Minggu, 24 Februari 2013

dimanakah "sesama" itu (?)


Kita lahir dari sebuah keluarga. Kita adalah output dari keluarga kita. Kita besar dan tumbuh bukan hanya dalam keluarga saja. Namun kita merupakan bagian dari suatu sistem yang dinamakan dengan lingkungan. Lingkungan tempat dimana kita tinggal merupakan faktor penyumbang terbesar dalam proses perkembangan kita menjadi pribadi seperti sekarang ini. Oleh karena itu mengapa lebih sering dikenal dengan stereotip. Hal ini yang secara tidak langsung menjadi labeling bagi pribadi kita dari mana kita berasal dan kehormatan apa yang mau tidak mau harus kita jaga dan pertahankan. Ketika kita berbicara tentang masyarakat secara universal, kita tidak pernah bisa lepas dari kodrat kita sebagai mahkluk sosial. Dimana kita tidak bisa hidup sendiri tanpa adanya orang lain. Coba banyangkan kalau kita terlahir di dunia ini yang ada hanya ayah dan ibu kita, apa yang akan terjadi ? Apakah kita akan berkembang selayaknya manusia sosial lainnya ? Yap, bahasan kali ini akan menyinggung tentang artian sosial menurut sudut pandang pada jaman yang serba mutakir ini. Coba kita ucapkan berkali-kali dan rasakan apa yang berbeda ketika kita menyebutkan kata sosial. 



Bukan karena mengapa, bukan juga berhubungan dengan kognitif ataupun permainan lainnya. Namun yang lebih tragisnya kini, bahkan sosial itu semakin menyingkir dari tatanan kehidupan budaya Ketimuran kita. Banyak yang muncul, namuan lebih cenderung yang muncul itu adalah isu sosial. Apa ? Pasti setiap dari kita akan mempunyai jawabannya masing-masing. Kita tinggal di masyarakat yang multikultur, hingga isu yang munculpun sangat beranekaragam. Mulai yang sepele dan hingga masalah yang pelik. Oke, coba kita lihat konflik-konflik yang sering terjadi saat ini, tidak lagi konflik antar suku, bahkan satu sukupun bisa berkonflik karena pandangannya masing-masing. Kehidupan beragama yang seolah-olah menjadi momok yang menakutkan saat ini, bagaimana bisa kita tidak merasa terlindungi beribadah di tempat kita sendiri ? Mayoritas-minoritas itu tidak ada. Yang ada hanya pelebelan setiap kelompok yang menyatakan dirinya benar. Kita tinggal tetap dalam satu dunia, yang membedakan hanya jalan kita dan cara kita. Kalau mau dijadikan masalah pasti akan menjadi masalah. Toh, sebenarnya hidup ini tidak lagi perlu mempeributkan sesuatu untuk menjadikan masalah. Karena tanpa dicaripun masalah itu akan datang sendirinya. ini jalanku dan itu jalanmu, kita ibarat garis yang sejajar yang berjalan saling berdampingan, tanpa senggolpun kita tidak akan menjadikan konflik, saling menjaga keseimbangan itu dirasa sangat perlu dewasa ini. Namun kenyataannya, setiap kelompok merasa dirinya paling benar. Bahkan kebenaran mutlak dan kesalahan total itu tidak ada. Yang ada, kitanya sendiri yang selali mendeklarasikan kalau diri kita benar dengan segala pemikiran kita sendiri. Tapi kenyataannya, entah itu benar atau salah tidak ada yang tahu pasti. Inilah yang kadang menjadikan jalan yang berdampingan saling bersenggol dan saling membenarkan jalannya masing-masing.


Miris memang jika kita ingin menilik lebih jauh lagi apa yang terjadi saat ini. Seperti dunia yang sudah tumpang tindih atau mungkin berotasi dengan arah dan sumbu yang salah. Seakan manusia menjadi ratu dan raja akan hidupnya masing-masing dengan mengejar kemewahan, kekayaan, dan kekuasaan. Mungkin dengan begitu mereka berpikiran dunia akan menjadi miliknya dan dia sendiri yang menentukan arah ronda kehidupannya berputar. Bagai hidup di negeri dongeng setiap tokoh ingin mengusahakan dirinya menjadi sosok peran utama yang bisa menghandle cerita kehidupannya. Berlomba-lomba untuk sesuatu yang pada akhirnya hanya akan melahirkan dan mengembangkan kesombongan. Rasa-rasanya topeng-topeng dan kenaifan itu semakin bertebaran atau bahkan seperti virus yang sudah merebak dan menjangkiti setiap orang yang "keblinger" dengan kegemerlapan duniawi. Apa pernah bagi mereka yang berlomba-lomba mencari kesenangan sedikit saja terbayang akan akhir dari semua itu ? Sebentar saja kita berbicara tentang akhir dari semua ini. Kemana lagi manusia akan bisa lari jika kematian sudah menjemputnya ? Ketika orang berlomba menjari kekuasaan untuk mendapatkan kedudukan hingga ketamakan merajalela dan semuanya bahkan bisa membuatkan mata. Tidak bisa dipungkiri lagi, korupsi saat ini seperti sudah sangat membudaya. Mengapa ? Karena itu seperti sebuah terusan yang akan turun temurun dari generasi ke generasi ? Bagaimana caranya memusnahkan kerupsi yang sudah membudaya itu ? Kita memotong arus budaya itu di satu titik generasi ? Mustahil sepertinya. Mengapa ? Karena kini semboyan itu bergeser "jujur kui ajur" Taukah apa itu artinya ? Sekarang kejujuran seperti sebuah sesuatu yang tabu. Bahkan perlu dipertanyakan masih ada atau tidak kejujuran itu sendiri. Terlalu naif memang jika membicarakan kejujuran ditengah kepalsuan yang sangat kental saat ini. Sok suci dengan kata-kata jujur, itu pasti celotehan mereka yang lupa atau bahkan tidak kenal sama sekali apa itu kejujuran.

