Senin, 25 November 2013

[CERPEN ] : Tempat Terakhir

Selalu saja aku terbangun dalam keadaan begini. Lalu apa yang bisa aku lakukan ? Rasa-rasanya air mataku sudah kering untuk meratapi apa yang sudah terjadi sebelum-sebelumnya. Aku raih apapun yang ada di dekatku untuk memberiku pengertian untuk pagi ini. Apapun itu. Lantas panggilan itu ? Ternyata ada beberapa panggilan bahkan puluhan panggilan yang tidak terjawab dalam layar handphoneku. Mau apa lagi dia ? Aku merutuki pagiku. Selalu saja masih merutuki apa yang sebenarnya aku sendiri tidak bisa mengerti. Mungkin ini saatnya aku menanyakan apa maksud dia. Aku menimbang-nimbang untuk telepon balik nomor yang tertera di layar handphoneku. Namun rasanya sangsi untuk mengalahkan egoku sendiri. Haruskan mulai hari ini ? Tidak. Sudah, aku memutuskan untuk beranjak pergi dari tempat tidurku. Masih banyak hal yang bisa aku lakukan dengan sisa-sisa kekuatanku. 

Tiba-tiba dari balik pintu kamarku sudah datang Bi Ijah yang seolah radarnya tahu jam berapa saja aku membutuhkan bantuannya. "Neng Oka, mau mandi ?" Tanya Bi Ijah lembut. Bi Ijah belum terlalu tua, namun sepertinya beban kehidupan yang harus ditanggungnya menjadikannya matang sebelum umurnya. Dia harus menanggung 3 anak dan menjadi tulang punggung keluarganya semenjak ditinggal pergi oleh suaminya. Dan kini anaknya harus diurus oleh orangtuanya yang berada di desa dan tiap bulannya menunggu kiriman uang dari bi Ijah yang menerima upah tidak seberapa. Namun dari Bi Ijah aku selalu didongengin akan apa itu kerajaan sabar yang membuatku selalu terpukau dengan kelapangan dadanya.

Dengan sabar Bi Ijah selalu membantuku menyiapkan segalanya sebelum aku berangkat ke kampus. Dari mulai persiapan pakaianku, barang-barang apa saja yang akan aku bawa, sarapanku dan bahkan Bi Ijah kadang lebih ingat detail apa saja yang harus aku persiapkan untuk berangkat ke kampus daripada diriku sendiri. 

"Neng Oka, Bang Ojannya sudah nungguin di mobil siap nganterin Neng Oka ke kampus." Aku segera menghabiskan segelas susu yang sudah disiapkan oleh Bi Ijah. Betapa senangnya aku jika Bi Ijah menggunakan logat sundanya saat bicara denganku. Meskipun aku bukan asli turunan Sunda tapi aku selalu kagum jika mendengar bi Ijah dan siapapun menggunakan logat Sundanya, terlihat kalem dan berbeda. Entah berbeda seperti apa namun aku selalu suka mendengarkannya. 

"Neng Oka kenapa ? Kok mukanya murung gitu ?" Tanya Bang Ojan dari balik kemudinya. Aku tersenyum, namun aku sendiri merasakan senyumku lebih terasa ganjil jika dibilang senyum. "Tidak apa-apa kok Bang. Oka cuma lagi pengen diam aja." Elakku. Aku masih menatap keluar jendela. Jalanan pagi ini tidak terlalu macet dari biasanya. Sepertinya Bang Ojang tidak menanyaiku lebih banyak lagi, dia selalu sadar diri jika nyatanya raut mukaku menampakkan bahwa aku hanya butuh sendiri dengan diriku sendiri.

