Minggu, 26 Februari 2012

Buah Kesabaran

Di suatu sore, seorang anak yang datang kepada ayahnya yang sedang membaca koran. 'Ayah...ayah" Kata sang anak.
"Ada apa ?" Tanya sang ayah.
"Aku capek. Sangat capek. aku capek karena aku belajar mati-matian untuk mendapatkan nilai bagus sedang temanku bisa dapat nilai bagus dengan menyontek. Aku mau menyontek saja ! aku capek. Sangat capek.
Aku capek karena aku harus terus menerus membantu ibu membersihkan rumah, sedang temanku punya banyak pembantu, aku ingin kita punya banyak pembantu saja ! aku capek. Aku sangat capek !
Aku capek karena aku harus menabung, sedang temanku bisa terus jajan tanpa menabung. Aku ingin jajan terus!
Aku capek, sangat capek karena aku harus menjaga bicaraku untuk tidak menyakiti, sedangkan temanku enak saja berbicara samapi aku sakit hati.
Aku capek, sangat capek karena aku harus menjaga sikapku untuk menghormati teman-temanku, sedang teman-ttemanku seenak saja bersikap kepadaku.
Aku capek ayah, aku capek menahan diri. Aku ingin seperti mereka. Mereka terlihat senang, aku ingin bersikap seperti mereka ayah ! "Sang anak mulai menangis.

Kemudian sang ayah hanya tersenyum dan mengelus kepasa anaknya sambil berkata "Anakku ayo ikut ayah, ayah akan menunjukkan sesuatu kepadamu", lalu sang ayah menarik tangan anaknya kemudian mereka menyusuri sebuah jalan yang sangat jelek, banyak duri, serangga, lumpur, dan ilalang. Lalu sang anak pun mulai mengeluh "ayah mau kemana kita  aku tidak suka jalan ini, lihat sepatuku jadi kotor, kakiku luka karena tertusuk duri. Badanku dikelilingi oleh serangga, berjalanpun susah karena ada banyak ilalang, aku benci jalan ini ayah". Sang ayah hanya diam.

Sampai akhirnya mereka sampai pada sebuah telaga yang sangat indah, airnya sangat segar, ada banyak kupu-kupu, bunga-bunga yang cantik, dan pepohonan yang rindang.

"Waaaah... tempat apa ini ayah ? aku suka. aku suka tempat ini!" sang ayah hanya diam dan kemudian duduk dibawah pohon yang rindang beralaskan rerumputan hijau. "Kemarilah anakku, ayo duduk disamping ayah" ujar sang ayah, lalu sang anakpun ikut duduk disamping ayahnya. "Anakku taukah kamu mengapa disini begitu sepi ? Padahal tempat ini begitu indah ?"
"Tidak tahu ayah, memangnya kenapa ?"
"Itu karena orang-orang tidak mau menyusuri jalan yang jelek tadi, padahal mereka tahu ada telaga disini, tetapi mereka tidak bisa bersabar dalam menyusuri jalan itu."
"Oh berarti kita orang yang sabar ya yah ?"
"Nah akhirnya kamu mengerti."
"Mengerti apa ? aku tidak mengerti "
"Anakku, butuh kesabaran dalam belajar, butuh kesabaran dalam bersikap baik, butuh kesabaran dalam kejujuran,, butuh kesabaran dalam setiap kebaikan agar kita mendapat kemenangan, seperti jalan yang tadi. Bukankah kamu harus sabar saat ada duri melukai kakimu, kamu harus sabar saat lumpur mengotori sepatumu, kau harus sabar melewati ilalang dan kaupun harus sabar saat dikelilingi serangga, dan akhirnya semuanya terbayarkan ? Ada telaga yang sangat indah. Seandainya kamu tidak sabar, apa yang kamu dapat ? Kamu tidak akan mendapat apa-apa anakku, oleh karena itu bersabarlah anakku."
"Tapi ayah, tidak mudah untuk bersabar."
"Aku tahu, oleh karena itu ada ayah yang menggengam tanganmu agar kau kuat. Begitupula hidup, ada ayah dan ibu yang akan terus berada disampingmu agar saat kau jatuh, kami bisa mengangkatmu, tapi ingatlah anakku, ayah dan ibu tidak selamanya bisa mengangkatmu saat kau jatuh, suatu saat nanti, kau harus bisa berdiri sendiri. Maka jangan pernah kau gantungkan hidupmu pada orang lain, jadilah dirimu sendiri. Seorang yang kuat, yang tetap tabah dan tegar karena ia tahu dan bersandar pada Tuuhan yang ada disampingnya. Maka kau akan dapati dirimu tetap berjalan menyusuri kehidupan saat yang lain memutuskan untuk berhenti dan pulang. Maka kau tahu akhirnyakan ?"
"Ya ayah, aku tahu. Aku akan dapat surga yang indah yang lebih indah dari telaga ini. Sekarang aku mengerti. Terima kasih ayah, AKU AKAN TEGAR SAAT YANG LAIN TERLEMPAR."
Sang ayah hanya tersenyum sambil menatap wajah anak kesayangannya.