Dimanakah "sesama" itu? Apa itu ? Jarang lagi terdengar kata itu. Yang ada sekarang kompetitor, musuh, pesaing, dan apalah. Setiap orang ingin menunjukkan jati dirinya. Ingin terpandang, ingin terlihat yang paling unggul, atau mungkin ingin terlihat yang paling segalanya ? Inilah realitanya saat ini. Tidak bisa berbabibu lagi jika kita ingin mengatakan tegakkan keadilan, hapus korupsi, berantas koruptor, dan segala macam tetek bengeknya. Karena itu semua ibarat omong kosong. Seperti berteriak di tengah padang gurun yang tidak ada seorangpun yang mendengarkan. Karena apa yang sebenarnya menjadi pantangan kini sudah menjadi tradisi. Kehidupan sekarang yang sudah terbiasa dengan "dugem", coba ada salah satu yang menganggap dugem itu tabu pasti akan segera terlempar kata "cupu" dari mulut mereka yang sudah terbiasa dengan kehidupan itu. Mengapa ? Karena itu sudah menjadi sebuah bagian dari kehidupan sebagian orang dan akhirnya menjadi sebuah kebiasaan, seperti kita makan, minum, butuh pakaian dan semacamnya.

Dimanakah "sesama" itu ? Sering terdengar akhir-akhir ini "miskin dilarang sakit". Sungguh miris jika melihat kasus yang akhir-akhir ini sering diberitakan di televisi. Kisah nyata yang dialami oleh kembar Dara-Dera yang akhirnya salah satu dari mereka harus kehilangan nyawa karena mahalnya sebuah "pertolongan" bagi si miskin. Dimanakah arti sesama itu ? Rumah sakit yang menjadi tempat pelayanan umum bagi masyarakat seolah tidak bisa lagi diharapkan pertolongannya. Dokter-dokter, perawat dan semua jajaran rumah sakit. Dimana mereka ? Masihkan ada istilah 'sesama" ? Realistinya, dokter sekolah mahal-mahal, untuk apa ? Ya, suapa nantinya bisa hidup layak dengan pendapatan dokter yang luar biasa. Masihkah ada dokter yang mengabdikan dirinya untuk masyarakat ? Seperti sebuah oase di padang gurun jika kita masih bisa menemuinya, kenyatannya itu 1 : 10. Banyak dari kita berlomba-lomba untuk mendapatkan pendidikan yang tinggi buat hidup layak kelak, itu sah-sah saja dan wajar bagi setiap orang. Namun terdengar luar biasa jika ada dari kita yang bersusah payah saat ini untuk nanti mengabdikan diri untuk "sesama". Meraka yang masih menganggap sesama itu ada adalah pribadi yang mampu melihat dunia dari sisi lain. Apa lagi yang bisa kita harapkan dari dunia yang hampir rancu ini ? kembali lagi pada setiap pribadi orang bagaimana menyikapi segala polemik yang terjadi saat ini. Bijaksana terhadap kehidupan yang semakin keras, laksana tetesan air di teriknya mentari pagi. Ketika orang melihat harapan itu masih ada, walaupun di tengah kecamuk dunia yang semakin tidak menentu ini, akan ada sebuah petunjuk yang akan membimbing bagi hati-hati yang memuliakan kasih. Karena ia akan menjadi terang bagi kegelapan yang semakin melingkupi dunia. Ketika tidak ada cahaya lagi, kemuliaan hati akan menjadi pelita dalam sayup-sayup pergolakan. "Sesama" itu masih hidup dan akan terus hidup bagi mereka yang masih mengenal "kasih". Karena kasih itu murah hati, kasih itu sabar, kasih itu  tidak berkesudahan, kasih itu lemah lembut, kasih itu memaafkan, dan kasih itu sederhana. Kita tidak akan mengenal sesama kalau kita tidak tahu apa itu kasih. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Thankyou for reading :)