Selasa, 05 November 2013

[ CERPEN ] : Rein

"Sepertinya aku harus melakukan perjalanan jauh," Ucap Rein dalam diamnya. 
Rein memang merindukan perjalanan itu, entah kemana yang pasti dia ingin pergi. Rasa-rasanya banyak yang harus dia luruhkan nanti disepanjang perjalanannya selama pergi. "Ternyata aku tak cukup kuat seperti apa yang aku bayangkan." Ungkap Rein pada dirinya lagi. 

Sepertinya alam sedang berkonspirasi untuk menahan Rein pergi. "Dasar pemikir. Sudah berapa milyaran detik yang kamu habiskan untuk bertekun dalam pemikiranmu itu." Sapa Wina tiba-tiba membuyarkan segala rubik yang terpampang dalam pikiran Rein. Rein melenguh malas menatap Wina yang kini duduk disampingnya. "Bukankah kita ada karena kita berpikir ?" Tanya Rein. Wina hanya memandang lepas ke hamparan danau di depan mata mereka. "Ya memang begitu adanya, tapi manusia lupa berpikir kenapa kita berpikir." Perkataan Wina semakin membuat Rein tak mengerti. " Terlalu berat dan filosofis. Aku bukan anak Filsafat yang terbiasa memecahkan sesuatu misteri yang sebenarnya retoris untuk dipertanyakan." Jawab Rein sambil melepas senyum hambarnya. Wina hanya tersenyum pahit mendengar tawa hambar Rein.

"Win, aku ingin pergi." Suara Rein memecah hening diantara dirinya dan Wina. "Pergi untuk apa ? Bukankah kamu setiap hari sudah pergi ?" Jawab Wina tenang. 
"Maksud kamu ?" 
"Yah, setiap kamu trebangun dari mimpimu dan kamu mendapati diri menyambut lagi, bukankah itu berarti kamu sudah pergi dari alam mimpimu ?" Lagi-lagi perkataan Wina terlampau mendewa. 
"Aku capek Win. Aku sudah capek dengan segala hiruk pikuk masalahku yang seolah trelampau sayangnya sama aku hingga mereka enggaan pergi dari aku. Aku ingin bebas." Luap Rein.
"Rein, kamu tahu. INi tentang pendaki gunung. Apa yang membedakan pendaki yang sudah pro dengan mereka pendaki yang masih amatiran ?" Wina mulai mengeluarkan perumpamaannya. Rein hanya menggeleng.

"Sebenarnya tidak ada yang berbeda diantara mereka. Yang membedakan mereka hanya masalah mudah menyerah atau tidak. Mereka yang pro kalau mereka mudah menyerah, mereka sama saja tidak akan mencapai puncak. Tapi bagi mereka yang masih amatiran dan pemula mereka akan mencapai puncak jika mereka tidak mudah meyerah. Bukankah sama dengan apa yang harus kita jalani saat ini. Ini hanya sebuah perjalanan. Dimana setiap perjalanan akan menemui ujungnya. Semua yang pergi akan berpulang. Untuk apa kamu pergi jika nyatanya kamu akan berpulang. Bukakankah kamu tidak ada bedanya dengan pecundang jika harus melarikan diri dari kenyataan ? Ini nyatanya. Sejauh apapun kamu pergi, sehebat apapun kamu menyangkal, dan sekuat apapun kamu melawan. Tapi inilah kenyataannya." Terang Wina dengan tenang.

"Bukankah setiap orang juga punya hak untuk meluapkan emosinya ? Meluruhkan segala kecamuk dalam dirinya dengan berbagai cara ?" Tanya Rein dengan emosi yang tidak lagi bsa tertahan. Bertolak belakang dengan Wina. Dimana Wina semua terlihat tenang dan terang, tidak ada sebuah ketakutan. "Iya setiap orang punya hak itu. Dan setiap orang boleh melakukan hal itu. Tapi bagaimana kamu akan bisa berjalan jauh, jika nyatanya kamu belum mampu bersahabat dengan dirimu sendiri ? Lalu dengan siapa nantinya kamu akan melakukan perjalanan ? Perjalanan itu bukan tentang tujuannya, tapi tentang perjalanan itu sendiri. Banyak orang melakukan ritual ziarah, untuk mati raga dan untuk semakin dekat dengan dirinya sendiri. Tapi jika nyatanya kamu ingin pergi jauh namun kamu selalu melawan dirimu sendiri. Akan kemana nanti langkahmu ?" Kali ini suara Wina semakin mengalahkan tenangnya aliran angin sore ini. Rein hanya mmapu terisak dan sambil memukul-mukul dirinya sendiri. Wina langsung memeluk tubuh sahabatnya itu yang kini tampak kurus dengan cekungan hitam dimatanya. 

Alam adalah sebuah mediator. Dia selalu menyalurkan segala kekuatannya untuk menjadikan manusia lebih bisa dewasa. Seperti sore ini. Di bangku pinggir danau ini. Wina hanya bisa merasakan kegetiran rasa yang dirasakan sahabat baiknya itu. Rein terlalu lelah dengan segala perjalanan panjangnya yang berliku dan penuh tikungan tanjam. Hingga dia tidak mampu mengendalikan keseimbangannya hingga ia oleng dan tidak mampu kembali ke keadaan stabilnya lagi.

Kini awan hitam berarak saling mendekta, memekatkan pandangan sekitar. Dengan tubuh yang masih lemas dan dibalut oleh baju serba putih, Rein dibantu Wina kembali ke ruangan itu lagi. Rein lagi-lagi menatap pilu gedung yang ada di depannya. Gedung serba putih yang catnya sudah mulai memudar. Tempat ini. Rein sadar keadaannya, sadar inginnya namun Rein belum mempu mengendalikan maunya. Wina menatap pilu sahabatnya. Rein harus kembali beradu dalam ruangan sempit yang memenjarakannya untuk kembali mengenali dirinya. Di shelter rehabilitasi kejiwaan ini, Rein berusaha mencapai keseimbangannya lagi ketika kemudi yang dikendalikannya masih saja oleng. Wina hanya mampu memandangi badan Rein yang meringkuk di tempat tidurnya. Pandangan kosong itu, harapan yang hilang itu nampak jelas di raut muka Rein. Semenjak kedua orangtuanya meninggal, dan segala macam persoalan hidup merubuhkannya. Dia tidak mampu bertahan dengan kemudianya. Hingga Reinpun kalah.

Wina berjalan perlahan meninggalkan Rein, sahabatnya, seorang diri. Apa yang bisa dia perbuat. Setiap orang memiliki kapasitasnya masing-masing untuk mengemudikan hidupnya. Mungkin ini yang harus dijalani Rein. Wina berjalan menjauh dari ruangan sempit tempat Rein bergulat dengan dirinya sendiri. Dan ketika semakin menjauh, kesesakakn itu akirnya runtuh juga melawan pertahanan Wina. Dan air mata itupun jatuh mengriringi langkah Wina meninggalkan lorong gelap kamar Rein. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Thankyou for reading :)