Jumat, 29 November 2013

bukan berkhotbah

Manusia tercipta dengan begitu istimewanya. Tuhan sudah membekali kita dengan segala kelebihan yang kita punya, tapi kenapa kita masih selalu saja mengeluh ? Yah, memang kita sebagai manusia biasa memiliki keterbatasan akan segala hal yang tidak bisa kita rengkuh. Misalnya saja waktu. Waktu tidak akan pernah bisa kita kendalikan sesuai dengan kemauan kita tanpa kita pernah punya kemampuan itu. Lihat saja, pasti banyak dari kita selalu mengatakan "lhoh udah jam segini saja, lho sudah setahun saja". Mungkin kita kadang mengabaikan banyak hal yang sesungguhnya berarti untuk kita. Karena kita terlalu disibukkan dengan rasa yang diciptakan oleh waktu itu. Yah, seperti itu tadi misalnya waktu. Waktu itu ada untuk memberikan kesempatan pada kita. Bukankah begitu ? Lihat saja, semuanya sepertinya bergulir dengan cepat. Dengan cerita yang hilir mudik berganti dengan cerita-cerita baru tanpa pernah bisa kita sadari. Rasa-rasanya baru kemarin kita duduk berdua bercerita dengan seseorang yang "hampir" memiliki mimpi yang sama dengan kita. Tapi apa ? Buktinya semuanya sudah berlalu bukan ? Seperti tetesan embun pagi yang dengan cepat menghilang ketika terik sudah tepat di atas kita. Ah memang kalau berbicara tentang waktu ehm time flies so fast. Dia datang dengan tiba-tiba dan kadang pergi tanpa aba-aba. Semua bergulir begitu saja, sampai-sampai semua momen-momen yang terlewatkan itu hanya nampak sekilas dan dengan begitu saja terekam dalam memori kita. Entah kenapa selalu suka dengan kata memori, seolah kata memori itu memiliki sebuah kekuatan untuk menyimpan sesuatu yang detailnya kadang terlupakan oleh kita. Meskipun memori itu memiliki keterbatasan, namun sadarkah kita ketika kita mengulik akan memori-memori lama seolah kita kembali berpetualang di masa silam ? Menyenangkan bukan ? Walaupun banyak juga orang yang ingin terhindar dari ingatannya di masa lampau. Mengapa ? Karena memori itu juga mampu merekam kejadian yang tidak kita inginkan sekalipun, atau mungkin seperti itulah yang dinamakan dengan trauma ? Atau mungkin bahasa itu terlalu tinggi ? Entahlah. Yang pasti setiap orang punya hak untuk memilah-milah mana yang ingin terkenang dan mana yang ingin terlupakan.

Coba letakkanlah segala bebanmu sejenak. Mari kita kembali ke masa-masa yang sudah berlalu dengan
anggapan bukan untuk mengulang trauma ataupun kesakitan di masa lampau, tapi lebih pada bersyukur bahwa kita pernah ada dimasa tersulit sekalipun dan pada kenyataannya sekarang kita ada di masa ini dan semua kesakitan itu telah berlalu. Ingat-ingat saja setiap detail kehidupan kamu, mungkin mulai kamu bisa mengingat setiap kejadian yang sudah bisa terekam dalam memorimu. Atau mungkin kita bisa mengingat kapan saat pertama kali kita bisa berjalan ? Wow, itu pasti sudah lama sekali, dan kebanyakan manusia memang tidak bisa mengingat umur-umur dimana banyak orang mengenalnya dengan "golden age". Saat kita mulai mengenal bahasa, saat kita mulai bisa berbicara dengan orang, saat kita mulai berjalan dan segala hal yang menjadi awal kita mengenal dunia. Menarik bukan ? Namun apa yang terjadi di awal kehidupan kita kadang itu tidak bisa teringat jelas dalam memori kita. Namun sadarkah kita, bahwa segala sesuatu yang menyusahkan di masa lampau buktinya kita bisa melewatinya ? Betapa bersyukurnya kita bahwa saat-saat sulit itu sudah terlewati. Lalu mengapa disaat kita sudah bisa berlari, disaat kita bisa berteriak, masih saja kita mengeluhkan bahwa kita tidak mampu ? Tenanglah tenang, apa yang menyakitkan dan memberatkan disaat ini semua itu juga akan berlalu. Waktu akan berbaik hati menjadi teman setia kita untuk menyembuhkan apa yang kita pikir tidak bisa tersembuhkan. Karena sesungguhnya masa ini akan berlalu. Kekhawatitan hari ini cukup untuk hari ini karena esok akan ada kekhawatirannya sendiri. Lalu alasan mana lagi yang kamu dustakan untuk tidak bersyukur dengan waktu yang masih diberikan untuk kita saat ini ? Nikmati saja, yah memang kedengarannya terlalu berserah. Tapi kalau kita sadar diri, seberapa daya kita untuk emngubah dunia seperti mau kita, kita memang memiliki permainan ini karena kita adalah pemain di dalamnya namun kita bukan juri atas permainan kita ini. Yah, kita harus tahu, hal yang berharga dalam hidup kita adalah satu detik yang baru saja berlalu dari hidup kita, karena sejatinya kita tidak akan pernah bisa mengulangnya lagi.

Kamis, 28 November 2013

aku-memanggilmu-ISYARAT

Aku memanggilmu isyarat. Kamu tahu mengapa ? Karena kamu bisa aku rasakan tanpa perlu bisa aku sentuh. Kamu hadir ketika aku ingin mengabaikanmu. Kamu seperti angin, hujan, air dan apapun yang seolah menghantarkan beribu pesan surga untuk aku mengerti. Kamu begitu kuat seolah menyapaku, untuk aku bisa lebih mengerti kehadiranmu. Karena aku tahu kehadiranmu ingin aku anggap ada. Isyarat yang memberiku jalan, isyarat yang membawaku pada dimensi lain yang hanya aku anggap sekilas. Tapi apa buktinya, kamu selalu hadir seolah mengusik setiap waktuku. Aku hanya bisa menikmatimu dari jauh, meskipun aku tahu kamu selalu membelakangiku. Namun aku tahu bagaimana kuatnya kamu menarikku untuk memperhatikanku. Banyak upaya aku lakukan untuk memahamimu. Aku memanggilmu isyarat. Aku mencoba mengerti kalau kamu adalah cara alam menyapaku, membuatku mengerti, membuatku paham, dan akhirnya membuatku menunggu. Menunggu dengan tanda demi tanda yang seolah sebagai kepingan puzzle yang terpisah untuk disatukan hingga menjadi utuh. Aku memaminggilmu isyarat sebagai cara Tuhan untuk membuatku mengerti bahwa hidup ini adalah sementara, bukan sekejap mata semua bisa ada dengan begitu apiknya, namun aku memahamimu sebagai isyarat yang harus bisa aku tebak. Kamu selalu nyata dalam mimpiku namun di dunia nyataku kamu nampak semu. Harus bersusah payah untuk aku menyatakan bayangmu dalam wujud aslimu. Aku memanggilmu sebagai isyarat yang selalu membuatku belajar. Belajar kalau hidup adalah sebuah sinkronitas yang harus bisa dimengerti jika hidup tidak hanya sendiri. Isyarat yang mampu aku rasakan disetiap hembusan nafas tanpa aku tahu harum tubuhmu menyeruak disetiap aku berdiri. Aku memanggilmu isyarat yang belum bisa aku artikan kebenarannya. Aku mencoba dengan segala caraku untuk semakin mengenalmu dalam realitasku. Aku ingin mengenalmu dengan nyata dan pasti didepanku. Meski kini garis semu itu masih begitu nampak, biar saja garis itu bisa selalu menghubungkanmu. Aku memanggilmu isyarat. Aku bisa menikmatimu meskipun rasa itu hadir setiap waktu. Kamu seolah ingin membimbingku pada suatu masa dimana aku mendapatimu dalam bentuk utuh.

#Drew - Hanya Isyarat

Rabu, 27 November 2013

Lelaki Berbaju Hitam

Hai kamu yang berbaju hitam, sepertinya kamu nampak muram. Mengapa begitu ? Adakah yang sedang membebani pikiranmu ? Coba berhentilah sejenak. Lupakan laramu. Atau mungkin laramu itu ingin kau bagi denganku. Lihat. Lihat aku disini. Aku disini hanya bisa memandangmu. Tidak banyak mauku. Aku hanya melihatmu tersenyum kembali. Mana senyummu yang dulu ? Yang diam-diam aku liat dan aku kagumi. Bukan hanya punggungmu saja yang bisa aku lihat dari jauh, karena semenjak saat itu aku tahu bahwa kamu tidak akan pernah tergapai. Sungguh ironis memang ingin dekat denganmu, namun jarak antara kita bahkan seperti jutaan tahun cahaya. Membentang antara kita namun yang pasti kita tidak akan pernah saling menggenggam. Lupakan saja tentang keironisan ceritaku. Aku tahu itu sedikitpun tidak akan menarik perhatianmu. Hei kamu lelaki berbaju hitam, sepertinya aku bisa ikut merasakan kesedihan yang kamu simpan dibalik mata bulatmu itu. Sinarnya nampak redup, apakah tidak bisa seperti dulu lagi ? Masih mengangakah lukamu yang dulu ? Luka yang dulu kamu coba simpan sendiri. Luka dari masa lalumu yang kini seolah nampak menjadi sebuah lelucon untuk kamu ceritakan. Mana ? Coba lanjutkan ceritamu. Aku ingin mendengarkannya lebih jelas lagi, masa lalumu yang hanya bisa membuatmu terdiam dan tidak bisa lagi menerima realitas. Tapi bukankah itu sudah lama ? Lupakan saja semuanya, letakkanlah laramu dipundakmu. Mari, mari bersama kita hadapi realita itu bersama. Namun maukah kamu membaginya bersamaku ? Aku tahu kamu akan mengurungkan niatmu itu. Mekipun tawaranku ini menarik, tapi aku tahu diri ini tidak akan menarik untukmu. Kamu terlalu kekeuh dengan apa yang ingin kamu genggam sendiri. Ingin berapa lama lagi kamu mengeraskan hatimu itu ? Yah, kamu nampak bebal. Sampai kapan kamu akan seperti itu ? Hei kamu lelaki berbaju hitam. Mengapa kamu suka sekali mengenakan baju itu ? Apakah itu punya makna tersendiri buat kamu ? Oh, itu memang bukan urusanku. Namun kamu selalu sukses menarik perhatianku dengan baju hitammu itu. Kamu nampak berbeda. Kamu nampak, ehm entahlah. Aku tidak punya kata-kata lagi untuk mengungkapkan bertapa aku kagumnya sosokmu dengan baju hitammu itu. Hei kamu yang berbaju hitam, masihkah kamu menuliskan segala kisahmu dalam lembaran-lembaran kertas ? Sudah tertulis berapa lembar halamankah ? Sungguh, aku bisa mengerti mengapa kamu begitu cintanya pada pena kesukaanmu itu. Lagi-lagi aku hanya bisa mengangguminya dari jauh, melihatmu menumpahkan segala rasa dan asamu dalam kertas-kertas usang yang mampu menyimpan segala memorimu. Ah aku tidak ingin lagi menganggumu dengan segala rengekanku. Biar saja aku tetap disini, ditempaku ini, melukiskan sebauh cerita tentang kamu lelaki berbaju hitam. Entah sampai kapan aku bertahan di tempatku ini, karena inilah tempat aku selalu bisa menikmati senyummu dari jarakku menjadi pengangummu. 

