Seberapa percaya
kamu akan keajaiban itu ? Yah, apa yang bisa manusia perbuat untuk sebuah
keajaiban itu ? Kita menyiapkan lahannya dan biarlah Tuhan berkerja atas apa
yang tidak bisa kita lakukan. Ketika penantian terbuang dengan percuma. Mungkin
memang ada yang salah dalam hal ini ? Oh bukan hal ini, namun lebih tepatnya
konsep ini. Buat apa menunggu sesuatu yang percuma ? Tapi sebenarnya apakah ada
sesuatu yang percuma itu ? Ah mungkin omong kosong untuk hal satu ini. Lebih
tepatnya lagi lebih terbuka akan kenyataan. Yah, kenyataan. Realita yang memang
sebenarnya terjadi. Kadang mata ini lebih tertutup oleh kenyataan yang ada di
depan, dan mengabaikan begitu saja realitas yang terjadi. Masih tetap
dimanjakan oleh sebuah spekulasi “mungkin saja” atau mungkin semacamnya. Tapi
kenyataannya, pikiran ini bahkan terlalu bebal untuk dibujuk kalau kenyataan
yang terjadi jauh dari imajinasi semata. Perlahan-lahan, pasti semuanya akan
teridentifikasi. Seperti sebuah cerita yang mengambang, dan mencoba mencari
endingnya, hingga ending itupun ditemukan, dan kenyataannya apa yang terjadi
bukan seperti yang ada di spekulasi semata. Yah, mungkin selama ini perasaan
ini hanya terlalu dimanjakan oleh harap-harap cemas yang diciptakan sendiri.
Mencoba membujuk semesta untuk menjadikan pikiran itu nyata, namun jika
ternyata bukan itu kejadiannya, apakah harus dipaksakan ? Mencoba untuk
meredamkan euforia yang tercipta dalam benak sendiri. Coba bernegosiasi dengan
diri sendiri untuk lebih terbuka akan realita. Realita ? Masih haruskan
dipertanyakan, kalau kenyataannya jarak itu semakin jauh dan jauh, bahkan sudah
tak bisa lagi terukur. Oh ternyata yang mendekatkan selama ini hanya sugesti
yang memberi harapan palsu. Termakan oleh spekulasi sendiri. Mana kenyataan itu
? Hei, coba sebentar. Coba renungkan keadaan ini. Ingatkah dengan satu kata ini
? “REALISTIS” Ketika harapan tidak sesuai dengan kenyataan, saat ini logika
harus dimainkan. Ini bukan sebuah novel yang kisahnya bisa diputar balik sesuai
dengan keinginan. Ini dunia nyata, bahkan bukan lagi sebuah dunia dongeng atau
mungkin dunia khayalan. Buka mata, coba lihat disekeliling. Masihkah mau
dipaksakan keadaan ini ? Redamkan sejenak sugesti itu, mungkin benar, hanya
termakan sugesti. Hingga logika mampu dilumpuhkan dan mata tertutup oleh
kenyataan yang tersaji dengan jelas. Redamkan sebentar apa itu yang dinamakan
dengan “feel”. Biarkan logika itu berjalan sebagaimana mestinya. Biarkan dia
mengatakan, biarkan dia yang menunjukkan ketika hati terbutakan oleh harapan.
Oh ya, pasti logika akan membisikkannya lewat kata hati. Bahkan hati pula yang
akhirnya menentukan. Biarkan dia lebih realistis. Lalu apa bedanya dengan
menyerah ? Ini bukan menyerah. Ini hanya lebih melihat pola dari apa yang
terjadi. Relaistis lebih memberikan jalan untuk logika bermain ketika usaha itu
telah sepenuhnya tercurahkan. Menunggu, mungkin itu usaha yang terdengar dengan
percuma. Seperti orang bodoh yang menunggu pelangi disiang bolong, bagaimana
bisa kalau tidak ada hujan atau semacamnya hingga menjadikan indahnya pelangi ?
Bahkan kini menunggu terdengar konyol kalau hanya menunggu tanpa usaha yang
pasti. Kesempatan kedua, ketika dan keajaiban sekalipun itu ada karena ada
usaha. Tapi apa yang bisa diwujudkan dengan menunggu ? Percuma. Omong kosong.
Hei, ini lebih pada menyerahkah ? Bukan. Ini lebih pada realistis. Melihat kenyataan
sudah tak berpihak lagi, biarkan akal sehat yang menentukan. Hingga realistis
dan menyerah itu beda tipis. Bahkan tidak bisa dibedakan lagi. Namun kali ini
entah apa namanya, yang pasti jalan itu sudah tertutup. Sekeras apapun menunggu
kalau tidak ada celah sepertinya semua akan percuma. Lalu apa yang bisa
diperbuat ? Ikhlas. Ah terlalu terdengar seperti sebuah lelucon klasik. Ikhlas,
ikhlas dan ikhlas. Toh, ketika pintu itu sudah tertutup apa boleh buat kalau
bukan mencari pintu lain yang masih terbuka. Serahkan pada waktu, biar dia yang
menjawabnya, hingga pada kahirnya apa yang akan terjadi. Jika ternyata itu yang
dinamakan dengan keajaiban masih berlaku pasti akan ada celah. Namun jika tak
ada jalan lagi, akan ada jalan lain untuk mewujudkan sebuah harapan. Bukan lagi
terjebak dalam menunggu, menunggu yang memaksakan untuk menyerah namun
membiarkan akal sehat membuka mata untuk berpikir realistis.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Thankyou for reading :)