Aku turun dari mobil dibantu oleh Bang Ojan. Namun untuk masuk sampai ke ruangan kelasku, aku harus berjuang dengan menyiapkan mentalku melihat tatapan-tatapan yang entah sulit untuk aku artikan dari teman-temanku. Tapi aku ragu, masih bisakah mereka disebut teman atas perlakuan mereka yang seolah mengasingkanku ke tempat yang sangat terpencil di kamus itu. Banyak kasak kusuk yang aku lihat dari sorot mata teman-temanku. Kelas pagi ini memang di mulai pukul 07.30, setidaknya aku masih punya waktu sekitar 10 menit untuk duduk manis di kelas sembari menunggu dosenku datang. Tapi waktu sesingkat itu terasa sangat panjang buatku. Tidak seperti dulu lagi, dulu aku bisa bertegur sapa dengan temanku sana sini, menanyakan bagaimana pagi mereka, bagaimana kabar mereka, namun sekarang. Seolah semuanya berubah. Aku hanya bisa duduk dan menekuri setiap inci kehidupanku yang seolah berubah.

Dulu waktu-waktuku di kampus sangat kunanti-nantikan. Berkumpul dengan teman-temanku yang lain dan seolah aku menemukan tempat kedua dimana aku harus bersembunyi dari kesepianku. Tapi sekarang, seolah semuanya berubah. Aku tidak bisa lagi lebih lama bertahan di tempat ini. Aku ingin tahun-tahunku segera berlalu. Setidaknya aku akan berjuang untuk kehidupanku selanjutnya. Aku ingin menemukan duniaku yang baru, dan yang ada hanya aku dan duniaku bukan yang lain. Aku benci akan tatapan-tatapan itu, aku benci akan tempat itu, aku benci semua yang ada dihadapanku saat ini. 

Selepas jam kelas habis, Bang Ojang dengan sigapnya sudah menungguku di parkiran. "Neng, gimana tadi kuliahnya ? Sudah lamakan Neng nggak masuk kuliah, pasti tadi abis kangen-kangenan ya sama temen-temen eneng ?" Canda Bang Ojang mencoba mengartikan lain dari kedatanganku di kampus pagi ini. Memang benar apa yang dikatakan Bang Ojang, sudah hampir 2 minggu aku tidak masuk kulaih karena kejadian yang seolah mengunjang dan membolak balikkan kehidupanku.
"Bang, aku ingin jenguk ibu. Anterin Oka ya." Tanpa menjawab pertanyaan Bang Ojang aku hanya meminta dia mengantarkanku ke tempat Ibu.

Tempat sepi. Tidak nampak seorangpun yang ada disana. Semilir angin seolah menyambutku untuk lebih dekat lagi ke tempat Ibu. Aku langkahkan kakiku. Aku lupa untuk membawakan setangkai mawar kesukaan Ibu. Tapi aku tidak akan pernah lupa membawa seribu cerita untuknya. Masih tinggal 5 langkah jarakku dengan tempat Ibu, air mataku sudah tidak bisa lagi aku tahan. Rindu itu tiba-tiba menyeruak. Aku ingin lari ke pelukan ibu. Namun apa yang bis aaku peluk hanya nisan hitam yang bertuliskan "Michelia Handayani". Baru 2 minggu kepergian ibu, namun duniaku seolah terhenti dan aku kehilangan arah. Aku bahkan tidak sanggunp lagi menopang diriku sendiri. Aku sulit untuk berkata pada diriku sendiri.

"Selamat siang Ibu. Bagaimana kabar ibu di tempat Tuhan ? Pasti disana lebih nyaman dari pada disini ya Bu ? Oka kangen Ibu." Suaraku bergetar. Aku tidak punya kata-kata panjang selain berucap kangen, kangen dan kangen. Aku ingin melepas beban ini bersama dengan ibu. Namun Ibu sudah tidak ada lagi disini. Aku ingin mengadu kepada ibu, tapi yang aku bisa hanya merengkuh nisannya yang diam. Aku merasakan kehadiran ibu. Entah dimana itu. Lagi-lagi aku hanya memanggilnya dengan lirih dan berucap "aku kangen ibu." Aku mencoba mengerti mengapa ibu memilih berdiam di tempat ini, karena mungkin dia mendapatkan ketenangannya di tempat sunyi dan sendiri ini.

Tidak ada yang pernah termakan waktu selain kasih ibu yang hadir sepanjang masa kita. Baik ada maupun tiada, seolah dia hadir dalam setiap hembusan nnafas dan aliran darah kita. Sejauh apapun aku dan ibu saling berjarak, namun satu hal yang pasti aku sayang ibu. 