Senin, 25 November 2013

[CERPEN ] : Tempat Terakhir

Selalu saja aku terbangun dalam keadaan begini. Lalu apa yang bisa aku lakukan ? Rasa-rasanya air mataku sudah kering untuk meratapi apa yang sudah terjadi sebelum-sebelumnya. Aku raih apapun yang ada di dekatku untuk memberiku pengertian untuk pagi ini. Apapun itu. Lantas panggilan itu ? Ternyata ada beberapa panggilan bahkan puluhan panggilan yang tidak terjawab dalam layar handphoneku. Mau apa lagi dia ? Aku merutuki pagiku. Selalu saja masih merutuki apa yang sebenarnya aku sendiri tidak bisa mengerti. Mungkin ini saatnya aku menanyakan apa maksud dia. Aku menimbang-nimbang untuk telepon balik nomor yang tertera di layar handphoneku. Namun rasanya sangsi untuk mengalahkan egoku sendiri. Haruskan mulai hari ini ? Tidak. Sudah, aku memutuskan untuk beranjak pergi dari tempat tidurku. Masih banyak hal yang bisa aku lakukan dengan sisa-sisa kekuatanku. 

Tiba-tiba dari balik pintu kamarku sudah datang Bi Ijah yang seolah radarnya tahu jam berapa saja aku membutuhkan bantuannya. "Neng Oka, mau mandi ?" Tanya Bi Ijah lembut. Bi Ijah belum terlalu tua, namun sepertinya beban kehidupan yang harus ditanggungnya menjadikannya matang sebelum umurnya. Dia harus menanggung 3 anak dan menjadi tulang punggung keluarganya semenjak ditinggal pergi oleh suaminya. Dan kini anaknya harus diurus oleh orangtuanya yang berada di desa dan tiap bulannya menunggu kiriman uang dari bi Ijah yang menerima upah tidak seberapa. Namun dari Bi Ijah aku selalu didongengin akan apa itu kerajaan sabar yang membuatku selalu terpukau dengan kelapangan dadanya.

Dengan sabar Bi Ijah selalu membantuku menyiapkan segalanya sebelum aku berangkat ke kampus. Dari mulai persiapan pakaianku, barang-barang apa saja yang akan aku bawa, sarapanku dan bahkan Bi Ijah kadang lebih ingat detail apa saja yang harus aku persiapkan untuk berangkat ke kampus daripada diriku sendiri. 

"Neng Oka, Bang Ojannya sudah nungguin di mobil siap nganterin Neng Oka ke kampus." Aku segera menghabiskan segelas susu yang sudah disiapkan oleh Bi Ijah. Betapa senangnya aku jika Bi Ijah menggunakan logat sundanya saat bicara denganku. Meskipun aku bukan asli turunan Sunda tapi aku selalu kagum jika mendengar bi Ijah dan siapapun menggunakan logat Sundanya, terlihat kalem dan berbeda. Entah berbeda seperti apa namun aku selalu suka mendengarkannya. 

"Neng Oka kenapa ? Kok mukanya murung gitu ?" Tanya Bang Ojan dari balik kemudinya. Aku tersenyum, namun aku sendiri merasakan senyumku lebih terasa ganjil jika dibilang senyum. "Tidak apa-apa kok Bang. Oka cuma lagi pengen diam aja." Elakku. Aku masih menatap keluar jendela. Jalanan pagi ini tidak terlalu macet dari biasanya. Sepertinya Bang Ojang tidak menanyaiku lebih banyak lagi, dia selalu sadar diri jika nyatanya raut mukaku menampakkan bahwa aku hanya butuh sendiri dengan diriku sendiri.

Aku turun dari mobil dibantu oleh Bang Ojan. Namun untuk masuk sampai ke ruangan kelasku, aku harus berjuang dengan menyiapkan mentalku melihat tatapan-tatapan yang entah sulit untuk aku artikan dari teman-temanku. Tapi aku ragu, masih bisakah mereka disebut teman atas perlakuan mereka yang seolah mengasingkanku ke tempat yang sangat terpencil di kamus itu. Banyak kasak kusuk yang aku lihat dari sorot mata teman-temanku. Kelas pagi ini memang di mulai pukul 07.30, setidaknya aku masih punya waktu sekitar 10 menit untuk duduk manis di kelas sembari menunggu dosenku datang. Tapi waktu sesingkat itu terasa sangat panjang buatku. Tidak seperti dulu lagi, dulu aku bisa bertegur sapa dengan temanku sana sini, menanyakan bagaimana pagi mereka, bagaimana kabar mereka, namun sekarang. Seolah semuanya berubah. Aku hanya bisa duduk dan menekuri setiap inci kehidupanku yang seolah berubah.

Dulu waktu-waktuku di kampus sangat kunanti-nantikan. Berkumpul dengan teman-temanku yang lain dan seolah aku menemukan tempat kedua dimana aku harus bersembunyi dari kesepianku. Tapi sekarang, seolah semuanya berubah. Aku tidak bisa lagi lebih lama bertahan di tempat ini. Aku ingin tahun-tahunku segera berlalu. Setidaknya aku akan berjuang untuk kehidupanku selanjutnya. Aku ingin menemukan duniaku yang baru, dan yang ada hanya aku dan duniaku bukan yang lain. Aku benci akan tatapan-tatapan itu, aku benci akan tempat itu, aku benci semua yang ada dihadapanku saat ini. 

Selepas jam kelas habis, Bang Ojang dengan sigapnya sudah menungguku di parkiran. "Neng, gimana tadi kuliahnya ? Sudah lamakan Neng nggak masuk kuliah, pasti tadi abis kangen-kangenan ya sama temen-temen eneng ?" Canda Bang Ojang mencoba mengartikan lain dari kedatanganku di kampus pagi ini. Memang benar apa yang dikatakan Bang Ojang, sudah hampir 2 minggu aku tidak masuk kulaih karena kejadian yang seolah mengunjang dan membolak balikkan kehidupanku.
"Bang, aku ingin jenguk ibu. Anterin Oka ya." Tanpa menjawab pertanyaan Bang Ojang aku hanya meminta dia mengantarkanku ke tempat Ibu.

Tempat sepi. Tidak nampak seorangpun yang ada disana. Semilir angin seolah menyambutku untuk lebih dekat lagi ke tempat Ibu. Aku langkahkan kakiku. Aku lupa untuk membawakan setangkai mawar kesukaan Ibu. Tapi aku tidak akan pernah lupa membawa seribu cerita untuknya. Masih tinggal 5 langkah jarakku dengan tempat Ibu, air mataku sudah tidak bisa lagi aku tahan. Rindu itu tiba-tiba menyeruak. Aku ingin lari ke pelukan ibu. Namun apa yang bis aaku peluk hanya nisan hitam yang bertuliskan "Michelia Handayani". Baru 2 minggu kepergian ibu, namun duniaku seolah terhenti dan aku kehilangan arah. Aku bahkan tidak sanggunp lagi menopang diriku sendiri. Aku sulit untuk berkata pada diriku sendiri.

"Selamat siang Ibu. Bagaimana kabar ibu di tempat Tuhan ? Pasti disana lebih nyaman dari pada disini ya Bu ? Oka kangen Ibu." Suaraku bergetar. Aku tidak punya kata-kata panjang selain berucap kangen, kangen dan kangen. Aku ingin melepas beban ini bersama dengan ibu. Namun Ibu sudah tidak ada lagi disini. Aku ingin mengadu kepada ibu, tapi yang aku bisa hanya merengkuh nisannya yang diam. Aku merasakan kehadiran ibu. Entah dimana itu. Lagi-lagi aku hanya memanggilnya dengan lirih dan berucap "aku kangen ibu." Aku mencoba mengerti mengapa ibu memilih berdiam di tempat ini, karena mungkin dia mendapatkan ketenangannya di tempat sunyi dan sendiri ini.

Tidak ada yang pernah termakan waktu selain kasih ibu yang hadir sepanjang masa kita. Baik ada maupun tiada, seolah dia hadir dalam setiap hembusan nnafas dan aliran darah kita. Sejauh apapun aku dan ibu saling berjarak, namun satu hal yang pasti aku sayang ibu. 

Semenjak kepulanganku dari tempat ibu, panggilan itu terus saja masuk ke handphoneku. Kali ini aku beranikan diriku untuk mengangkat telepon itu. Hening. Suara di seberangpun seolah sedang menyiapkan suara untuk menyapaku. "Oka, kamu baik-baik saja nak ?" Tanya suara laki-laki diseberang sana. "Baik." Aku hanya menjawab singkat. "Kamu sehat ?" Tanya laki-laki itu lagi. "Aku hanya diam. Menurutku itu pertanyaan retoris yang tidak perlu dijawab setelah apa yang dia lakukan kepadaku dan ibuku. "Sebelum semuanya terlambat, maafkan ayah nak. Ayah hanya berharap kamu baik-baik saja disana. Jaga dirimu baik-baik. Sekali lagi maafkan ayah." Suara itu mulai terdengar bergetar. Dan tanpa menunggu hitungan menit, panggilan itupun terputus. Aku hanya diam mematung dan air mataku lagi-lagi tidak bisa kalau tidak keluar dari persembunyiannya.

Aku mulai membabi buta lagi di kamarku. Marah, kecewa, takut, sedih apapun itu seolah menyatu dan memberi aku kekuatan untuk meraung sebisaku. Bi Ijah yang mendengar aku kambuh lagi, dia segera mengetok pintu kamarku dibantu Bang Ojang. Lagi-lagi aku meronta-ronta seolah aku ingin melampiaskan semua kekesalan dan pemberontakanku akan diriku sediri dan dunia. Bi Ijah mencoba untuk menenangkanku, memelukku, dan seperti biasa Bi Ijah tidak bisa menahan air matanya juga jika sudah melihatku seperti kesetanan begini. Bang Ojang segera memanggil doketr yang sudah lama menjadi doketr keluargaku. Keluarga ? Itu dulu. Dan dengan cepat dokter yang rumahnya hanya berjarak beberapa meter dari rumahku datang dan mulai menyuntikkan obat bius padaku. Lagi-lagi keadaan menjadi tenang meski harus dipaksakan. Jika bisa mungkin aku akan lebih merindukan obat bius itu untuk membawaku kembali ke ketenangan tanpa pernah mau tahu lagi akan realita yang harus aku hadapi.

