Minggu, 06 Januari 2013

critical psychology

Kebudayaan berasal dari kata budaya. Budaya itu sendiri terdiri dari kata budi dan daya. Konsep lama menjelaskan tentang arti kebudayaan yaitu kebudayaan adalah hasil cipta, rasa dan karsa. serta hasil kesenian. Sedangkan konsep baru menjelaskan kebudayaan itu sendiri merupakan ide/gagasan pengetahuan yang menjadi pedoman hidup masyarakat dalam bertingkahlaku, baik secara individu maupun secara berkelompok. hal ini bisa dilihat dari prespektif kognitif dan behavioral dalam suatu kelompok masyarakat. Dimana setiap kelompok masyarakat memiliki definisi masing-masing tentang konsep kebudayaan itu sendiri. Namun sejatinya kebudayaan adalah sebuah warisan dimana warisan itu dihasilkan oleh nenek moyang kita yang berupa bahasa, adat istiadat, tarian, bahasa, dan banyak hal lainnya yang bisa menjadi sebuah icon dalam masyarakat. Kebudayaan muncul karena berbagai faktor, karena adanya interaksi yang saling menuangkan ide dan gagasan. Selain itu kebudayaan juga berasal dari interpretasi pengalaman suatu kelompok masyarakat akan sebuah kultur yang sudah turun temurun, dengan begitu apa yang menjadi turun temurun itu dipresepsikan dan diartikan oleh generasi penerusnya, sehingga kebudayaan itu merupakan produk dari pengalaman masa lalu sebuah kelompok. 

Kebudayaan dalam sebuha kelompok memiliki peran yang sangat penting. Karena dengan kebudayaan itu bisa mempengaruhi berbagai segi kehidupan seseorang, seperti kepribadian, pola pikir, pembawaan, pola interaksi, dan masih banyak segi kehidupan lainnya. Karena adanya karakter yang dibentuk karena kebudayaan tersebut setiap orang memiliki identitas etnisnya masing-masing. Dimana yang disebut dengan identitas etinis itu sendiri adalah konstruk dinamis, yang mengacu pada identitas diri, siapa diri orang tersebut, dan dari mana asal orang tersebut. Misalnya, etnis Jawa, dengan pola pembawaannya yang terkenal dengan lemah lembut, halus, kalem dan sopan. Sehingga ketika orang Jawa itu pergi ke etnis lain misalnya Bugis, secara tidak langsung dia kana memiliki identitas etnis yang mencirikan darimana dia berasal dan siapa dia. Sehingga dengan adanya identitas etnis inilah yang membedakan antara etnis satu dengan etnis lainnya. Dengan begitu mengapa muncullah istilah stereotipe. Dimana stereotipe itu seakan mengelompokkan dan memberi label pada suatu kelompok etnis tertentu. Misalnya, orang Batak terkenal dengan stereotipe yang keras, tegas dan tanpa bosa basi. Begitu juga kelompok etnis lain. Karena adanya stereotipe itu yang kadang bisa melabeling orang dengan segala background yang dibawanya sebagai sebuah kebudayaan yang melekat pada diri orang tersebut. Etnis di Indonesia sangat berpengaruh besar pada interaksi  seseorang pada lingkungan sekitarnya. Berbeda dengan di Swedia. Di Swedia menanyakan dari mana seseorang itu berasal dan dimana orang tuanya tinggal itu adalah menjadi hal yang tabu untuk ditanyakan. Sehingga di Swedia sendiri etnis ini tidak dipandang sebagai sesuatu yang penting apalagi identitas etnis yang disandang oleh seseorang.

