Jumat, 27 Desember 2013

[CERPEN] : Tuan Pelupa & Nona Pengingat

Awan hitam masih saja menggantung di langit kota Jogja. Rasanya udah lama matahari tidak menampakkan semangatnya. Apakah itu berpengaruh pada geliat kehidupan kota Istimewa ini ? Ah rasa-rasanya tidak. Orang-orang masih saja berlalu lalang walau harus berburu dengan waktu untuk ke tempat tujuan pada waktu yang tepat. Aku Kayla. Aku diantara ribuan mahasiswa yang ingin mewujudkan mimpiku di Jogja. Kota ini. Yah, aku selalu suka dan kagum dengan kota yang menjadi sorotan banyak orang karena Keistimewaannya ini. Begitu juga dengan aku. Aku selalu suka setiap sudut di kota yang sudah hampir 3 tahun aku tempati ini. Walau dalam keadaan seperti apapun aku tetap suka berada di tempat ini. Kota ini masih seimbang dan menahanku mungkin untuk beberapa tahun kedepan. Begitulah harapkau ketika aku menyaksikan banyak orang berlalu lalang dengan segala cerita di kepalanya masing-masing. Aku menatap jalanan yang hiruk pikuk dari balik kaca. Aku suka dan selalu suka dengan tempat pojok yang menurutku strategis di kafe ini. Dengan leluasanya aku bisa mengobservasi banyak orang yang nampak dari balik kacamata tebalku. Aku membenarkan letak kaca mata tebalku yang kata orang mungkin sudah seperti pantat botol karena tebalnya. Aku tidak menghiraukan omongan mereka. Karena aku nyaman. Lalu dimana masalahnya ? 

"Kamu masih saja suka duduk di tempat ini apakah tidak ada tempat lain yang lebih nyaman?" Suara serak namun berat itu seolah membawaku kembali ke kenyataan bahwa aku dari tadi menunggunya. Aku hanya menyunggingkan senyumku. Karena aku tahu tanpa menyusun kalimat panjang sekalipun, dia bisa tahu apa yang aku mau. Begitukah ? Entahlah, namun aku selalu berharap seperti itu.

"Kamu dari mana saja ? Kenapa muka kamu tampak seperti baju yang belum di setrika begitu ?" Tanyaku mencoba mencairkan suasana. Laki-laki berkemeja biru jins itu menggeleng tenang dan selalu saja sukses mencuri perhatianku. "Semua baik-baik saja, Nona." Jawabnya melembut sambil mengelus lengan tanganku. 

Ah. Aku memang selalu saja tersanjung ketika dia memanggilku dengan sebutan Nona. Aku merasa seperti satu-satunya dan yang terspesialkan. Benar begitukah ? Entahlah. Aku selalu berharap seperti itu. 

"Kamu selalu punya banyak alasan untuk menutupi segala perasaanmu. Aku salut padamu. Coba ajari aku menjadi pemain yang bermain peran dengan apiknya seperti kamu." Tanyaku memohonnya. Laki-laki di depanku ini menggeleng. Ah, dia tersenyum. Senyum yang selalu saja sukses meluluhkan segala pertahananku. Awalnya aku sudah bersiap untuk mengisomasi dia karena kedatangannya yang terlambat jauh dari jam yang sudah dijanjikan. 

"Lalu, jika aku pemain yang hebat, bolehkan aku belajar menjadi pembaca pikiran yang ulung seperti kamu ? Aku salut juga padamu. Kamu bisa membaca tanpa ada tulisan dan mampu mendengar tanpa ada suara. Ajari aku keahlianmu." Dia membalikkan pertanyaan permohonan itu padaku. Aku hanya mengibaskan tangan dan tersenyum. Senyumku kembali aku kulum dan lagi-lagi aku terdistraksi untuk menatap ke luar kaca di kafe tempat aku selalu merasa tenang dan nyaman. 

Apakah mungkin ini yang dinamakan saling melengkapi ? Ketika ada sebuah ruang tidak terbaca dan tidak teridentifikasi, akan ada sosok pelacak yang mampu membuka tabir misteri dalam ruang yang tersembunyi itu. Aku dan laki-laki di depanku ini misalnya, ah itu mungkin saja hanyalah harapku.