"Bi sepertinya Oka harus dibawa ke tempat yang selayaknya dia berada." Ucap Dokter Andika sesaat setelah keadaanku tenang. "Biar saja Neng Oka saya yang merawat di rumah Dok. Ayahnya masih menanggung semua biaya kehidupannya begitu juga dengan saya dan Ojang. Neng Oka hanya tidak ingin bertemu dengan ayahnya. Semenjak Ibunya meninggal karena bunuh diri. Neng Oka seolah tidak kuat menanggung realita yang harus dia hadapi. Ayahnya menikah lagi. Dan sekarang biar saya saja yang merawatnya disini bersama dengan Ojang." Tutur Bi Ijah sendu menatapku. "Yasudah, nanti coba saya bicarakan dengan Pak Birawan. Bagiamana baiknya. Kalau ada apa-apa nanti silahkan saja langsung menghubungi saya." Ucap Dokter Andika lalu pamit untuk pulang. Bi Ijah dan Bang Ojang malam ini berada di kamarku menemaniku.

Pagi harinya aku tersadar, bi Ijah sudah menyiapkan sarapan di sampingku. Kenapa harus selalu ada pagi ? Inikah realita yang masih harus terus menerus aku hadapi. Aku ingin seperti semalam, tenang, dan aku bisa bermimpi apapun sesukaku. Namun tetap saja aku tidak bisa menghilangkan kebencian itu pada ayahku yang membuat ibuku bunuh diri dan sekarang dia malah menikah lagi dengan wanita lain. Meski aku masih hidup serba berkecukupan dari apa yang diberiakan ayah padaku, tapi nyatanya aku belum bisa menerima semua ini. Aku kangen ibu, aku ingin bersamanya di tempat itu. Tempat terakhir. 

Minggu, 24 November 2013

tentang seseorang

Ini cerita tentang seseorang. Seseorang yang membawa sebuah cerita dan membangkitkan naluri untuk bercerita. Mungkin ini bukan awal yang bagus untuk menarikmu mendengarkan cerita tentang seseorang ini. Ini sebuah rangkaian kisah yang menceritakan seseorang. Seseorang yangseolah hadir dalam wujud yang berbeda dari masa ke masanya. Dia tidak pernah sama karena dia memiliki caranya masing-masing. Coba sebentar saja beri aku wkatu untuk mengingat bagaimana cerita tentang seseorang itu. Tenang. Aku tidak akan menghabiskan waktu lama jika hanya mengingat tentang seseorang. Mungkin ini bisa menjadi intermezzo untuk aku membuka cerita tentang seseorang itu untuk kamu. Sejenak saja apakah kamu mau mendengarkan cerita ini ? Aku tidak berusaha untuk muluk-muluk menceritakan tentang seseorang ini. Mungkin jika aku terlalu banyak cakap kamu akan bosan mendengarkannya. Bahkan melihat judulnya saja mungkin kamu sudah tidak tertarik. Memang. Ini bukan lagi sebuah dongeng yang menyenangkan. Dan aku tidak menganggap kamu seperti anak-anak yang selalu suka untuk dibacakan sebuah dongeng. Ini mungkin hanya dalam khayalan, tidak menarik atau bahkan klise. Tenang. Aku tidak memaksamu untuk berpikir terlalu dalam tentang cerita ini. Ini hanya tentang seseorang yang memberi makna dalam langkah demi langkah hingga membawa pada pemahaman yang baru akan dunia. Dan satu hal yang aku tahu, everthing has changed. Wow, kedengarannya menarik bukan jika aku mengatakan segalanya itu sudah berubah, berubah, dan akan berubah ? Seperti yang banyak aku dan kamu dengar, tidak ada yang abadi di dunia ini. Seperti itukah ? Kedengaran lebih klise bukan tentang kata-kata itu ? Tidak. Aku tidak akan bercerita tentang keklisean sebuah kata-kata. Ini hanya tentang seseorang. Coba sejenak saja dengarkan aku menceritakan tentang seseorang yang mungkin akan membuatmu jemu untuk melanjutkannya.

Kamu tahu, tentang seseorang ini ? Dia pernah ada. Dia bahkan nyata samapi saat ini. Hadir di hadapanku namun yang aku tahu masa sudah mengubahnya. Dia tegap berdiri walaupun egoku pernah merobohkannya. Mengujinya untuk berjuang. Tentang seseorang ini yang selalu hadir dalam waktu yang tepat. Apa yang bisa kamu lakukan jika dia tiba-tiba ada dihadapanmu dengan sekotak kado untuk kado terindah di hari ulangtahunmu ? Hahaha. Pasti kamu bertanya-tanya ada isi kado itu. Bukankah harusnya kamu penasaran bagaimana bisa dia melakukan itu ? Toh, dia bukan terpredikat sebagai sosok yang istimewa. Dia hanya hadir, berusaha, dan menunggu. Tapi nyatanya dia sepertinya tidak mendapatkan jalan, permintaan dia tidak diterima, bahkan dia lebih memilih untuk berdiri di belakangku. Dia selalu ada disaat waktu-waktu mampu memanggilnya kembali. Aku dan dia selalu menjadikan kisah yang ada sebagai sebuah lelucon yang tidak akan ada habisnya jika dibahas. Waktu mengalirkan sebuah memori akan ingatan-ingatan silam yang mencoba untuk dihilangkan, tapi apa nyatanya ? Dia akan tetap menjadi seseorang yang hanya bisa aku ceritakan kepadamu melalui kata demi kata tentang seseorang ini.

Dia. Dia pernah menghadirkan sebuah cerita baru. Cerita bahwa bumi ini berputar. Kadang banyak manusia meremehkan apa yang mereka punya, tidak pernah dianggap keberadaannya hingga pada akhirnya kita akan merasa kehilangan jika sesuatu yang kita abaikan itu pergi. Menghilang dengan meninggalkan sebuah cambukan yang terhebat dimasa itu. Tahukah kamu kenapa aku harus memakai kata-kata hiperbola ini ? Kamu harus tahu bahwa manusia harus bisa memposisikan dirinya. Dimana dia berada, dimana dia beradu, dan dimana dia akan berpaling. Dan kamu tahu bagaimana rasanya ? Yah, dan tentang seseorang ini memperkenalkanku pada satu kata yang banyak orang tidak sukai "pengkhianatan". Bukankah ini terdengar seperti di filam-film ? Lucu bukan. Yah, kedengarannya memang seperti itu. Sudah, jangan pasang muka yang ironis seperti itu. Lihat, lihat aku sekarang. Bukankah itu tidak menjadi masalah buat aku ? Jangan kasiani aku dengan tatapan matamu yang memancarkan keharuan seperti itu. Aku memilih untuk percaya pada diriku sendiri. Tentang aku yang mampu bertahan. Dan satu hal yang harus kamu tahu, hei, itu sudah berlalu. Sudah kembalikan raut mukamu menjadi raut muka yang biasa saja. Mari kita lanjutkan bercerita tentang seseorang. 

Mereka menganggap kisah ini bahkan melebihi drama melankolis. Lebih terdengar ironis dari sebelumnya bukan ? Kamu tahu, aku memiliki banyak puisi yang tersampaikan dan tersimpan. Berlembar-lembar kertas pernah aku dan dia habiskan untuk merangkai sebuah masa yang ingin kita lewati. Ini bukan tentang sebuah kisah romansa yang mengharukan. Namun ini lebih pada realita. Kamu tahu, aku ingat tatapan matanya. Dia yang mengajarkanku bahwa hanya ada satu yang tidak pernah bisa bohong yaitu mata. Mata akan mampu mengungkapkan lebih dari apa yang bibir tidak bisa mengucap. Mata memiliki caranya sendiri untuk membuat orang percaya bahwa ada keajaiban dari tatapan mata. Pasti kamu bertanya-tanya apa maksudnya ? Coba pandang saja dirimu sendiri dan lihat mata yang terpantul dari cermin. Disitu kamu akan tahu rahasia dirimu sendiri yang bahkan kamu sendiri tidak pernah sadari kalau rahasia itu pernah ada dan tersimpan disana. Yah, banyak dari kita ingin berteriak kepada dunia kalau kita bisa. Tapi apakah kamu mampu membohongi dirimu sendiri bahwa kamu selama ini meremehkan apa yang sebenarnya kamu bisa ? Aku tahu. Aku bukan guru yang pandai mengajarkan banyak hal tentang kehidupan. Lagi-lagi ini hanya tentang seseorang. Masa yang membuat aku semakin mengerti bahwa segala sesuatu harus berjalan. Tidak ada yang bisa kita pertahankan ketika kita sudah berhadapan dengan realitas. Perbedaan menjadi sebuah pergolakan. Bukankah pelangi nampak indah karena keanekaragaman warnanya ? Yah, aku tahu, walaupun itu hanya sementara. Tapi apakah pernah kamu punya satu alasan untuk mendustakan bahwa pelangi itu buruk ? Tidak. Ini hanya berjalan sebagaimana mestinya. Segala sesuatu terjadi karena sebuah alasan, Walaupun semua pertanyaan itu tidak harus ada jawaban. Karena itulah kita diminta untuk percaya. Semakin kita mencari pembuktian akan sesuatu yang sudah senyatanya terjadi, sama saja kita tidak percaya bahwa tangan Tuhan berkarya di dalamnya. Semua lorong itu pasti ada ujungnya, membukakan pada cahaya baru, meski harus melewati tempat gelap, namun jika itu satu-satunya jalan, jalan mana lagi yang ingin kamu cari jika hanya ingin menjadi pencundang ? Lari dari apa yang memang seharusnya dilalui. Sejauh apapun kita pergi, serapi apapun kita bersembunyi, dan sebanyak apapun kita mencari pembelaan, apa yang bisa kita perbuat jika realitas itu selalu mengikuti ? Tidak ada yang pernah bisa menghindar dari apa itu yang dinamakan realita. Karena itu ada realistis yang harus kita punya untuk tahu diri bahwa kita bisa dan mampu menjalani semua yang memang senyatanya harus kita lalui.

Tentang seseorang yang menyapamu tanpa pernah tahu kalau kita harus bertemu. Bertemu dipersimpangan jalan. Saling menyapa, bertegur sapa, bercerita, dan merasa. Namun apa, yang kita tahu persimpangan itu membawa kita pada sebuah (lagi-lagi) realita. Tahu banyak cabang jalan yang harus dilalui. Bertahan untuk berlawa-laman di persimpangan, tapi harus berapa lama lagi ? Tidak untuk satu minggu, bulan bahkan tahun. Tidak selama itu. Karena perbedaan itu semakin ketara. Tidak ada yang berusaha untuk saling mempertahankan. Bertemu untuk berpisah. Bukankah itu adalah hukum alamnya ? Seperti itulah. Sesaat datang dengan pengakuan, namun lantas pergi tanpa perhatian. Melepas itu menjadi pilihan. Melanjutkan mimpi itulah keputusan. Melangkah di area yang berbeda, meski tahu kalau saling memandang. Saling bertaut seperti radar yang mampu mendeteksi keberadaan sosok lain yang melalui partikel-partikel tak ketara. Membawa berita rindu meski tahu itu hanya ilusi. Kamu ingin bilang bodoh ? Memang. Aku dan dia terlihat bodoh. Dia ? Sepertinya tidak. Mungkin aku saja yang terkontaminasi oleh pemikiran akan kekuatan yang membawaku pada sebuah kepercayaan bahwa tanpa memandang orang mampu bertaut. Dalam caranya masing-masing orang mampu mengirim kabar rindu meski itu hanya melalui sebuah ilusi buatan akan pikiran. Percayalah, ini hanya sebuah cara aku dan dia sejenak bertahan. Namun nyatanya, aku tidak pernah bisa mempertahankannya sejenak saja bertahan disini lebih lama. Lalu dia pergi memilih dimensi yang baru dengan radarnya hingga bertemu dengan dunia barunya. Hei, kamu sepertinya memandangku dengan muka haru lagi. Jangan. Ini memang keputusanku dan dia, karena aku dan dia tahu bahwa di dunia ini memang tidak ada yang kebetulan. Seperti aku yang memang dengan tiba-tiba bertemu dengannya di suatu masa. Namun aku dan dia sudah memilih satu hal, bahwa ada saatnya kita harus saling memaklumi. 

