Rabu, 02 April 2014

[CERPEN] : WAKE (me) UP

Matahari masih saja menampakkan kegarangannya hari ini. Lalu apa yang Elsa cari ? Yah yang bisa dia lakukan sekarang hanya menyisir jalanan kota yang sudah terlalu bermakna untuknya.
"Ah orang-orang itu juga sendiri. Apa yang mereka takuti ?' Gerutu Elsa pada dirinya sendiri.
Pandangan Elsa tertujua pada seorang anak kecil yang sedang mengais-ngais tong sampah hanya untuk mencari sesuap nasi.
"Lalu apa yang aku cari ?" Elsa bertanya pada dirinya sendiri. 
Lagi-lagi Elsa mencoba untuk tidak menghiraukan segala pemandangan disekitarnya. Elsa terus berjalan seorang jalan yang dia lewati sama sekali tak berujung.

"Nak kasiani saya nak. Saya belum makan dari kemarin." Tiba-tiba langkah Elsa terhenti oleh rintihan seorang kakek tua yang tersudut dijalanan yang ramai ini. Tatapan mata Elsa langsung tertuju pada wajah sayu dan badan kurus berbaju combang camping dihadapannya. Elsa dalam sekejap tidak berkedip. Hanya mematung, seolah Tuhan segera memberi jawaban akan segala tanyanya. 
Elsa merogoh sepotong roti yang baru saja tadi dibelinya, dan diberikannya pada kakek tua itu tanpa berkata apapun. Tatapan Elsa hanya menerawang seolah inin menembus batin kakek tua itu.
"Apa ada pilihan lain ketika hidup dirasa tidak adil ? Inikah yang dinamakan dengan keadilan alam ?" Lagi-lagi Elsa hanya mampu menggerutu.

Rasa-rasanya lelah juga Elsa menyusuri jalanan kota Malioboro ini. Elsa menghentikan langkahnya di tempat itu. Ya lagi-lagi ditempat itu. Bukan tempat yang terlalu istimewa. Hanya sebuah tempat duduk sederhana. Namun seketika tatapan Elsa menerawang jauh.
"Aku sendiri. Lalu apa yang harus aku takuti ?" Elsa lagi-lagi menanyakan hal yang sama pada dirinya sendiri. Es yang sembari tadi dibelinya kini mulai mencair. Kenangan itu. Yah kenangan itu. Kenangan akan tempat ini juga membangkitkan Elsa pada sosok yang dirindukannya. Seorang sahabat yang dirindukannya. Seolah waktu berputar dengan cepatnya. Lantas siapa yang bisa menawar ego Sang Waktu ? Apa manusia bisa berbuat lebih ? Tidak. Kini Elsa hanya duduk menyendiri bertemankan dengan kenangannya. Orang yang biasanya disampingnya kini telah tiada.


"Kamu masih selalu datang ke tempat ini ?" Suara itu seolah berada dalam angan Elsa. Elsa mencoba menegakkan duduknya untuk memperjelas suara itu. Yah suara itu, begitu familiar di telinga Elsa. 
"Ah ini hanya imajinasiku saja." Elsa mencoba meyakinkan dirinya sendiri. Sebeginikah efek yang harus ditanggungnya. Dalam himpitan masalah yang seolah merobohkannya, Elsa hanya mampu menompangnya sendiri.

"Iya hanya ingin menepati janji. Aku akan selalu punya alasan datang kesini. Bukan karena kamu teapi karena tempat ini aku punya sejumput kenangan yang bisa menghidurku."Elsa akhirnya berani membalas suara itu. 
Keriuhan kota ini serasa tidak berarti untuk Elsa. Dia hanya sendiri. Menunggu waktunya kembali ke realita semula.

"Aku masih sehatkan. Apa separah ini keadaanku sekarang. Hingga aku tidak mampu lagi beroroentasi pada waktu. Tuhan ada apa denganku ini." Elsa mencoba menyadarkan dirinya sendiri.

"Woi Sa kamu dimanaaaaa ?" Lengking suara dari telepon itu mengagetkan Elsa dan membuatnya kembali berpijak pada realitanya sendiri. "Duh, iya iya nggak harus pake teriak juga kali." Teriak Elsa tak kalah kerasnya. "Aku tahu kamu dimana. Udah kamu disitu dulu sebentar lagi aku nyamperin kamu kesitu. Jangan kemana-mana." Teriak Tias lagi. Ah dia memang sahabat yang pengertian. Di tengah gempa hidup yang Elsaalami, selalu saja terselip satu orang yang masih mau tahu keadaan Elsa. Dia itu Tias.


"Non, are you okay ?" Tanya Tias tiba-tiba. "Maybe yes maybe no. Beginilah." Jawab Elsa engan. "Kamu kenapa lagi ? Kamu kangen kangen dia ?" Tanya Tias tanpa tendeng aling. 

Bukan lagi kata-kata yang sanggung Elsa bantah namun hanya air matanya yang seolah dari tadi di tanhannya. Secepat kilat juga Tias memeluk Elsa. 
"Aku takut As. Aku takut. Aku ngerasa sendiri. Aku harus gimana ?" Suara Elsa bahkan tenggelam oleh sesenggukannya. Tias tidak berkata apa-apa hanya pelukan yang mampu dia berikan saat ini.
Tias tahu apa yang Elsa harus lakukan, tapi Tias tidak bisa memaksanya. 
"Sa, kamu tahu apa yang harus kamu lakukan. Lepaskan dia. Biarkan dia pergi. Kamu tidak pernah sendiri. Ada aku disini yang selalu nemenin kamu. Jangan pernah takut." Tias mencoba meyakinkan Elsa.

Tangis Elsa masih juga belum reda. Seolah bom waktu. Dibalik ketegaran Elsa tersimpan kerapuhannya yang berusaha dia tutupi. Namun kali ini tangis itu akhirnya pecah juga.
"Aapa aku bisa lakukan lebih dari ini. Aku hanya ingin dia kembali. Cukup itu." Suara Elsa masih juga belum jelas.
"Sa, wake up. Kamu bisa melakukan lebih dari ini." Tias mencoba menenagkan Elsa.
"Tapi apa yang bisa aku lakukan ?" Tanya Elsa ragu.
"Tepati janjimu kalau kamu akan baik-baik saja disini." Sebaris kalimat yang diucapkan Tias seolah membekap sejuta alasan Elsa untuk berkilah dan membendung semua tangisnya yang baru saja pecah. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Thankyou for reading :)