Semenjak kepulanganku dari tempat ibu, panggilan itu terus saja masuk ke handphoneku. Kali ini aku beranikan diriku untuk mengangkat telepon itu. Hening. Suara di seberangpun seolah sedang menyiapkan suara untuk menyapaku. "Oka, kamu baik-baik saja nak ?" Tanya suara laki-laki diseberang sana. "Baik." Aku hanya menjawab singkat. "Kamu sehat ?" Tanya laki-laki itu lagi. "Aku hanya diam. Menurutku itu pertanyaan retoris yang tidak perlu dijawab setelah apa yang dia lakukan kepadaku dan ibuku. "Sebelum semuanya terlambat, maafkan ayah nak. Ayah hanya berharap kamu baik-baik saja disana. Jaga dirimu baik-baik. Sekali lagi maafkan ayah." Suara itu mulai terdengar bergetar. Dan tanpa menunggu hitungan menit, panggilan itupun terputus. Aku hanya diam mematung dan air mataku lagi-lagi tidak bisa kalau tidak keluar dari persembunyiannya.

Aku mulai membabi buta lagi di kamarku. Marah, kecewa, takut, sedih apapun itu seolah menyatu dan memberi aku kekuatan untuk meraung sebisaku. Bi Ijah yang mendengar aku kambuh lagi, dia segera mengetok pintu kamarku dibantu Bang Ojang. Lagi-lagi aku meronta-ronta seolah aku ingin melampiaskan semua kekesalan dan pemberontakanku akan diriku sediri dan dunia. Bi Ijah mencoba untuk menenangkanku, memelukku, dan seperti biasa Bi Ijah tidak bisa menahan air matanya juga jika sudah melihatku seperti kesetanan begini. Bang Ojang segera memanggil doketr yang sudah lama menjadi doketr keluargaku. Keluarga ? Itu dulu. Dan dengan cepat dokter yang rumahnya hanya berjarak beberapa meter dari rumahku datang dan mulai menyuntikkan obat bius padaku. Lagi-lagi keadaan menjadi tenang meski harus dipaksakan. Jika bisa mungkin aku akan lebih merindukan obat bius itu untuk membawaku kembali ke ketenangan tanpa pernah mau tahu lagi akan realita yang harus aku hadapi.

"Bi sepertinya Oka harus dibawa ke tempat yang selayaknya dia berada." Ucap Dokter Andika sesaat setelah keadaanku tenang. "Biar saja Neng Oka saya yang merawat di rumah Dok. Ayahnya masih menanggung semua biaya kehidupannya begitu juga dengan saya dan Ojang. Neng Oka hanya tidak ingin bertemu dengan ayahnya. Semenjak Ibunya meninggal karena bunuh diri. Neng Oka seolah tidak kuat menanggung realita yang harus dia hadapi. Ayahnya menikah lagi. Dan sekarang biar saya saja yang merawatnya disini bersama dengan Ojang." Tutur Bi Ijah sendu menatapku. "Yasudah, nanti coba saya bicarakan dengan Pak Birawan. Bagiamana baiknya. Kalau ada apa-apa nanti silahkan saja langsung menghubungi saya." Ucap Dokter Andika lalu pamit untuk pulang. Bi Ijah dan Bang Ojang malam ini berada di kamarku menemaniku.

Pagi harinya aku tersadar, bi Ijah sudah menyiapkan sarapan di sampingku. Kenapa harus selalu ada pagi ? Inikah realita yang masih harus terus menerus aku hadapi. Aku ingin seperti semalam, tenang, dan aku bisa bermimpi apapun sesukaku. Namun tetap saja aku tidak bisa menghilangkan kebencian itu pada ayahku yang membuat ibuku bunuh diri dan sekarang dia malah menikah lagi dengan wanita lain. Meski aku masih hidup serba berkecukupan dari apa yang diberiakan ayah padaku, tapi nyatanya aku belum bisa menerima semua ini. Aku kangen ibu, aku ingin bersamanya di tempat itu. Tempat terakhir. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Thankyou for reading :)