Inilah tentang seseorang. Seseorang yang tidak sempurna namun menjadikan cerita menjadi hampir utuh. Menemukan perbagiannya untuk kelak menjadi rangkaian cerita yang panjang dan utuh. Tidak untuk saat ini, karena ini hanya cerita tentang seseorang. Hingga nanti tentang seseorang akan ada lagi dengan memori baru yang tidak akan termakan oleh waktu. 

Selasa, 19 November 2013

"malaikat" jalanan

Kamu dimana. Kamu siapa. Kamu untuk apa. Kamu apa ? Sebuah kata-kata ambigu. Seambigu itu jugakah jika kita merasa sendiri di jalan panjang yang tidak berpetujuk ? Hanya menyakinkan langkah untuk menemukan jalan setapak itu. Heran dengan segala kesombongan dunia yang seolah tahu arah mana yang akan mereka tuju. Jaminan apa yang memastikan mereka akan tetap seperti itu. Berjalan berlenggok dengan angkuhnya bahwa semua akan sama seperti semuala. Ini awal dan di depan sana ada akhir. Mungkinkah perjalanan  itu akan tetap sama ? Tidak ada satu orangpun yang tahu bagaimana dan seperti apa perjalanan itu nantinya. Semua memang kadang terlihat suram. Lihat saja orang-orang jalanan yang seolah kehilangan harapannya, mereka seperti kehilangan dunianya. Hanya gelap yang bisa mereka lihat. Orang selalu melenggang dengan anggunnya seolah memamerkan segala keberadaannya. Dimana sudut ruang yang bisa saling memahami itu ? Dunia ini memang adil. Walaupun adil itu tidak harus sama. Banyak orang yang bergelimpangan akan kasih dan sayang namun mereka menacuhkan begitu saja. Coba tengok sebentar saja kepalamu bagi mereka yang merasa sendiri dan tidak memiliki siapa-siapa. Meraka seperti kehilangan semua mimpi mereka. Tidak ada tanggan yang menggenggam mereka dengan hangatnya. Hanya tatapan pilu bahwa mereka rindu. Mereka rindu akan kepunyaan orang yang mereka tidak bisa punyai. Mereka hanya mencoba bertahan untuk hidup bukan menyerang seolah mereka punya daya yang lebih untuk menjadikan kenyataan seperti apa yang mereka harapkan. Apa sebuah belas kasiankah yang tersisa ? Rasanya sudah terdengar basi atau bahkan tidak lagi pantas untuk dipertanyakan ? orang lebih memilih untuk membutakan mata dari apa yang tidak ingin mereka lihat. Orang lebih memilih untuk menulikan telinga dari apa yang ingin mereka dengar.

Bayangkan saja sejenak, betapa bahagianya hidup ini jika kita mau memandangnya dengan sederhana. Sesederhana anak-anak yang selalu merindukan tatapan-tatapan hangat jika mereka masih diharapkan. Bukan untuk dibuang atau bahkan tidak dianggap. Lalu untuk apa mereka ada jika harus menanggung dosa awal dari manusia-manusia yang tidak bertanggung jawab ? Mereka ada untuk melihat dunia lebih dekat lagi. Mereka ada untuk emnyapa dunia lebih nyata lagi. Bukan terkesan kabur dan lantas memburam bersama dengan jaman-jaman yang semakin tidak bisa diharapkan ini. Tangan-tangan mungil mereka terlatih untuk terbuka merintih meminta belas kasian dari sesama. Bahkan mereka sedikitpun tidak mau menyentuh tangan yang dianggap kotor itu. Lebih kotor mana dari mereka yang selalu menutup mata akan dunia ? Lagi-lagi ego yang sukses membawa mereka dalam posisi yang tidak mau diganggu lagi. Hidup mereka sudah nyaman. Tanpa terkena serbuan serdadu-serdadu langit jika awan menghitam. Atau mungkin serbuan asap yang seolah membuktikan keegoan orang dari kekuasaannya ? Mereka tidak meminta lebih. Bahakan jiwa ada penawaran mereka juga pasti tidak akan pernah mau berada di pinggiran jalan yang berdebu, panas dan sumpek itu hanya untuk bertahan hidup. Demia menghidupi diri tanpa harapan yang pasti. Dunia buat mereka sudah menghilang. Tidak lagi hitam atau putih, namun terlihat samar. Hingga semakin lama semakin menghitam dan menghilang. Semua. Tidak pasti. Tidak ada yang bisa menjamin mereka. Hanya tatapan-tatapan kosong itu yang seolah menerawang jauh ke depan untuk menemukan setitik cahaya yang bisa membawanya pada sebuah kepastian akan jaminan kehidupan yang lebih baik. 

Minggu, 17 November 2013

TIMING

Ada waktu untuk lahir, ada waktu untuk meninggal.
Ada waktu untuk menanam, ada waktu untuk mencabut yang ditanam.
Ada waktu untuk membunuh, ada waktu untuk menyembuhkan. 
Aada waktu untuk merombak, ada waktu untuk membangun.
Ada waktu untuk menangis, ada waktu untuk tertawa.
Ada waktu untuk meratap, ada waktu untuk menari.
Ada waktu untuk membuang batu, ada wkatu untuk mengumpulkan batu.
Ada waktu untuk memeluk, ada waktu untuk menahan diri dari memeluk.
Aada waktu untuk mencari, ada waktu untuk membiarkan rugi.
Ada waktu untuk menyimpan, ada waktu untuk membuang.
Ada waktu untuk merobek, ada waktu untuk menjahit.
Ada waktu untuk berdiam diri, ada waktu untuk berbicara.
Ada waktu untuk mengasihi, ada waktu untuk membenci.
Ada waktu untuk perang, ada waktu untuk damai. 


By : Paulo Coelho (Sebelas Menit : Eleven Minutes)

Unsent Letter

Ini tentang surat yang tak tersampaikan. Entah kepada siapa penerimanya. Yang pasti ini hanya tertahan ditempat ini, di kotak ini. Mungkin bahkan hingga nanti surat ini masih akan tersimpan rapi di sudut tempat ini. Ini semua tentang sebuah rahasia. Rahasia yang tertahan dan terpendam. Mungkinkah semua orang harus tahu ? Ini tidak akan menjadi sebuah rahasia lagi jika nyatanya nanti surat yang tidak beralamatkan ini sampai di tangan orang yang pantas menerimanya. Mungkin ini adalah sebuah doa yang tersembunyi dari ungkapan lirih seorang gadis kecil yang dalam ketakutannya. Dia menahan surat ini hanya untuk dirinya sendiri. Bukan untuk dia, atau bahkan untuk yang lain. Ini hanya untuk dirinya sendiri. Tentang mimpi-mimpi yang tidak terungkap karena kejamnya dunia memperangkapnya dalam keegoisan yang hanya semakin memojokkan dirinya. Dia hanya mampu berbicara dengan dirinya sendiri tanpa tahu untuk apa semua itu. Dia tersesat ditempat asing. Dia mencari dan terus mencari hingga kata-kata itu hanya terulang dan terungkap melalui surat ini. Mungkin barisan kata ini tidak pantas disebut sebagai surat. Karena terlalu banyak keluhan yang hanya memperangkapkan jiwa menjadi pemasung diri tanpa bisa berkembang. Ketakautan-ketakutan itu menahan dia untuk tidak memperjuangkan mimpinya. 

Dunia apa yang kamu mau. Tentang pengharapanmu. Tentang kangkuhanmu yang seolah menulikan telinga dan membutakan mata banyak orang dalam kemewahannya masing-masing. Tentang sebuah kecamuk rasa yang hanya tertahan di dada. Berteriak untuk mengungkapkan semuanya tapi tidak pernah ada telinga yang mampu mendengar. Coba lihat dirimu dipantulan cermin. Rasanya bukan itu yang dia kenal. Sosok lain yang membawanya kembali ke realita bahwa tidak ada satupun yang mempedulikannya. Dia seolah berjalan sendirian menyusuri setiap tapak kehidupan. Mengencangkan sabuknya untuk bersiap dengan segala kemungkinan. Oh bayangkan akan gemerlapnya dunia luar itu seolah tertahan di pelupuk matanya. Hanya dalam imajinasi yang bisa dia nikmati hingga tertekan di bawah alam sadarnya. Hingga dia bertemu dan bertemu lagi di kesempatan tanpa sebuah pembuktian. Beri satu alasan untuk memperjuangkan semuanya . Apa ? Mana lagi alasan yang bisa membuktikan semuanya bahwa masih ada jalan. Bukan. Ini bukan tentang jalan yang menghilang. Ini hanya sebuah rasa yang terkaburkan. Hambar. Dan tidak pasti seperti apa wujudnya. 
Surat tidak tersampaikan ini bukan untuk siapa-siapa. Ini hanya untuk jiwa yang berusaha menahan dirinya sendiri untuk tetap bertahan. Bukan untuk mereka yang masih menyombongkan diri dengan segala egonya yang semakin menjadi. Tidak ada kata-kata manis seperti orang yang sudah bertahun-tahun tidak berjumpa. Tidak ada kejujuran yang menyampaikan segenap rasa yang selama ini tertahan hingga akhirnya mengalir menjadi sebait puisi yang indah. Bukan, bukan tentang itu semua. Ini semacam surat untuk pribadi yang tersesat akan jalannya sendiri. Tidak perlu surat ini tersampaikan kepada dia yang ada disana. Karena mungkin hanya akan menjadi sampah yang tidak pernah dihiraukan. Atau bahkan tidak akan pernah tersentuh karena mungkin surat ini hanya dipandang sebagai kertas yang tidak berbentuk. Untuk siapa dan apa saja tidak jelas pasti. 

