Sabtu, 04 Agustus 2012

Dua Pemahat

Ada sebuah kisah tentang dua pemahat yang terkenal dengan pahatannya yang sungguh indah. Suatu ketika ada raja yang mengundang kedua pemahat itu untuk mengikuti perlombaan di istananya. Acara ini diadakan untuk menilai dan melihat pahatan siapa yang lebih bagus dan lebih indah. Mereka berdua diberikan ruangan besar dengan tembok-tembok batu berseberangan dan ditengah ruangan itu dibatasi oleh sebuah tirai kain yang memisahkan ke dua pemahat tersebut. Sempurna membatasi, menutup, dan pemahat tidak bisa melihat ke pemahat diseberangnya begitu juga sebaliknya. Mereka diberikan waktu satu minggu untuk menyelesaikan pahatan mereka untuk hasil yang terbaik dan terindah. 

Pemahat pertama memutuskan untuk menggunakan semua peralatan yang dimilikinya untuk membuat pahatan yang seindah mungkin. Dengan hiasan-hiasan, cat warna dan apapun itu untuk memperindah tembok batu miliknya. Orang itu memahat berhari-hari, tidak kenal lelah, demi ambisinya untuk menghasilkan pahatan yang indah dan bisa memukau raja. Dan ketika waktunya sudah habis, tirai yang membatasi kedua pemahat itu dibuka. Betapa tercengangnya pemahat pertama saat melihat hasil pahatan si pemahat kedua yang terlihat lebih indah dan bagus dibandingkan pahatan miliknya. Pemahat pertama tidak terima sehingga dia meminta waktu lagi kepada raja untuk memperindah pahatannya. Tirai kembali ditutup. Pemahat pertama dengan semangat dan tidak kenal lelah menambah apapun yang sekiranya bisa memperindah pahatannya lagi. Dia dengan tekun memanfaatkan waktu yang diberikan raja untuk berhasil mengalahkan hasil pemahat kedua. Setelah tambahan waktu habis, tirai kembali di buka. Dan betapa tambah terkejut dan tidak terimanya pemahat pertama, hasil pahatan pemahat kedua lagi-lagi lebih indah daripada miliknya. Pahatan itu terlihat berkilau dan mempesona. Pemahat pertama berteriak lagi kepada raja supaya diberi tambahan waktu untuk menambah elok lagi pahatannya sampai berulang-ulang. Namun semakin ditambah waktunya, hasil pahatan pemahat kedua semakin elok dan tidak bisa dipungkiri lagi akan mempesona siapa saja yang melihatnya. 

Sejatinya, pemahat kedua tidak melakukan apa-apa terhadap dinding batunya. Dia hanya memperhalus dinding batunya secemerlang mungkin, membuat dinding itu berkilau bagai cermin. Hanya itu yang dilakukan pemahat kedua dengan tambahan-tambahan waktu yang diberikan sehingga dinding batunya semakin lama semakin bertambah kemilau dan cemerlang. Dengan begitu ketika waktu habis dan tirau dibuka, dinding batu pemahat kedua hanya memantulkan hasil pahatan pemahat pertama. Itulah perbedaan orang-orang yang terlalu mencintai dunia dengan orang-orang yang bijak menyikap hidupnya. Orang-orang yang mencintai dunia terus menerus tidak akan pernah merasa puas seperti pemahat pertama. Mereka sanggup melakukan apapun itu untuk mendapatkan apa yang dia mau walupun itu belum tentu membuatnya puas dan berbangga diri karena akan selalu ada saja yang membuatnya merasa kurang. Tapi orang-orang yang bijak menyikapi hidup berhasil mengahaluskan hatinya secemerlang mungkin, membuat hatinya bagai cermin, maka mereka bisa merasakan hatinya lebih bahagia melebihi orang terkaya sekalipun. Orang-orang yang terlalu mencintai dunia terlalu terbuai oleh tuah yang dimilikinya untuk terus berkeinginan mengembangkannaa, tanpa memikirkan bagaimana menyikapi hidup dengan bijak dan lebih bisa bersyukur dengan apa yang telah dimilikinya. Mereka merasa terjebak dengan jalan dan kesempatan yang telah mereka miliki sehingga dengan ambisinya mereka harus bisa lebih dari apa yang telah dia dapat. Orang-orang yang keterlaluan mencintai dunia tetap tidak akan pernah menemukan jawaban dari dunia. Dari harta benda dan kehidupan duniawi semata. Itu mengapa kadang banyak orang yang terlihat memiliki segalanya, harta benda, kekuasaan apapun itu belum cukup menyugguhkan sesuatu yang membuat hati mereka tenang. Banyak dari mereka yang malah merasakan hidupnya kosong dan hambar karena kebijakakan mereka menyikapi hidup dengan sederhana termakan oleh ambisi yang tidak pernah terpuaskan oleh dunia. 

Beda halnya dengan mereka yang bijak menyikapi hidupnya, bahkan sesuap nasi jagung sekalipun bisa terasa nikmat tanpa harus protes karena mereka lebih bisa menyikapi hidup dengan sederhana dan menganggap kalau semua itu tetap menjadi anugrah yang indah dalam hidupnya. Simple, butuh rasa syukur untuk lebih membuka mata akan kesombongan dunia yang selalu memamerkan kemewahan tanpa tahu dan sadar esensi apa yang dicari. Mereka yang berhasil menyikapi hidup dengan sederhana, tulus hatinya, tidak akan pernah menuntut lebih akan dunia, mereka berjalan dengan seiringnya perjalanan hidup membawanya kemana, karena mereka lebih bisa merasakan esensi hidup yang sesungguhnya dengan ketenangan hati dengan cermin dihati yang mereka miliki. Sehingga, kadang cermin dihatinya itu yang akan memantulkan kebahagiaan yang mungkin kadang tidak pernah dimiliki oleh orang-orang yang bergelimpang harta. Orang-orang yang bijak menyikapi hidup merasa kaya dengan hatinya walaupun hidupnya terbatas oleh kesederhanaan. Bahagia itu sedernaha, bersyukur. 

Banyak yang bilang kalau dalam hidup ini yang dicari adalah kepuasan. Namun bukankah lebih bermakana kalau yang dicari dalam hidup ini adalah sebuah ketenangan dan kedamaian ? Contohnya saja para koruptor yang bergelimpangan harta, ingin apapun bisa dalam sekejap tercapai dan apapun itu bisa mereka miliki, mungkin dengan begitu mereka akan merasa puas dengan semua itu, tapi bagaiamana urusan dengan ketenangan hati mereka ? Dikejar-kejar oleh perasaan bersalah, harus pandai berdusta, dan lebih-lebih lagi mempergunakan sesuatu yang bukan menjadi haknya, mengorbankan orang lain demi ambisinya, apakah mereka bisa dikatakan orang bahagia ? Semua kembali lagi pada tujuan dan prinsip hidup masing-masing, di dunia ini hanya perjalanan semata, semua akan kembali pada masanya masing-masing, dan bukan semua itu yang dibawa. Manusia itu hanya butiran debu dan akan kembali menjadi debu, bukan harta, kekuasaan, dan kedudukan yang dipandang dan menjadi bekal namun perbuatan baik apa yang telah kita perbuat kepada sesama kita. So, tanyakan pada diri kita masing-masing, ingin seperti pemahat pertama atau kedua ? Apa artinya kemewahan namun hati kita miskin, kosong, dan hambar ?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Thankyou for reading :)