Oya, aku belum mengenalkan laki-laki yang selalu saja sukses mencuri perhatian di depanku ini. Dia adalah Raga. Aku dan dia sudah mengenal cukup lama. Aku dan dia menikmati apa yang memang seharusnya kita syukuri. Kesempatan dan waktu dengannya mungkin adalah banyak waktu yang sudah lama aku tunggu hingga kini mimpi itu jadi nyata. Aku duduk berhadapan dengan seorang lelaki yang mempunyai rahang keras, muka yang tegas, mata yang tajam, namun hatinya mampu meluluhkan wanita manapun yang sudah duduk berdua dengannya. Mungkin juga saat ini, wanita itu adalah aku.

"Hei, tuan. Sepertinya ada yang kurang dari dirimu ?" Aku mengamati Raga yang sedang sibuk di depan laptopnya. Raga menghentikan aktivitasnya, menatapku, mengerutkan dahinya seolah bertanya apa yang kurang dari dirinya. "Sebentar, biar aku amati. Yah, aku tahu. Pasti penyakitmu sedang kambuh". Ucapku dengan senyum tertahan. Raga semakin mengerutkan dahinya dan seolah kedua alisnya sudah siap untuk bertemu. "Kacamata kotakmu." Aku menjawabnya seperti seorang pemain kuis yang mendapati sebuah jawaban dari pertanyaan yang diberikan oleh pemandu acara. Seketika raga tertawa dan memegangi perutnya. Aku heran dengan sikap Raga yang seolah malah aku yang aneh dan lucu. Aku diam dan hanya melihat gelak Raga. Selalu menyenangkan memang melihat sosok di depanku  ini dengan segala tingkah polahnya.

"Nanti ketika aku menua sepertinya aku butuh orang seperti kamu yang selalu mengingatkanku dimana kacamataku ku letakkan." Kalimat itu sukses meluncur dari mulut Raga seolah tidak melewati filter yang sukses mengoyahkan pikiranku saat itu juga. Saat nanti Raga menua ? Bukankah itu adalah sebuah mimpi yang seolah tersamarkan olehku ? Selalu saja aku membayangkan bisa melihat rambut Raga yang hitam mengilap itu memutih. Senyumnya yang nampak kuat itu memudar karena kerutan diwajahnya. Ah aku selalu saja merindukan membuka jendela kamar lalu melihat Raga baru terbangun dari tidurnya karena sinar mentari yang menyusup dari balik jendela. Momen-momen itu ? Sudah-sudah, aku mencoba menghindar. Tapi lagi-lagi mungkin itu harapan besarku.

"Hei, kenapa kamu malah melamun melihatku seperti orang pikun ? Ada yang aneh dariku ?" Raga menahan tawanya malah melihatku heran. Aku menggelengkan kepala. "Ya, aku rasa kamu harus segera memberi rantai kacamata supaya kacamatamu tidak kelupaan. Atau mungkin suapa seperti anak gaul kamu harus memakai softlens supaya matamu nampak seperti lampu bangjo. Kadang merah, kadang hijau atau kuning." Aku hanya asal menjawab tatapan heran dari Raga. Aku tidak mau dia menyusup ke tempat aku berimajinasi tentang kata 'menua" yang Raga tadi ucapkan.

"Nona Kayla. Dari kacamata penerawanganku, sepertinya kamu cocok kerja di darat." Celoteh Raga smacam cenayang. "Iyakah Tuan Raga. Lalu darat yang Anda maksud dimana ya ? Apakah TNI angkatan Darat ? Atau mungkin buaya darat ? Upss." Aku mulai meladeni dia bermain drama. Raga mengangguk-angguk sambil menggaruk-garuk dagunya. "Ah ya. Bisa jadi. Kamu semacam remainder untuk mengingatkan orang-orang daratan supaya tidak lupa daratan." Ucap Raga sok serius. Aku sudah tidak bisa menahan tawa lagi. Tawaku meledak dibarengi Raga yang juga ikutan tertawa karena kebiasaan kita yang senang bermain sandiwara. 

Aku teringat satu hal akan sandiwara ? Lalu selama ini aku dan dia hanya bermain peran untuk menyempurnakan sandiwara ? Oh, bukan dia. Mungkin lebih tepatnya aku.