Biar saja surat ini tertahan dan tersimpan di tempat ini. Mungkin waktu lebih bisa menghargainya untuk tidak pernah tahu apa isinya. Tempat ini lebih bisa menerima apa yang tertuliskan di berlembar-lembar ketas tua yang mungkin semakin lama akan semakin memburam. Semacam itu juga mungkin jika surat ini tersampaikan untuk sosok yang dialamatkan disurat ini. Bukan untuk disimpan sebagai sebuah kenangan. Tapi hanya semacam angin lalu yang tidak pernah dianggap ada. Surat ini tidak berisi tentang rengekan untuk minta dibalas. Ini hanya berisi tentang sebuah keangkuhan diri yang juga ingin ditandingkan dengan dunia. Dunia mungkin akan mengelak untuk bersaing. Karena surat ini memang tidak ada apa-apanya. Yah, memang. Tapi setidaknya pesan demi pesan itu pernah terlahir di dunia dan pernah diakui keberadaannya tanpa harus dianggap ada. Buat apa memperjuangkan sesuatu yang hanya akan diangap sampah ? Tentang surat ini. Tidak perlu banyak orang merasa haru karena surat ini tidak pernah tersampaikan. Biar saja waktu membuka rahasianya untuk mengungkap apa yang ada di surat ini. Surat ini mungkin akan menjadi bukti bahwa perjuangan dan mimpi itu pernah ada meskipun itu tidak bisa abadi. Ada tanpa harus dipertahankan. Surat ini tidak harus sampai ditangan orang yang tepat. Namun berharap surat ini kelak ditemukan oleh orang yang pantas. Memiliki mimpi yang sama seperti yang terungkap di deretan kata di surat ini. Tidak harus menjanjikan segala yang ada untuk menemukan siapa pengirimnya, namun yang menemukan surat ini semoga tahu bahwa penantian itu pernah membawanya pada titik putus asa walaupun akhirnya saat itu tiba juga pada orang yang memang pantas. 

Selasa, 12 November 2013

[CERPEN ] : Dua Tapi satu

Wulan melirik jam yang melingkar di tangan kirinya. Waktu sudah menunjukkan pukul 15.30. Rasa-rasanya sudah cukup lama Wulan duduk berhadapan dengan laptop hitam kesayangannya itu. Sudah beberapa buku berhasil dia bolak balik untuk melengkapi teori yang dia butuhkan untuk kelengkapan skripsinya. Bahkan Wulan tidak sadar kalau dia sudah menghabiskan hampir 4 jam menekuri buku demi buku dan berkali-kali berpindah pandangannya ke laptopnya itu.

"Duh duh anak satu ini. Betah banget. Udah keburu deadline ya bu ?" Goda Fira teman Wulan yang sembari tadi sudah keluar masuk perpustakaan karena terlalu bosan kalau hanya untuk berlama-lama duduk di perpustakaan. Wulan tidak mengubris sindiran Fira. Bahkan dia hanya senyum dan seolah itu bukan apa-apa untuk dia. Wulan sedang merapikan peralatan "perang"nya hari ini dan bersiap untuk pulang. Tapi tiba-tiba Fira menahan Wulan dan meminta Wulan untuk duduk kembali. 
"Lan, kemarin ada yang nyariin kamu. Terus dia salam gitu buat kamu." Ucap Fira lirih karena takut-takut kalau tiba-tiba petugas perpustakaan menegur mereka. 
Lagi-lagi Wulan tidak berekspresi. Dia hanya mengerutkan dahinya seolah menanyakan tentang salam menyalam itu. 
"Kemarin Giga nyariin kamu. Tapi kemarin kamu pas nggak di kampus. Jadinya dia cuma titip salam aja buat kamu. Akhir-akhir ini kamu susah banget ditemuin. Kenapa ? Kalian sedang ada masalah ?" Tanya Fira seolah mengintrogasi. Bahkan Wulan yang diintrogasipun tidak merasa kalau pertanyaan-pertanyaan Fira itu harus dijawab. Wulan meneruskan beberesnya. 
"Masalah atau bukan itu tergantung orang mau memilih itu dijadikan masalah atau bukan." Ungkap Wulan singkat lalu tersenyum dan meninggalkan Fira yang masih kebingungan melihat tingkah laku Wulan akhir-akhir ini.

Akhir-akhir ini Wulan lebih sering terlihat sibuk dengan skripsinya. Padahal kalau dilihat-lihat belum deadline juga kalau seandainya memang itu alasan Wulan. Fira tahu kalau Wulan sebenarnya adalah tipe orang yang santai. Tapi Fira sendiri tidak tahu mengapa Wulan jadi berubah sikapnya dan tidak cerita dengan Fira seperti biasanya. Sepulan dari kampus, Fira mencoba mencari tahu apa yang terjadi dengan Wulan. Fira stalking Wulan mulai dari Twitter, FB, Path, sampai dengan blognya. Namun sepertinya semua usahanya sia-sia. Tidak ada pertanda apapun dari semua media sosila Wulan yang menceritakan bahwa dia sedang ada masalah atau ada hal lain yang membuat Wulan jadi pendiam seperti sekarang ini. Bahkan dari semua media sosial yang Wulan punyai, Fira malah mendapati post-post Wulan beberapa minggu yang lalu. Padahal biasanya apapun yaanng terjadi dengan Wulan bisa ditelusuri dari salah satu media sosialnya. Namun kali ini usaha Fira nihil.

Ada hal-hal yang kadang tergambar secara nyata, namun ada kalanya yang nyata itu semakin dibuat absurd oleh orang yang melihatnya. Langit sore ini nampak murung seolah tahu apa yang dirasakan oleh Wulan. Dia hanya menatap kosong di ambang jendelanya. Hujan sebentar lagi akan menyapa bumi. Daun-daun akan terbasahi oleh guyuran hujan. Tanah yang kering seolah sudah merindukan datangnya hujan untuk sedikit merasakan sebuah kesegaran yang memang sudah lama dirindukan. Awan gelap nampak mengantung dan tidak perlu hitungan jam lagi, hujan deras akan turun. Wajah Wulan memanas, dan tanpa dia sadari air matanya mendahului turunnya hujan. Air mata itu akhirnya keluar juga setelah beberapa hari ini Wulan mencoba untuk tetap biasa saja. 

"Hujan. Aku selalu suka hujan. Aku ingin menari di bawah hujan. Biar tidak ada satu orangpun yang tahu bahwa aku menangis." Bisik Wulan dengan lirih.

Hari demi hari berjalan dan Fira masih tetap saja penasan dengan apa yang terjadi dengan Wulan. Dia hari ini berencana untuk menemui Giga. Fira merasa ada yang ganjil antara Wulan dan Giga. Selama ini Fira hanya tahu kalau Wulan dekat dengan Giga namun tidak tahu pasti bagaimana hubungan mereka. Mungkin setelah dipikir-pikir Fira merasa bersalah dengan pertanyaannya beberapa hari lalu pada Wulan. Apakah Wulan sedang berkonflik dengan Giga ? Padahal hubungan mereka sendiri tidak jelas kemana arahnya. Yang Fira tahu, Giga dan Wulan baru dekat beberapa bulan ini semenjak mereka pernah ada satu proyek bersama. Dan pertemuan merekapun tanpa sengaja. Lalu mereka jadi dekat dan kelanjutannya bagaimana Fira tidak tahu karena mulai sata itu Wulan lebih memilih untuk tidak cerita. 

"Ga, kamu tahu buat apa sahabat itu ada ?" Tanya Fira membuka pembicaraan dengan Giga. Giga masih sibuk dengan semangkuk bakso di depannya yang tiba-tiba berhenti seolah tahu kalau Fira akan membuka pembicaraan menjadi serius. 
"Ada karena mereka dibutuhkan. Entah dibutuhkan dalam artian tulus atau mungkin hanya dimanfaatkan untuk kepentingan ego sendiri. Ya mungkin konsep sederhananya seperti itu." Jawab Giga tenang.
"Yah, mungkin seperti itu gampangannya. Tapi apa yang kamu lakukan jika nyatanya temanmu itu tidak menganggap kamu ada ?" Tanya Fira lagi yang semakin membuat Giga penasaran kemana arah pembicaraan mereka. 

"Ya sudah. Kalau nyatanya kita berusaha berbuat baik buat teman kita tapi tidak diterima. Toh mau bagaimana lagi. Ya harus kita terima. Dan yang pasti kita tidak bisa memaksa supaya sikap baik kita dihargai." Jawab Giga lagi-lagi dengan sikapnya yang tenang.
"Dan kalau seandainya teman kamu itu terus berusaha membantu kamu walaupun lewat orang lain. Apa kamu masih tetap membiarkan dia begitu saja ?" Fira masih terus membombardir Giga dengan pertanyaan.
"Mungkin masalahnya tidak sesimpel yang kita bayangnya. Dan kita juga tidak bisa menyalahkan kalau nyatanya teman kita itu memang tidak butuh bantuan kita. Tapi kalau memang kita care, mungkin kita bisa lewat cara lain untuk tahu apa masalah yang dihadapi teman kita itu melalui orang lain." Jawab Giga lagi.
"Dan itu poinnya. Aku merasa akhir-akhir ini semenjak dekat dengan kamu Wulan jadi lebih banyak diam. Kalian baik-baik sajakan ?" Tanya Fira kini langsung ke poinnya. Giga hanya diam dan tidak menjawab apa-apa. Dia mengungkapkan kalau tidak bisa cerita soal itu. Giga hanya menyarankan kalau soal itu Fira diminta bertanya langsung saja pada Wulan. Karena Wulan yang lebih tahu semuanya.

Mungin benar apa yang dikatakan Giga. Ada kalanya kalau orang itu memilih untuk bertahan dengan masalahnya sendiri karena sebuah alasan. Dan seoal alasan itu hanya orang itu sendiri yang tahu. Karena hakikatnya kita tidak akan pernah bisa memaksakan sesuatu sesuai dengan kehendak kita. Fira tahu kalau dia memang dekat dengan Wulan. Tapi Fira juga tahu mungkin tidak semua tentang Wulan harus diceritakan kepada Fira. Dan kini Fira memilih untuk diam. Dan dia hanya berharap kalau semuanya akan baik-baik saja.

beberapa hari setelah pertemuannya dengan Giga, Fira memilih untuk diam dan tidak ikut campur dalam masalah Wulan dengan Giga. Namun suatu ketika setelah sebelumnya SMS, Wulan datang ke kos Fira dan tiba-tiba langsung menghambur ke pelukan Wulan.
Fira hanya diam dan Wulan yang ada di pelukannya langsung nangis tidak terbendung lagi. 
"Are you okay ?" Tanya Fira sesaat setelah Wulan sudah nampak agak tenang. 
"Maybe yes maybe no. Maaf ya Fir kalau akhir-akhir ini aku seolah menghindar dan tidak mau cerita sama kamu soal masalah aku. Awalnya aku berpikir kalau semuanya bisa aku selesaiin sendiri tapi ternyata aku tidak sekuat seperti apa yang aku bayangkan. Aku lemah Fir, aku capek." Tutur Wulan dan air matanya kembali berderai lagi. 
"Aku percaya kalau kamu adalah wanita yang kuat Lan. Apapun yang kamu hadapi kamu pasti bisa. Kalau kamu saja meragukan diri kamu sendiri bagaimana orang lain memandang kamu nantinya. Apapun masalah kamu. Hadapi, dan tahklukan karena aku yakin kamu bisa." Ucap Fira memberi kekuatan pada Wulan. Akhirnya Wulan menceritakan semuanya dari awal tentang hubungannya dengan Giga. Dan inti masalahnya adalah Wulan dan Giga berbeda dunia, keyakinan yang membedakan mereka.
"Aku merasa kalau aku sudah menemukan orangnya Fir. Tapi akuu sadar kalau bukan dia orangnya. Aku kacau, aku tidak tahu harus bagaimana. Disatu sisi aku ingin berjuang dengan Giga, namun disatu sisi aku tidak mau menyakiti keluarga aku yang sudah mewanti-wani aku. Kenapa di dunia ini harus ada perbedaan kalau nyatanya banyak orang saling mencinta namun sakit karena perbedaan itu ?" Cerita Wulan dengan nada agak meninggi. Fira tidak mengatakan apa-apa. Dia hanya meminta Wulan untuk akhir pekan ini mengosongkan waktu untuk Fira mengajaknya ke suatu tempat.