Dengan adanya perbedaan budaya yang menjadi background seseorang ini, menyebabkan adanya perbedaan pola pikir setiap orang. Tidak hanya memahami perbedaan individu itu sendiri namun juga dilihat apa saja yang melatarbelakangi individu itu. Ketika sebuah kelompok masyarakat memaknai sebuah kehabagiaanpun juga akan berbeda-beda antara etnis yang satu dnegan etnis yang lainnnya. Orang minang akan memaknai sebuah kebahagiaan dari 5 karekter yaitu grateful, kindness, fairness, intergrity, dan population. Bebeda dengan orang bugis yang memandang kebahagiaan dari 5 karakter yaitu gratitude, kindness, citizenship, fairness, and intergrity

Budayapun juga diartikan berbeda dari masyarakat yang ada dalam kelompok itu sendiri. Perbedaan itu dilihat dari anak-anak muda dan orang tua yang memaknai budaya yang dianutnya. Orangt tua dalam memandang sebuah budaya masih sangat kental dan masih sangat saklak, sehingga kebanyakan anak muda mengatakan kalau orang tua itu terlalu kolot karena masih terlalu mengacu pada kebudayaan yang dianutnya turun menurun. Sedangkan anak-anak muda jaman sekarang sudah memandang remeh sebuah budaya itu sendiri, karena pola pikir dan cara pandang mereka yang sudah mengikuti perkembangan jaman, dimana pergeseran ini dipengaruhi oleh arus globalisasi. Budaya sendiri memiliki citra yang memaksa orang untuk mematuhinya. Padahal dengan arus globalisasi sekarang, dimana perkembangan ilmu pengetahuan semakin berkembang pesat, pola pikir orang jaman sekarangpun juga dituntut untuk mengikuti perubahan jaman. Selain itu, adanya proses asimilasi yaitu "pencaplokan" sebuah budaya oleh budaya lain sudah marak terjadi dewasa ini. Seperti, budaya ketimuran yang masih kuat dijaga di Indonesia semakin lama semakin luntur karena masuknya pengauh Barat yang sekain merajalela.

Karena adanya proses asimilasi ini, penggolongan dalam masyarakatpun semakin jelas terlihat. Yaitu, upper class, middle class, dan lower society. The upper class jelas terlihat perbedaannya dengan kelas-kelas sosial lainnya. Seperti sekarang banyak istilah baru bermunculan yaitu sosialita. Dimana sosialita ini termasuk dalam jajaran kelas atas yang secara jelas terlihat sudah menganut paham kapitalis. Namun dilihat dari segi kegiatannya sendiri dalam mengalokasikan kekayaannya seorang sosialita di Indonesia sangat jauh berbeda dengan sosialita di Barat. Sosialita di Indonesia lebih cenderung "hedon" seperti clubing, mengoleksi perhiasan, mengikuti acara-acara yang high-class, dan acara-acara lain yang berbudget banyak. Sedangkan sosialita di Barat lebih cenderung mengalokasikan kekayaannya untuk jangka panjang, seperti memberikan beasiswa, ataupun mengalokasikan untuk kegiatan-kegiatan sosial. Karena gaya hidup sosialita di Indonesia inilah yang menyebabkan bermunculan istilah-istilah baru seperti jetset. Kebutuhan kaum sosialita ini tidak lagi hanya sandang, papan, dan pangan. Namun lebih meluas ke pendidikan, rekreasi, makanan berkelas, pakaian yang mewah, dan hal-hal lain sehingga mereka selalu terlihat wah. Karena gaya hidup yang mau tidak mau harus mengikuti perkembangan jaman ini banyak orang-orang baru yang memaksakan untuk masuk ke kelas sosial dengan cara memaksakan keadaan. Ini lebih dikenal dengan social climber. Seperti yang terjadi di Ambon. Orang Ambon akan dipandang sebagai upper-class jika dia terbiasa makan di KFC. Sehingga banyak orang-orang yang ingin dipandang sebagai upeer-class yang memaksakan diri untuk berjam-jam duduk di KFC hanya untuk dipandang sebagai kaum atas. Hal ini sangat nampak terjadi di Indonesia. Setiap orang berlomba-lomba untuk mencitrakan dirinya sebagai kaum yang terpandang dibandingkan kaum lainnya. Seperti artis-artis yang berlomba-lomba untuk menunjukkan dirinya sebagai sosialita, bahkan kebanyakan dari mereka ada yang mengoleksi tas-tas mahal dengan harga selangit bahkan sampai ratusan juta untuk menjadi kaum sosialita. Dan faktanya, kaum sosialita di Indonesia semakin mendapat cap negatif. Istilah arisan brondong juga tidak bisa dipisahkan dari kaum ibu-ibu sosialita yang bergelimpangan harta dari suaminya namun kurang mendapat kasih sayang dari suaminya. Maka selain arisan berlian, dan barang-barang mewah lainnya, arisan brondong banyak diminati oleh ibu-ibu kaum sosialita yang haus akan belaian. 

