerita soal itu. Giga hanya menyarankan kalau soal itu Fira diminta bertanya langsung saja pada Wulan. Karena Wulan yang lebih tahu semuanya.

Mungin benar apa yang dikatakan Giga. Ada kalanya kalau orang itu memilih untuk bertahan dengan masalahnya sendiri karena sebuah alasan. Dan seoal alasan itu hanya orang itu sendiri yang tahu. Karena hakikatnya kita tidak akan pernah bisa memaksakan sesuatu sesuai dengan kehendak kita. Fira tahu kalau dia memang dekat dengan Wulan. Tapi Fira juga tahu mungkin tidak semua tentang Wulan harus diceritakan kepada Fira. Dan kini Fira memilih untuk diam. Dan dia hanya berharap kalau semuanya akan baik-baik saja.

beberapa hari setelah pertemuannya dengan Giga, Fira memilih untuk diam dan tidak ikut campur dalam masalah Wulan dengan Giga. Namun suatu ketika setelah sebelumnya SMS, Wulan datang ke kos Fira dan tiba-tiba langsung menghambur ke pelukan Wulan.
Fira hanya diam dan Wulan yang ada di pelukannya langsung nangis tidak terbendung lagi. 
"Are you okay ?" Tanya Fira sesaat setelah Wulan sudah nampak agak tenang. 
"Maybe yes maybe no. Maaf ya Fir kalau akhir-akhir ini aku seolah menghindar dan tidak mau cerita sama kamu soal masalah aku. Awalnya aku berpikir kalau semuanya bisa aku selesaiin sendiri tapi ternyata aku tidak sekuat seperti apa yang aku bayangkan. Aku lemah Fir, aku capek." Tutur Wulan dan air matanya kembali berderai lagi. 
"Aku percaya kalau kamu adalah wanita yang kuat Lan. Apapun yang kamu hadapi kamu pasti bisa. Kalau kamu saja meragukan diri kamu sendiri bagaimana orang lain memandang kamu nantinya. Apapun masalah kamu. Hadapi, dan tahklukan karena aku yakin kamu bisa." Ucap Fira memberi kekuatan pada Wulan. Akhirnya Wulan menceritakan semuanya dari awal tentang hubungannya dengan Giga. Dan inti masalahnya adalah Wulan dan Giga berbeda dunia, keyakinan yang membedakan mereka.
"Aku merasa kalau aku sudah menemukan orangnya Fir. Tapi akuu sadar kalau bukan dia orangnya. Aku kacau, aku tidak tahu harus bagaimana. Disatu sisi aku ingin berjuang dengan Giga, namun disatu sisi aku tidak mau menyakiti keluarga aku yang sudah mewanti-wani aku. Kenapa di dunia ini harus ada perbedaan kalau nyatanya banyak orang saling mencinta namun sakit karena perbedaan itu ?" Cerita Wulan dengan nada agak meninggi. Fira tidak mengatakan apa-apa. Dia hanya meminta Wulan untuk akhir pekan ini mengosongkan waktu untuk Fira mengajaknya ke suatu tempat.

Weekendpun tiba. Fira mengajak Wulan datang ke sebuah pantai yang tidak jauh dengan kota tempat mereka tinggal karena kebetulan mereka tinggal di dekat pesisir. Sore itu senja yang nampak di bibir pantai terlihat sungguh menawan. Seperti sebuah lukisan yang tergambar dengan sempurna oleh Sang Maha Pembuat. Fira mengajak Wulan duduk di tepian pantai dan menghadap ke laut lepas sembari melihat senja yang masih terlukis orange dengan indahnya. 
"Kamu tahu Lan, kenapa Tuhan menciptakan perbedaan ? Itukan yang akhir-akhir ini selalu kamu keluhkan pada langit ?" Tanya Fira memecah keheningan. "Entahkah Lan, yang aku tahu perbedaan itu rasanya tidak adil buat aku." Jawab Wulan dengan nada putus asa dan tidak melepaskan bayangannya dari lautan lepas. "Karena perbedaan itulah Tuhan menciptakan cinta untuk menyatukannya. Bukan tentanga dil atau tidaknya. Namun ini memang sudah sebagaimana porsinya. Ini proses buat kamu. Entah itu kamu terima atau tidak tapi inilah perjalanan buat kamu." Tutur Fira tenang. Wulan masih tidak bergeming namun dia mencerna dengan baik ucapan Wulan. 
"Coba sekarang kamu lihat ke depan sana. Kenapa lautan dan langit nampak idah di depan sana ? Bahkan seolah mereka menyatu memperlihatkan keanggunannya ?" Tanya Fira pada Wulan. Wulan hanya menggeleng dan menatap Fira dengan rasa penasaran.
"Semata agar kita tahu, dalam perbedaan, ada batas yang membuat mereka tampak begitu indah." 