Weekendpun tiba. Fira mengajak Wulan datang ke sebuah pantai yang tidak jauh dengan kota tempat mereka tinggal karena kebetulan mereka tinggal di dekat pesisir. Sore itu senja yang nampak di bibir pantai terlihat sungguh menawan. Seperti sebuah lukisan yang tergambar dengan sempurna oleh Sang Maha Pembuat. Fira mengajak Wulan duduk di tepian pantai dan menghadap ke laut lepas sembari melihat senja yang masih terlukis orange dengan indahnya. 
"Kamu tahu Lan, kenapa Tuhan menciptakan perbedaan ? Itukan yang akhir-akhir ini selalu kamu keluhkan pada langit ?" Tanya Fira memecah keheningan. "Entahkah Lan, yang aku tahu perbedaan itu rasanya tidak adil buat aku." Jawab Wulan dengan nada putus asa dan tidak melepaskan bayangannya dari lautan lepas. "Karena perbedaan itulah Tuhan menciptakan cinta untuk menyatukannya. Bukan tentanga dil atau tidaknya. Namun ini memang sudah sebagaimana porsinya. Ini proses buat kamu. Entah itu kamu terima atau tidak tapi inilah perjalanan buat kamu." Tutur Fira tenang. Wulan masih tidak bergeming namun dia mencerna dengan baik ucapan Wulan. 
"Coba sekarang kamu lihat ke depan sana. Kenapa lautan dan langit nampak idah di depan sana ? Bahkan seolah mereka menyatu memperlihatkan keanggunannya ?" Tanya Fira pada Wulan. Wulan hanya menggeleng dan menatap Fira dengan rasa penasaran.
"Semata agar kita tahu, dalam perbedaan, ada batas yang membuat mereka tampak begitu indah." 

Sabtu, 09 November 2013

titik balik

Stasiun, bandara, terminal selalu saja sukses menciptakan sebuah kesan titik balik. Disitu kita melepaskan seseorang untuk pergi dan ditempat itu pula kita menyambut orang yang datang. Titik balik yang menjadikan kita tahu ada dua sisi dalam kehidupan ini yang tidak bisa saling terlepaskan. Dimana ada pertemuan pasti akan ada perpisahan. Di tempat itu kita menghantarkan orang-orang yang menjadi bagian dari cerita hidup kita pergi, entah pergi untuk sementara atau pergi dan tidak akan kembali. Karena kita tidak akan pernah tahu apa yang terjadi nanti kala mereka kembali. Apakah masih akan sama ataukan perginya akan mengubahnya menjadi sosok yang lain dan bahkan mungkin menjadi sosok asing bagi kita. Siapa yang bisa menjamin ? Tidak ada. Karena ketika kita melepaskan sesuatu kita tahu kalau itu penuh dengan resiko. Kita tidak akan pernah tahu apa yang terjadi nanti selagi waktu itu kembali lagi mempertemukan dua manusia untuk kembali menjalin sebuah cerita atau bahkan memulai sebuah babak baru dalam kehidupannya. Tempat-tempat itu kadang pula menjadi persinggahan, dimana mereka harus meneruskan perjalanan untuk mencapai perjalanan mereka. Entah berada di ujung sana atau mungkin tempat itu adalah tempat terakhir untuk mereka datang. Siapapun tidak akan pernah tahu. Ketika kata-kata yang menghantar kepergian seseorang banyak terangkai dan terucap, itu bukan sebuah janji yang harus ditempati ketika mereka kembali lagi, karena akan banyak kemungkinan yang mereka bawa ketika mereka sampai ditempat itu lagi di lain waktu. Kepergian itu pasti walaupun pertemuan itu adalah misteri. Karena kita tidak akan pernah tahu dimana dan kapan kita akan bertemu namun ketika ada petemuan itu, kita akan sadar satu hal bahwa nanti akan ada perpisahan.

Titik balik itu membuat kita tahu dan meminta kita untuk tidak lupa bahwa tidak ada yang abadi di dunia ini. Semua terkesan semu. Yang ada hanya sebuah persimpangan yang memberikan banyak pilihan pada kita, namun ada satu yang harus kita waspadai dalam hidup ini. Kita harus tahu bahwa waktu kita hanya sementara. Kesempatan kedua itu hanya ada bagi mereka yang mau memperjuangkannya. Bukan untuk mereka yang terlalu berpasrah. Ketika kita menginjakkan di titik balik itu mungkin banyak yang dari kita akan merasakan sebuah kekosongan yang tiba-tiba, apa yang baru saja ada dihadapan kita pergi untuk mencari atau mencapai apa yang mereka ingin tuju. Apa daya kita untuk melarang mereka pergi ? Tidak ada. Yang bisa kita lakukan hanyalah menahan mereka untuk pergi, namun yang pasti ini hanya masalah waktu. Semua akan pergi, dan mungkin tidak akan kembali. Karena itu adalah konsekuensinya. Apa yang kita genggam tidak selamanya mampu kita pertahankan. Ada saatnya kita harus saling memaklumi akan sebuah kenyataan yang memang tidak bisa kita hindari. 

Jumat, 08 November 2013

[ CERPEN ] : Hujan Yang Tak Lagi Sama

"Kok hujannya deres banget sih. Gimana bisa ke toko beli peralatan buat program ni." Kata Naya sambil merapatkan jaketnya dan mengamati buliran hujan yang turun dengan derasnya. Dia belum mempersiapkan alat apapun buat program KKN-nya besok. Jam ditangannya sudah menunjukkan pukul 16.00 tapi hujan belum juga menujukkan akan berhenti. "Nih, coklat panas buat kamu. Tunggu aja ujannya sampai reda. Paling bentar lagi juga reda kok." Kata Lana yang tiba-tiba berdiri di samping Naya sambil menyodorkan secangkir coklat panas. Naya hanya mampu menatap Lana heran. Heran dengan sikapnya, dan heran dengan perhatiannya yang tiba-tiba berubah 180 derajat dari biasanya. Lana terkenal sebagai orang yang keras. Yang pasti tidak ada satu orangpun yang berani mencari masalah dengan dia. Bahkan teman-temannya yang lain kadang memilih untuk diam daripada harus berurusan dengan orang egois satu ini. Tapi tiba-tiba saja segala stereotipenya selama ini luruh seketika saat Lana tanpa diduga menyodorkan secangkir coklat untuk Naya. Naya hanya menatap heran dan belum mengambil cangkir yang disodorkan oleh Lana.

"Nggak mau ni ? Yaudah aku kasih ke yang lain aja. Kalau nggak aku buang saja." Kata Lana masih dengan nada super ketusnya. Kayaknya dewi kebaikan sedang nyamperin ini orang sampai-sampai tanpa ada pertanda apa-apa, tiba-tiba cowok super egois ini membuatkan Naya coklat panas. "Nggak usah geer. Aku bikinin ini tapi sekalian aku bikin buat aku. Nggak ada maksud apa-apa jadi nggak usah mikir yang macem-macem." Celetuk Lana sepertinya tahu apa yang sedang dipikirkan oleh Naya. Naya hanya mampu mendengus kesal dan langsung mengambil cangkir yang ada di tangan Lana lantas duduk di bangku depan pondokan mereka.

"Kita disini tinggal seminggu lagi." Celetuk Lana lagi yang sekarang duduk di samping Naya. Naya masih sibuk dengan pikirannya sendiri sembari mempelajari setiap butir hujan yang turun. "Terus ?" Tanya Naya tidak kalah ketusnya. "Kok kamu sekarang lebih galak sih ?" Protes Lana. " Kok bisa ? Kayaknya aku cuma nanggepin omongan kamu barusan deh. Galak dari mananya coba. Wajar sih ya, orang galak takut kesaing kegalakannya sama orang lain. Uuupss" Kata Naya seperti kehilangan rem. Lana tidak protes dan tanpa diduga Lana mengacak-acak rambut Naya. Lagi-lagi Naya dibuat tertegun dengan sikap Lana akhir-akhir ini. Bukan hari ini saja, karena ini sudah masuk minggu-minggu akhir KKN.  Lana sepertinya sudah berubah dari predikatnya sebagai sosok yang super egois. Oke, di saat suasana hujan yang selalu sukses membuat suasan romantis, tidak salah juga kalau wajah Naya memanas karena perlakuan Lana barusan. 

"Makasih Ya Nay buat semuanya. Udah nemenin aku tiap malem begadang nggak jelas, ngomongin banyak hal. Kamu yang sering jadi sasaran empuk kalau aku marah. Selalu aja ngalah kalau aku lagi egois. Dan banyak hal lagi, sampai mungkin nggak bisa disebutin satu-satu. Maaf juga kalau aku banyak salah sama kamu. Ah times flies so fast. Mungkin nggak ya suasananya akan masih sama kayak gini lagi ?" Ucap Lana panjang kali lebar. " Kok kamu jadi melow gitu sih. Sejak kapan tuan perfeksionis dan maha egois jadi melow gitu ? Duh, kayaknya dunia sudah gonjang ganjing ni." Ucap Naya tanpa rasa bersalah sembari masih membekap cangkirnya mencari kehangatan. " Ya, whateverlah. Terserah kamu mau bilang aku apa. Emang selama hampir dua bulan ini cuma kamu yang terlalu jujur dan bahkan blak-blakan bilang aku egoislah, perfeksionislah, apalah. Berasa udah nggak punya harga diri aja aku di depan kamu." Kata Lana pasrah. Seketika Naya merasa lucu dengan kata-kata Lana barusan dan tidak bisa menahan tawanya. " Tapi benerkan itu semua ? Aku nggak buat-buat kok. Tenang aja, kartu merah kamu aman ditanganku." Tambah Naya lagi seperti seorang sindikat yang siap dengan strategi-strategi buat menghadapi musuh. Dan selanjutnya hanya hening diantara mereka.

