Kamis, 04 April 2013

Logika Vs Perasaan

Dua sisi yang selalu memiliki keterkaitan namun mereka kadang menemukan titik untuk bertolakbelakang. Sebuah persimpangan yang menemukan dimensi untuk mengatakan sebuah perbedaan. Antara arah, tujuan dan makna. Mereka seakan berinteraksi untuk menentukan sikap yang nantinya akan dipilih. Menjadi sebuah titik balik untuk menemukan sebuah perumpamaan. Ketika momen itu tiba mereka saling tarik menarik untuk menjadi yang terdepan dan terunggul. Membisikkan langkah mana yang akan dipilih. Menuntun dengan bisikan yang membawa pada sebuah dimensi untuk menentukan titik akhir dalam sebuah penemuan. Mereka ada untuk menjadi sebuah cermin. Ketika duia sisi ini saling membutuhkan ada sebuah masa dimana mereka memerlukan waktu untuk berkompromi. Dua sisi yang nantiny akan berkolaborasi dalam penentuan akhir yang akan terucapkan.

Logika. Sebuah pertimbangan akan dunia luar. Akan rasional sebuah kenyataan yang mau tidak mau menjelaskan titik permasalahan yang tidak bisa ditawar lagi. Dia memberi cara untuk mengerti dengan kebermaknaan yang jelas tanpa babibu lagi. Logika menghantarkan kita pada masa dimana ada norma yang perlu ditaai. Logika menawarkan kejelasan, karena sejatinya dia tegas. Dia lebih melihat dunia dengan apa adanya tanpa tendeng aling untuk di hilangkan dari kenyataan yang ada. Logika memberikan refrensi untuk lebih menemukan kejelasan yang nyata tanpa pembohongan yang terbiasa dibuat untuk melumasi sesuatu hingga nyatanya hanya menjadi kamuflase. Logika membisikkan dunia secara gamblang, logika tidak mengenal kata nanti-nanti, karena inilah realitanya.

Perasaan. Dia masih mengenal apa itu yang namanya belas kasih. Dia tidak memandang siapa dan dari mana.  Perasaan lebih bisa menerima keadaan dengan lebih fleksibel. Dia tidak kaku, masih mau mendengarkan logika berkata. Perasaan menuntun pada sebuah sudut pandang yang lain untuk membukakan alternatif dari apa yang kenyataannya terjadi. Perasaan masih bisa mentolerir apa yang tidak bisa dimaafkan, karena perasaan itu lembut tanpa ada sebuah keterpaksaan untuk ditaati. Perasaan memiliki cara untuk meluluhkan. Dia tahu bagaimana dia harus menyesuaikan. Namun kadang perasaan terlalu membawa pada kenyataan untuk terlampau memaksakan keadaan. Perasaan membawa pada titik untuk meratapi kenyataan yang ada. Dia lebih peka terhadap rasa yang terlalu mendalam. Karena sejatinya perasaan mengerti kapan dia harus mengerti.

Ini sebuah dilema. Dimana dua sisi yang ada dalam diri mengatakan hal yang berbeda. Menyerah dan realistis itu beda tipis, atau bahkan tidak bisa lagi di bedakan. Ini kenyataan untuk mengungkap apa yang sebenarnya terjadi, tidak pilih kasih lagi, karena sejatinya logika diminta untuk memainkan perannya secara apik. Perasaan hanya membawa pada titik untuk terus meratapi hal yang hanya akan menghalangi langkah ke depan. Ketika tidak ada lagi titik temu, saat itulah logika mengatakan apa adanya karena perasaan hanya akan semakin melarutkan pada hal yang seharusnya bisa ditinggalkan dengan terus belari tanpa membalikkan badan lagi pada masa yang telah jauh tertingga. Karena inilah realita yang terjadi.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Thankyou for reading :)