Sabtu, 09 November 2013

titik balik

Stasiun, bandara, terminal selalu saja sukses menciptakan sebuah kesan titik balik. Disitu kita melepaskan seseorang untuk pergi dan ditempat itu pula kita menyambut orang yang datang. Titik balik yang menjadikan kita tahu ada dua sisi dalam kehidupan ini yang tidak bisa saling terlepaskan. Dimana ada pertemuan pasti akan ada perpisahan. Di tempat itu kita menghantarkan orang-orang yang menjadi bagian dari cerita hidup kita pergi, entah pergi untuk sementara atau pergi dan tidak akan kembali. Karena kita tidak akan pernah tahu apa yang terjadi nanti kala mereka kembali. Apakah masih akan sama ataukan perginya akan mengubahnya menjadi sosok yang lain dan bahkan mungkin menjadi sosok asing bagi kita. Siapa yang bisa menjamin ? Tidak ada. Karena ketika kita melepaskan sesuatu kita tahu kalau itu penuh dengan resiko. Kita tidak akan pernah tahu apa yang terjadi nanti selagi waktu itu kembali lagi mempertemukan dua manusia untuk kembali menjalin sebuah cerita atau bahkan memulai sebuah babak baru dalam kehidupannya. Tempat-tempat itu kadang pula menjadi persinggahan, dimana mereka harus meneruskan perjalanan untuk mencapai perjalanan mereka. Entah berada di ujung sana atau mungkin tempat itu adalah tempat terakhir untuk mereka datang. Siapapun tidak akan pernah tahu. Ketika kata-kata yang menghantar kepergian seseorang banyak terangkai dan terucap, itu bukan sebuah janji yang harus ditempati ketika mereka kembali lagi, karena akan banyak kemungkinan yang mereka bawa ketika mereka sampai ditempat itu lagi di lain waktu. Kepergian itu pasti walaupun pertemuan itu adalah misteri. Karena kita tidak akan pernah tahu dimana dan kapan kita akan bertemu namun ketika ada petemuan itu, kita akan sadar satu hal bahwa nanti akan ada perpisahan.

Titik balik itu membuat kita tahu dan meminta kita untuk tidak lupa bahwa tidak ada yang abadi di dunia ini. Semua terkesan semu. Yang ada hanya sebuah persimpangan yang memberikan banyak pilihan pada kita, namun ada satu yang harus kita waspadai dalam hidup ini. Kita harus tahu bahwa waktu kita hanya sementara. Kesempatan kedua itu hanya ada bagi mereka yang mau memperjuangkannya. Bukan untuk mereka yang terlalu berpasrah. Ketika kita menginjakkan di titik balik itu mungkin banyak yang dari kita akan merasakan sebuah kekosongan yang tiba-tiba, apa yang baru saja ada dihadapan kita pergi untuk mencari atau mencapai apa yang mereka ingin tuju. Apa daya kita untuk melarang mereka pergi ? Tidak ada. Yang bisa kita lakukan hanyalah menahan mereka untuk pergi, namun yang pasti ini hanya masalah waktu. Semua akan pergi, dan mungkin tidak akan kembali. Karena itu adalah konsekuensinya. Apa yang kita genggam tidak selamanya mampu kita pertahankan. Ada saatnya kita harus saling memaklumi akan sebuah kenyataan yang memang tidak bisa kita hindari. 