Hujan seolah beradu membuat sebuah suara-suara merdu yang mengisi jeheningan diantara Lana dan Naya, selanjutnya hanya pikiran mereka yang terlalu sibuk dengan pikiran masing-masing. Entah alam akan menyampaikan pesan apa lagi untuk mereka berdua melalui hujan yang seolah menyerupai serdadu-serdadu utusan langit pembawa pesan.

Tempat itu, hujan itu dan semua yang ada disitu seolah-olah menjadi saksi akan sebuah kata yang tidak terungkap atau bahkan tidak akan pernah kembali terungkap. Karena kesempatan yang diberikan telah habis. Dua bulan hidup bersama, berposes bersama hingga bertahan bersama. Membuat Lana dan Naya semakin mengenal satu sama lain. Meskipun kadang Naya mampu mengenal Lana dengan baik tapi ada kalanya Naya tidak kenal sama sekali sosok Lana. Siapa yang tahu akan rahasia sebuah misteri sebelum rahasia itu terungkap dengan sendirinya. Naya terlalu sadar dan terlalu tahu bahwa kenyataannya hanyalah sebatas di tempat itu dan disaat itu. Benteng antara Lana dan Naya terlalu kuat dan tinggi, dan sepertinya tidak ada sedikitpun celah untuk mereka untuk saling menyapa. Hingga dunia dipisahkan dalam sekat-sekat atas nama perbedaan tanpa sebuah kesempatan lagi.

"Lan, maaf ya nanti kalau seandainya KKN sudah selesai aku susah ditemui. Atau mungkin aku bakalan nggak mau ketemu kamu lagi. " Kata Naya disela-sela kesibukannya packing barang-barang. "Emang ada gitu yang bakalan nyari kamu ?" Balas Lana seolah tidak mengamini perkataan Naya. "Nah, bagus deh kalau begitu. Lagipula selesai KKN berarti selesai semuanya. Dan yang pasti nanti kita bakalan sibuk sendiri-sendiri. Yeeeey, pulaaaang dan tidak ketemu Lana lagi." Ucap Naya sedikit berteriak karena gembira. Entah gembira yang diungkapkan Naya itu jujur atau tidak, bahkan tidak ada satu orangpun yang tahu begitu juga dengan Naya. "Memang aku seberapa menyeramkan sih buat kamu, sampai kamu sebegitu ingin menghindar dan tidak mau ketemu aku lagi ?" Tanya Lana dengan nada yang terdengar mengiba. Naya menghentikan aktivitasnya dan menatap Lana. " Karena everything will change Lan. Keadaannya nanti mungkin akan berubah. Setelah kita balik ke rutinitas kita, semuanya aku yakin akan berubah. Lana yang aku kenal akan jauh berbeda dengan Lana yang aku kenal sekarang. Mungkin begitu juga dengan aku. Mungkin akan lebih baik seperti itu." Suara Naya kini terdengar benar-benar mengiba dan seolah Naya menahan dirinya untuk tidak terlalu sedih akan keadaan yang dia tahu akan berubah itu. "Tapi sepertinya aku bakalan butuh kamu nanti, entah sampai kapan. Yang pasti setelah kita pulang dari sini, aku mungkin akan sering mencari kamu." Ungkap Lana jujur. "Let's see." Naya tidak banyak bicara lagi. Dia seolah tahu apa yang nanti akan terjadi untuk kedepannya, jalan mereka jelas berbeda, dan keadaan juga akan jauh berbeda dengan sekarang. " Sepertinya aku akan selalu punya alasan untuk datang kesini kalau aku kangen sama kamu." Tambah Naya lalu beranjak meninggalkan Lana sendirian yang nampaknya terperangah dengan ucapan Naya barusan.

                                                                                         ***

Dan seperti yang Naya duga sebelumnya. 3 bulan setelah KKN-nya usai. Naya kembali lagi ke tempat itu, namun kali ini dia hanya datang dengan dua temannya yang lain. Rasanya ada yang kurang. Walaupun Naya tahu pasti apa yang kurang, namun dia tidak ingin terlalu terlarut dengan segala memori yang seolah masih tergambar nyata saat Naya menyusuri tempat-tempat itu lagi. "Hallo kenangan, apa kabar ? Kita berjumpa lagi." Ungkap Naya sambil menatap rumah dimana tempat itu yang dulu menjadi pondokannya. Suara-suara itu seolah masih terdengar jelas dalam ingatan Naya. Teriakan itu, dan semua memori itu seakan berputar ulang di kepalanya seperti filim yang berulang kembali dan terlampau jelas di matanya.

Sepertinya alam juga sukses membawa Naya dalam ingatannya lagi, hujan seketika turun dengan derasnya. Namun kali ini hujan tidak lagi sama seperti 3 bulan lalu. Lana. Ya, Naya memutuskan untuk menghindari dan menjauh dari Lana. Naya tahu saat ini, mungkin detik ini Lana sudah menemui wanita yang selama ini dia cari. Naya terlampau sadar akan hal itu, seolah ingin berpesan melalui hujan, Naya hanya berharap Lana selalu bahagia. Naya masih ingat jelas percakapan terakhirnya dengan lama,. "Let me go," itu yang diminta Lana. Naya hanya mempu menghela nafas. Lana yang menahan Naya untuk pergi namun kala itu Lana pula yang meminta ijin untuk pergi. Sungguh, seperti apa yang bisa ditebak oleh Naya. Semua itu hanya sementara. Lana hadir sesaat membawa sebuah pesan dan seketika itu tanpa harus menunggu hitungan abad Lana pergi meninggalkan pesan yang meminta Naya untuk emnghapus semua ingatan tentang mereka. Lana dan Naya hanya bertemu dipersimpangan, menyapa lalu saling mengucapkan selamat tinggal. Hanya itu dan tidak akan ada lebih lagi. Namun kini Naya membuktikan ucapannya, Naya akan selalu punya alasan untuk datang ketempat itu jika merindukan Lana. Meskipun kini hujan tak lagi dirasa sama, karena ada bagian yang hilang walaupun belum sempat untuk dipertahankan. 



Inspired by "Broken Vow" - Lara Fabian

Tell me her name
I want to know
The way she looks
And where you go
I need to see her face
I need to understand
Why you and I came to an end
Tell me again
I want to hear
Who broke my faith in all these years
Who lays with you at night
When I'm here all alone
Remembering when I was your own
[Chorus:]
I'll let you go
I'll let you fly
Why do I keep asking why
I'll let you go
Now that I found
A way to keep somehow
More than a broken vow
Tell me the words I never said
Show me the tears you never shed
Give me the touch
That one you promised to be mine
Or has it vanished for all time
[Chorus]
I close my eyes
And dream of you and I
And then I realize
There's more to life than only bitterness and lies
I close my eyes
I'd give away my soul
To hold you once again
And never let this promise end
[Chorus]



Selasa, 05 November 2013

[ CERPEN ] : Rein

"Sepertinya aku harus melakukan perjalanan jauh," Ucap Rein dalam diamnya. 
Rein memang merindukan perjalanan itu, entah kemana yang pasti dia ingin pergi. Rasa-rasanya banyak yang harus dia luruhkan nanti disepanjang perjalanannya selama pergi. "Ternyata aku tak cukup kuat seperti apa yang aku bayangkan." Ungkap Rein pada dirinya lagi. 

Sepertinya alam sedang berkonspirasi untuk menahan Rein pergi. "Dasar pemikir. Sudah berapa milyaran detik yang kamu habiskan untuk bertekun dalam pemikiranmu itu." Sapa Wina tiba-tiba membuyarkan segala rubik yang terpampang dalam pikiran Rein. Rein melenguh malas menatap Wina yang kini duduk disampingnya. "Bukankah kita ada karena kita berpikir ?" Tanya Rein. Wina hanya memandang lepas ke hamparan danau di depan mata mereka. "Ya memang begitu adanya, tapi manusia lupa berpikir kenapa kita berpikir." Perkataan Wina semakin membuat Rein tak mengerti. " Terlalu berat dan filosofis. Aku bukan anak Filsafat yang terbiasa memecahkan sesuatu misteri yang sebenarnya retoris untuk dipertanyakan." Jawab Rein sambil melepas senyum hambarnya. Wina hanya tersenyum pahit mendengar tawa hambar Rein.

"Win, aku ingin pergi." Suara Rein memecah hening diantara dirinya dan Wina. "Pergi untuk apa ? Bukankah kamu setiap hari sudah pergi ?" Jawab Wina tenang. 
"Maksud kamu ?" 
"Yah, setiap kamu trebangun dari mimpimu dan kamu mendapati diri menyambut lagi, bukankah itu berarti kamu sudah pergi dari alam mimpimu ?" Lagi-lagi perkataan Wina terlampau mendewa. 
"Aku capek Win. Aku sudah capek dengan segala hiruk pikuk masalahku yang seolah trelampau sayangnya sama aku hingga mereka enggaan pergi dari aku. Aku ingin bebas." Luap Rein.
"Rein, kamu tahu. INi tentang pendaki gunung. Apa yang membedakan pendaki yang sudah pro dengan mereka pendaki yang masih amatiran ?" Wina mulai mengeluarkan perumpamaannya. Rein hanya menggeleng.

"Sebenarnya tidak ada yang berbeda diantara mereka. Yang membedakan mereka hanya masalah mudah menyerah atau tidak. Mereka yang pro kalau mereka mudah menyerah, mereka sama saja tidak akan mencapai puncak. Tapi bagi mereka yang masih amatiran dan pemula mereka akan mencapai puncak jika mereka tidak mudah meyerah. Bukankah sama dengan apa yang harus kita jalani saat ini. Ini hanya sebuah perjalanan. Dimana setiap perjalanan akan menemui ujungnya. Semua yang pergi akan berpulang. Untuk apa kamu pergi jika nyatanya kamu akan berpulang. Bukakankah kamu tidak ada bedanya dengan pecundang jika harus melarikan diri dari kenyataan ? Ini nyatanya. Sejauh apapun kamu pergi, sehebat apapun kamu menyangkal, dan sekuat apapun kamu melawan. Tapi inilah kenyataannya." Terang Wina dengan tenang.

"Bukankah setiap orang juga punya hak untuk meluapkan emosinya ? Meluruhkan segala kecamuk dalam dirinya dengan berbagai cara ?" Tanya Rein dengan emosi yang tidak lagi bsa tertahan. Bertolak belakang dengan Wina. Dimana Wina semua terlihat tenang dan terang, tidak ada sebuah ketakutan. "Iya setiap orang punya hak itu. Dan setiap orang boleh melakukan hal itu. Tapi bagaimana kamu akan bisa berjalan jauh, jika nyatanya kamu belum mampu bersahabat dengan dirimu sendiri ? Lalu dengan siapa nantinya kamu akan melakukan perjalanan ? Perjalanan itu bukan tentang tujuannya, tapi tentang perjalanan itu sendiri. Banyak orang melakukan ritual ziarah, untuk mati raga dan untuk semakin dekat dengan dirinya sendiri. Tapi jika nyatanya kamu ingin pergi jauh namun kamu selalu melawan dirimu sendiri. Akan kemana nanti langkahmu ?" Kali ini suara Wina semakin mengalahkan tenangnya aliran angin sore ini. Rein hanya mmapu terisak dan sambil memukul-mukul dirinya sendiri. Wina langsung memeluk tubuh sahabatnya itu yang kini tampak kurus dengan cekungan hitam dimatanya. 