"Hei, Nona Kayla. Aku selalu suka tertawa sendiri kalau aku ingat kekonyolanku di masa-masa dulu kita kuliah lapangan. Seolah kamu itu tahu segala tentang aku. Ya, sepertinya yang pantas disebut cenayang itu kamu. Kamu selalu saja mengingatkanku kalau aku selalu begadang melewati tengah malam hanya untuk mengutak atik program yang belum kelar. Dan seolah kamu itu seperti alarm yang setiap 10 menit sekali bangun hanya untuk mengingatkanku tidur. Ah masa itu. Kadang aku lupa, tetapi kalau aku bertemu kamu. Penyakit lupaku selalu saja menguap." Tutur Raga panjang lebar. Seolah mat Raga menerawang ke beberapa bulan yang lalu saat aku dan dia sedang kuliah lapangan bersama. Momen-momen itu. Aku mungkin tidak akan pernah lupa setiap detail waktu yang sudah aku habiskan bersama Raga. Tapi apa ? Raga tadi mengatakan dia mengingat momen itu hanya saat bertemu aku ? Ah aku memang tidak memaksanya untuk selalu mengingatku.

Waktu rasanya cepat sekali bergulir jika kau habiskan hanya duduk berdua dengan Raga dengan segala canda yang dia lontarkan padaku. Aku dan dia itu banyak yang mengatakan cocok seperti sepaket yang saling melengkap. Ada kekurangan yang bisa ditutupi dan ada kekurangan yang bisa dihilangkan. Bukankah itu hanya kata orang ? Aku tidak menyadarinya bahwa khayalanku terlalu jauh. Aku hanya sanggup melihatnya yang sedang sibuk mengutakatik sesuatu di balik laptop putihnya. Aku menyesap es coklat kesukaanku sambil berkhayal tentang Raga yang ada dihadapanku. Raga nampak sibuk. Namun tanpa berkata-katapun aku dan dia, lebih tepatnya aku, selalu menikmati momen dengannya.

Aku melirik jam tangan. Dan lagi-lagi waktu seolah iri melihatku bersama dengan Raga. Dia seolah merengut momenku dengan Raga. Namun apa yang bisa diperbuat dengan waktu, dia hanya menjalankan misinya membawa manusia pada satu kata, yaitu realita.

"Hei Tuan Raga. Waktu sudah menujukkan pukul 19.00. Bukannya dalam SMSmu semalam kamu bilang mau menjemput pacar cantik dan cerdasmu itu." Aku mengatur kata-kataku setenang mungkin agar tidak ada kesan iri di dalamnya. Raga menepuk dahinya. "Ah Nona. Kamu benar sekali. Hampir saja aku lupa untuk menjemput pacarku tercinta. Memang kamu sobat terbaikku. Selalu ada disaat yang tepat." Ucap Raga tanpa memperhatikan raut mukaku yang seolah engan melihat dia pergi dari hadapanku. 

Raga segera menutup laptop putih kesayangannya dan segera beberes untuk menjemput wanita tersayangnya. Aku dan dia jarang membicarakan waita tersayang yang selalu Raga banggakan itu, hanya saat Raga sedang ada masalah dengan wanita tersayangnya itu. Raga barumu bercerita. Yah, lebih bagus begitu pikirku. Karena aku tidak ada nama lain yangs eolah mengambang diudara dan membuatku terasa amat jauh dengan Raga.

"Nona, terimakasih atas perhatian darimu. Kamu memang sahabat terbaikku. Beruntungnya aku menemukanmu, Nona. Sampai berjumpa di lain kesempatan." Raga berbicara dengan mulusnya dan pergi begitu saja sambil mengacak-acak rambutku. Aku hanya mampu berusaha tersenyum sebisaku. Ini bukan keahlianku untuk menjadi pelupa yang ulung tentang masa-masa terbaikku bersama Raga. Kenapa harus ada kata sahabat sebelum kata terbaik yang Raga baru saja ucapkan ? Ah sudahlah, waktu memang sellau sukses mengembalikkanku pada realita. Dan sekarang aku lagi-lagi sendiri menatap realita yang ada membingkaiku untuk sekedar sadar bahwa tadi Raga menyebutku seorang sahabat. 

Tiba-tiba udara disekitarlku seolah menghampa. Aku tersadar satu hal, aku terlalu suka mengingat apa yang seharusnya aku lupakan. Mungkin suatu saat aku akan belajar untuk menjadi pelupa seperti Raga dan hanya ingat disaat-saat tertentu. Bukannya mengingat di sepanjang hariku. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Thankyou for reading :)