Jumat, 08 November 2013

[ CERPEN ] : Hujan Yang Tak Lagi Sama

"Kok hujannya deres banget sih. Gimana bisa ke toko beli peralatan buat program ni." Kata Naya sambil merapatkan jaketnya dan mengamati buliran hujan yang turun dengan derasnya. Dia belum mempersiapkan alat apapun buat program KKN-nya besok. Jam ditangannya sudah menunjukkan pukul 16.00 tapi hujan belum juga menujukkan akan berhenti. "Nih, coklat panas buat kamu. Tunggu aja ujannya sampai reda. Paling bentar lagi juga reda kok." Kata Lana yang tiba-tiba berdiri di samping Naya sambil menyodorkan secangkir coklat panas. Naya hanya mampu menatap Lana heran. Heran dengan sikapnya, dan heran dengan perhatiannya yang tiba-tiba berubah 180 derajat dari biasanya. Lana terkenal sebagai orang yang keras. Yang pasti tidak ada satu orangpun yang berani mencari masalah dengan dia. Bahkan teman-temannya yang lain kadang memilih untuk diam daripada harus berurusan dengan orang egois satu ini. Tapi tiba-tiba saja segala stereotipenya selama ini luruh seketika saat Lana tanpa diduga menyodorkan secangkir coklat untuk Naya. Naya hanya menatap heran dan belum mengambil cangkir yang disodorkan oleh Lana.

"Nggak mau ni ? Yaudah aku kasih ke yang lain aja. Kalau nggak aku buang saja." Kata Lana masih dengan nada super ketusnya. Kayaknya dewi kebaikan sedang nyamperin ini orang sampai-sampai tanpa ada pertanda apa-apa, tiba-tiba cowok super egois ini membuatkan Naya coklat panas. "Nggak usah geer. Aku bikinin ini tapi sekalian aku bikin buat aku. Nggak ada maksud apa-apa jadi nggak usah mikir yang macem-macem." Celetuk Lana sepertinya tahu apa yang sedang dipikirkan oleh Naya. Naya hanya mampu mendengus kesal dan langsung mengambil cangkir yang ada di tangan Lana lantas duduk di bangku depan pondokan mereka.

"Kita disini tinggal seminggu lagi." Celetuk Lana lagi yang sekarang duduk di samping Naya. Naya masih sibuk dengan pikirannya sendiri sembari mempelajari setiap butir hujan yang turun. "Terus ?" Tanya Naya tidak kalah ketusnya. "Kok kamu sekarang lebih galak sih ?" Protes Lana. " Kok bisa ? Kayaknya aku cuma nanggepin omongan kamu barusan deh. Galak dari mananya coba. Wajar sih ya, orang galak takut kesaing kegalakannya sama orang lain. Uuupss" Kata Naya seperti kehilangan rem. Lana tidak protes dan tanpa diduga Lana mengacak-acak rambut Naya. Lagi-lagi Naya dibuat tertegun dengan sikap Lana akhir-akhir ini. Bukan hari ini saja, karena ini sudah masuk minggu-minggu akhir KKN.  Lana sepertinya sudah berubah dari predikatnya sebagai sosok yang super egois. Oke, di saat suasana hujan yang selalu sukses membuat suasan romantis, tidak salah juga kalau wajah Naya memanas karena perlakuan Lana barusan. 