Alam adalah sebuah mediator. Dia selalu menyalurkan segala kekuatannya untuk menjadikan manusia lebih bisa dewasa. Seperti sore ini. Di bangku pinggir danau ini. Wina hanya bisa merasakan kegetiran rasa yang dirasakan sahabat baiknya itu. Rein terlalu lelah dengan segala perjalanan panjangnya yang berliku dan penuh tikungan tanjam. Hingga dia tidak mampu mengendalikan keseimbangannya hingga ia oleng dan tidak mampu kembali ke keadaan stabilnya lagi.

Kini awan hitam berarak saling mendekta, memekatkan pandangan sekitar. Dengan tubuh yang masih lemas dan dibalut oleh baju serba putih, Rein dibantu Wina kembali ke ruangan itu lagi. Rein lagi-lagi menatap pilu gedung yang ada di depannya. Gedung serba putih yang catnya sudah mulai memudar. Tempat ini. Rein sadar keadaannya, sadar inginnya namun Rein belum mempu mengendalikan maunya. Wina menatap pilu sahabatnya. Rein harus kembali beradu dalam ruangan sempit yang memenjarakannya untuk kembali mengenali dirinya. Di shelter rehabilitasi kejiwaan ini, Rein berusaha mencapai keseimbangannya lagi ketika kemudi yang dikendalikannya masih saja oleng. Wina hanya mampu memandangi badan Rein yang meringkuk di tempat tidurnya. Pandangan kosong itu, harapan yang hilang itu nampak jelas di raut muka Rein. Semenjak kedua orangtuanya meninggal, dan segala macam persoalan hidup merubuhkannya. Dia tidak mampu bertahan dengan kemudianya. Hingga Reinpun kalah.

Wina berjalan perlahan meninggalkan Rein, sahabatnya, seorang diri. Apa yang bisa dia perbuat. Setiap orang memiliki kapasitasnya masing-masing untuk mengemudikan hidupnya. Mungkin ini yang harus dijalani Rein. Wina berjalan menjauh dari ruangan sempit tempat Rein bergulat dengan dirinya sendiri. Dan ketika semakin menjauh, kesesakakn itu akirnya runtuh juga melawan pertahanan Wina. Dan air mata itupun jatuh mengriringi langkah Wina meninggalkan lorong gelap kamar Rein. 

Senin, 04 November 2013

momen



Lihat sudut-sudut ruangan itu. rasanya masih sama saja. Masih sama yang seperti itu. Namun dari setiap sudut ruangan itu ada yang tidak bisa pergi darinya. Memori itu. Memori akan sebuah masa yang sepertinya terekam jelas dengan kebisuan dinding-dindingnya yang mulai usang. Matahari terbit yang terlihat dari jendela itu masih sama juga rupanya sejak pertama ada kaki-kaki kuat yang masih dengan mantapnya menatap keluar jendela itu. Pandangannya jauh menembus batas dihadapannya. Apa yang dia pandang seolah hanya dia sendiri yang bisa menikmatinya. Udara yang menembus setiap pori-pori itu rasanya masih sama. Meski kini terksan mencekam dalam balutan ruang yang seolah hanya bisa diam ketika tatapan tajam itu memaksa untuk kembali menceritakan kembali. Masa itu. Sudut-sudut ini seolah menyimpan tangis yang hanya dia sendiri yang boleh tahu. Tidak seorangpun yang boleh mendengar isak itu kecuali dinding-dinding rapuh. Atau mungkin setiap jengkal sudut ini juga teremkam sebuah memori akan doa yang terlantunkan semasa itu ? Sebuah ingatan yang mengembara. Bukan lagi sekarang. Ini hanya sebuah melodi yang ingin terputar kembali dalam sebuh ingatan. Seperti piringan hitam yang dengan anggunnya berputar mengembalikan semua kisah yang telah lampau. Tapi ada satu lagi yang tidak bisa dipungkiri dari setiap sudut dalam kebekuan ini, yah kesepian ini. Aura itu ternyata masih sama saja. Seolah kembali membawa ingatan akan ratusan jam yang lalu atau mungkin sudah dalam hitungan tahun ? Sepertinya tidak ada satu orangpun yang tahu akan hal ini. Dia seolah ingin kembali bercengkrama dengan kesunyian yang setiap detik menjadi sahabat baiknya, mendengarkan keluhnya, melantunkan seramaian walaupun itu adalah kesunyian yang cukup membuat ngelu. Dinding ini, seolah bukan lagi musuh buat dia. Bahkan dalam diamnya, dingin mampu memluknya menjadi sosok yang terberkati karena merasakan sisi lain dari dingin yang dia hindari. Bukan lagi tentang sekarang, esok ataupun yang akan datang. Ini semua tentang masa silam. Masa yang begitu ingin terhindari. Namun nyatanya kaki-kaki kecil itu membawa sampai pada titik ini. Meski kaki itu pernah menjadi kuat hingga kini serapuh ini. Sebuah masa yang terdengar amat panjang.Mulut itu masih terkatup dalam diam. Seorang ingin meniti kembali tiap-tiap detik yang dia habiskan di tempat ini. Caba saja lihat wajahnya, trelihat sayu, tidak ada lagi pancaran jelas dari matanya. Semua trelihat kabut. Tidak seperti dulu lagi. Semu. Semu yang seorang menjadi latarbelakang kehiudpannya. Mencoba melangkahkan kakinya, meski tidak mampu. Tapi apa yang terjadi, masa itu telah berganti. Hujan itu tidak lagi datang. Yang ada hanya suara sayup yang menyatakan hujan tidak lagi sama seperti yang dulu. 

panggung sandiwara

Kalau kata orang hebat, yang perlu kamu takuti adalah rasa takutmu itu sendiri. Namun apakah kali ini wajar ? Bahkan kita berpijak di satu tempat yang sama, menghirup udara yang sama, bahkan mungkin jika jauh mata memandang mata kita masih bisa saling beradu. Lalu bagian mana yang salah. Bukan maksud untuk mengembalikan memori tentang masa itu lagi. Namun jika kamu tahu, jiwa ini sungguh telah letih. Letih bukan karena mencari atau menunggu, namun memori itu seolah berputar dengan apiknya mengulang perbagian dari ingatan-ingatan yang ingin terlupakan. Ini hanya semacam kilas balik. Sungguh sama sekali aku tidak berusaha menahanmu untuk tetap tinggal disini, karena masa kita yang sudah berbeda. Kita hanya bertemu dalam suatu masa yang mungkin tidaklah disengaja, lalu apa katamu "tidak ada yang kebetulan didunia ini". Lalu bisakah aku mengatakan kalau ini semua adalah sebuah kesengajaan yang dibuat dengan amat sangat terperinci ? Sungguh mengagumkan. Kadang ada sebuah rasa takjub. Dua manusia atau bahkan lebih dipertemukan dalam suatu masa, saling menyapa, saling bercerita, saling berbagi namun seketika itu juga tidak harus menunggu hitungan tahun semua sudah menguap. Lantas dari mana ingatan itu bisa dipertahankan ? Dunia selalu berotasi diporoskan, begitu jugakah segala kisah yang kita alami itu sudah bersumber pada satu skenario yang utuh ? Belum, ini hanya perbagian yang hilang. Jika kamu tanyakan padaku apa tugas kita, yah, coba cari saja perbagain dari kisah itu yang hilang, kamu rangkai, hingga di akhir nanti kamu tahu semua keruntutan itu akan menjadikan sebuah kisah yang utuh. Ini masanya, bukan tentang menunggu, menyerah, mengharap, ataupun meminta. Ini hanya sebuah permainan apik yang mungkin sedang kita mainkan perannya. Peran yang kita mainkan dalam "panggung sandiwara". Bahkan mungkin ini kedengarannya pasti sangat melankolis. Yah, memang kesannya seperti itu. Sendu, dan terlampau mengharusbiru melebihi sinetron. Itulah kita yang selalu ingin tampil perkasa tanpa balutan rasa salah, kalah dan dibawah. Kita selalu ingin tampil denganego kita yang sempurna. Dengan berbagai macam manipulasi untuk selalu kelihatantangguh. Sampai batas mana kamu bisa berbohong pada dirimu sendiri ? Kamu masih hidup, dan sampai saat inipun kamu masih tinggal bersama dengan jiwamu, dirimu dan kamu sekarang ini. Bukan dia, atau bahkan aku. Bukan juga mereka. Yah, memang kita ini adalah kita yang saling memainkan perannya masing-masing, tapi taukah kamu kalau kita ini bukanlah juri atas permainan kita ? Kita hanya memaikan apa yang seharusnya kita mainkan, hingga kita tahu satu hal yang tidak pernah bisa dirubah, realita itu. Yang akan terjadi memang senyatanya harus terjadi. Bukan besok, ataupun yang akan datang tapi hari ini. Hari ini ? Yah hari ini. Hari ini aku berdiri sendiri, tampil sebagai sosok penerima. Lagi-lagi bukan menyerah, namun lebih pada berpasrah. Sungguh, sungguh bukan maksudku untuk menahan siapapun untuk bertahan disini mengais-ngais waktu bersama denganku. Tidak. Aku hanya ingin bersenandung tentang waktu. Tentang detik, tentang menit, dan tentang kita. Yah, kita. Tidak ada lagi kita. Yang ada kini, aku, kamu, mereka, dan semua. Dengan diri dan jiwanya masing-masing. Berpetualang mencari sebuah masa yang memang sudah lama didambakan. Mengasyikan bukan. Karena aku percaya satu hal, setiap orang pasti suka akan sebuah petualangan. Petualangan identik dengan teka-teki. Untuk apa semua itu, yah selalu saja untuk menjadikan utuh sebuah pencarian. Pencarian yang mungkin jiwa kita sendiri tidak tahu apa itu. "Kamu" yang selalu kamu sebut mungkin adalah perbagian dari ribuan orang yang kamu kenal. Sama sekali aku tidak mengharapkan itu aku. Aku terlalu sadar sebuah keajaiban itu tidak bisa dipaksakan terjadi jika nyatanya tidak terjadi. Pertanda-pertanda itu, lupakan saja. Itu mungkin hanya semacam cara alam menghibur melalui sebuah imaji yang tidak trepecahkan dan tidaklah harus menjadi sebuah cerita yang unik dan nyata. Biar, waktu sudah berlalu. Kita hidup untuk saat ini, bukan kemarin ataupun yang telah berlalu. Karena esok juga akan masanya sendiri. Sungguh, ini bukan caraku untuk mengingatkanmu akan memori-memori yang sudah terabaikan, karena ini hanya sebuah retorika cerita yang tidak berujung. Saling memberi namun tidak untuk saling kembali.