Ada langit pasti ada bumi. Menurut survei World Bank, 55, 5% dari 237 penduduk Indonesia adalah kelas menengah. Sedangkan Litbang Kompas dari 5 kota besar di Indonesia (Jakarta, Yogyakarta, Bandung, Surabaya, Medan, dan Makasar) hasilnya adalah middle class (50,3%), lower-class (39,6%), extremely low-class (5,6%), upper mid-class (3,6%), dan upper-class (1%). Dari penelitian ini dapat disimpulkan bahwa kebanyakan masyarakat Indonesia adalah kalangan menengah. Sebagai negara yang sedang berkembang, bangsa Indonesi semakin berbenah untuk menjadikan masyarakatnya semakin berada. Namun seperti yang kita ketahui, semakin kesini, orang kaya semakin kaya dan orang miskin semakin miskin. Dan dengan adanya perbedaan status sosial ini menyebabkan adanya pengelompokan dalam masyarakat sehingga masyarakatpun menjadi terkotak-kotak. Dan tidak bisa dipungkiri lagi karena adanya perbedaan kelas sosial ini menjadikan kesenjangan sosial yang terjadi dalam masyarakat semakin nampak. 

Selain isu-isu yang di sebuatkan di atastadi, critical psychology juga mengamati isu gender dalam masyarakat yang masih berlatarbelakangkan kebudayaan. Gender adalah rekayasa sosial, yang tidak universal dan memiliki identitas, politik, ekonomi, sosial, budaya, agama, etnis, adat, kelas, serta faktor sejarah, waktu dan tempat dan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi (Subady, 2007). Setiap budaya memandang berbeda-beda akan isu gender ini. Maka di indonesia ada istilah garis keturunan patrialis (garis ayah) dan matrialis (garis ibu). Isu gender ini bisa dilihat dari dua sisi yang berbeda, yang pertama dilihat dari gender roles yaitu isu gender yang dipengaruhi oleh sudut pandang budaya. Sedangkan sex roles yang berhubungan dengan perbedaan biologi seorang laki-laki dan perempuan. Sehingga muncullah istilah feminim dan maskulin. Sosok wanita cenderung dikaitan dengan pekerjaan rumah, mengurus anak, suami. Sedangkan sosok laki-laki cenderung dikaitkan dengan pekerjaan mencari nafkah dan hal-hal berat lainnya. Namun sekali lagi karena adanya arus grobalisasi dan perubahan jaman, peran itu semakin bergeser. Banyak wanita yang sekarang beralih peran menjadi wanita karir, dan tanggungjawab anak diserahan pada pengasuh. Dan laki-laki semkain sibuk dengan urusan pekerjaannya. Inilah mengapa culture dalam masyarakat semakin hari semakin tergerus oleh perkembangan jaman. Ini tinggal bagaimana tanggungjawab kita dalam mengahadapi perkembangan jaman yang semakin pesat ini tanpa mengabaikan dan mengacuhkan begitu saja peran dan hakikat kita sebagai bagain dari masyarakat. Apalagi Indonesia terkenal dengan keanekarahaman budayanya yang sangat membanggakan, tinggal bagaimana kita melestarikannya sehingga semkain berkembanglagi bukannya meninggalkannya dan budaya hanya tinggal menjadi formalitas saja. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Thankyou for reading :)