"Makasih Ya Nay buat semuanya. Udah nemenin aku tiap malem begadang nggak jelas, ngomongin banyak hal. Kamu yang sering jadi sasaran empuk kalau aku marah. Selalu aja ngalah kalau aku lagi egois. Dan banyak hal lagi, sampai mungkin nggak bisa disebutin satu-satu. Maaf juga kalau aku banyak salah sama kamu. Ah times flies so fast. Mungkin nggak ya suasananya akan masih sama kayak gini lagi ?" Ucap Lana panjang kali lebar. " Kok kamu jadi melow gitu sih. Sejak kapan tuan perfeksionis dan maha egois jadi melow gitu ? Duh, kayaknya dunia sudah gonjang ganjing ni." Ucap Naya tanpa rasa bersalah sembari masih membekap cangkirnya mencari kehangatan. " Ya, whateverlah. Terserah kamu mau bilang aku apa. Emang selama hampir dua bulan ini cuma kamu yang terlalu jujur dan bahkan blak-blakan bilang aku egoislah, perfeksionislah, apalah. Berasa udah nggak punya harga diri aja aku di depan kamu." Kata Lana pasrah. Seketika Naya merasa lucu dengan kata-kata Lana barusan dan tidak bisa menahan tawanya. " Tapi benerkan itu semua ? Aku nggak buat-buat kok. Tenang aja, kartu merah kamu aman ditanganku." Tambah Naya lagi seperti seorang sindikat yang siap dengan strategi-strategi buat menghadapi musuh. Dan selanjutnya hanya hening diantara mereka.

Hujan seolah beradu membuat sebuah suara-suara merdu yang mengisi jeheningan diantara Lana dan Naya, selanjutnya hanya pikiran mereka yang terlalu sibuk dengan pikiran masing-masing. Entah alam akan menyampaikan pesan apa lagi untuk mereka berdua melalui hujan yang seolah menyerupai serdadu-serdadu utusan langit pembawa pesan.

Tempat itu, hujan itu dan semua yang ada disitu seolah-olah menjadi saksi akan sebuah kata yang tidak terungkap atau bahkan tidak akan pernah kembali terungkap. Karena kesempatan yang diberikan telah habis. Dua bulan hidup bersama, berposes bersama hingga bertahan bersama. Membuat Lana dan Naya semakin mengenal satu sama lain. Meskipun kadang Naya mampu mengenal Lana dengan baik tapi ada kalanya Naya tidak kenal sama sekali sosok Lana. Siapa yang tahu akan rahasia sebuah misteri sebelum rahasia itu terungkap dengan sendirinya. Naya terlalu sadar dan terlalu tahu bahwa kenyataannya hanyalah sebatas di tempat itu dan disaat itu. Benteng antara Lana dan Naya terlalu kuat dan tinggi, dan sepertinya tidak ada sedikitpun celah untuk mereka untuk saling menyapa. Hingga dunia dipisahkan dalam sekat-sekat atas nama perbedaan tanpa sebuah kesempatan lagi.

"Lan, maaf ya nanti kalau seandainya KKN sudah selesai aku susah ditemui. Atau mungkin aku bakalan nggak mau ketemu kamu lagi. " Kata Naya disela-sela kesibukannya packing barang-barang. "Emang ada gitu yang bakalan nyari kamu ?" Balas Lana seolah tidak mengamini perkataan Naya. "Nah, bagus deh kalau begitu. Lagipula selesai KKN berarti selesai semuanya. Dan yang pasti nanti kita bakalan sibuk sendiri-sendiri. Yeeeey, pulaaaang dan tidak ketemu Lana lagi." Ucap Naya sedikit berteriak karena gembira. Entah gembira yang diungkapkan Naya itu jujur atau tidak, bahkan tidak ada satu orangpun yang tahu begitu juga dengan Naya. "Memang aku seberapa menyeramkan sih buat kamu, sampai kamu sebegitu ingin menghindar dan tidak mau ketemu aku lagi ?" Tanya Lana dengan nada yang terdengar mengiba. Naya menghentikan aktivitasnya dan menatap Lana. " Karena everything will change Lan. Keadaannya nanti mungkin akan berubah. Setelah kita balik ke rutinitas kita, semuanya aku yakin akan berubah. Lana yang aku kenal akan jauh berbeda dengan Lana yang aku kenal sekarang. Mungkin begitu juga dengan aku. Mungkin akan lebih baik seperti itu." Suara Naya kini terdengar benar-benar mengiba dan seolah Naya menahan dirinya untuk tidak terlalu sedih akan keadaan yang dia tahu akan berubah itu. "Tapi sepertinya aku bakalan butuh kamu nanti, entah sampai kapan. Yang pasti setelah kita pulang dari sini, aku mungkin akan sering mencari kamu." Ungkap Lana jujur. "Let's see." Naya tidak banyak bicara lagi. Dia seolah tahu apa yang nanti akan terjadi untuk kedepannya, jalan mereka jelas berbeda, dan keadaan juga akan jauh berbeda dengan sekarang. " Sepertinya aku akan selalu punya alasan untuk datang kesini kalau aku kangen sama kamu." Tambah Naya lalu beranjak meninggalkan Lana sendirian yang nampaknya terperangah dengan ucapan Naya barusan.

                                                                                         ***

Dan seperti yang Naya duga sebelumnya. 3 bulan setelah KKN-nya usai. Naya kembali lagi ke tempat itu, namun kali ini dia hanya datang dengan dua temannya yang lain. Rasanya ada yang kurang. Walaupun Naya tahu pasti apa yang kurang, namun dia tidak ingin terlalu terlarut dengan segala memori yang seolah masih tergambar nyata saat Naya menyusuri tempat-tempat itu lagi. "Hallo kenangan, apa kabar ? Kita berjumpa lagi." Ungkap Naya sambil menatap rumah dimana tempat itu yang dulu menjadi pondokannya. Suara-suara itu seolah masih terdengar jelas dalam ingatan Naya. Teriakan itu, dan semua memori itu seakan berputar ulang di kepalanya seperti filim yang berulang kembali dan terlampau jelas di matanya.

Sepertinya alam juga sukses membawa Naya dalam ingatannya lagi, hujan seketika turun dengan derasnya. Namun kali ini hujan tidak lagi sama seperti 3 bulan lalu. Lana. Ya, Naya memutuskan untuk menghindari dan menjauh dari Lana. Naya tahu saat ini, mungkin detik ini Lana sudah menemui wanita yang selama ini dia cari. Naya terlampau sadar akan hal itu, seolah ingin berpesan melalui hujan, Naya hanya berharap Lana selalu bahagia. Naya masih ingat jelas percakapan terakhirnya dengan lama,. "Let me go," itu yang diminta Lana. Naya hanya mempu menghela nafas. Lana yang menahan Naya untuk pergi namun kala itu Lana pula yang meminta ijin untuk pergi. Sungguh, seperti apa yang bisa ditebak oleh Naya. Semua itu hanya sementara. Lana hadir sesaat membawa sebuah pesan dan seketika itu tanpa harus menunggu hitungan abad Lana pergi meninggalkan pesan yang meminta Naya untuk emnghapus semua ingatan tentang mereka. Lana dan Naya hanya bertemu dipersimpangan, menyapa lalu saling mengucapkan selamat tinggal. Hanya itu dan tidak akan ada lebih lagi. Namun kini Naya membuktikan ucapannya, Naya akan selalu punya alasan untuk datang ketempat itu jika merindukan Lana. Meskipun kini hujan tak lagi dirasa sama, karena ada bagian yang hilang walaupun belum sempat untuk dipertahankan. 



Inspired by "Broken Vow" - Lara Fabian

Tell me her name
I want to know
The way she looks
And where you go
I need to see her face
I need to understand
Why you and I came to an end
Tell me again
I want to hear
Who broke my faith in all these years
Who lays with you at night
When I'm here all alone
Remembering when I was your own
[Chorus:]
I'll let you go
I'll let you fly
Why do I keep asking why
I'll let you go
Now that I found
A way to keep somehow
More than a broken vow
Tell me the words I never said
Show me the tears you never shed
Give me the touch
That one you promised to be mine
Or has it vanished for all time
[Chorus]
I close my eyes
And dream of you and I
And then I realize
There's more to life than only bitterness and lies
I close my eyes
I'd give away my soul
To hold you once again
And never let this promise end
[Chorus]