Senin, 11 Maret 2013

terjebak dalam istilah menunggu


Seberapa percaya kamu akan keajaiban itu ? Yah, apa yang bisa manusia perbuat untuk sebuah keajaiban itu ? Kita menyiapkan lahannya dan biarlah Tuhan berkerja atas apa yang tidak bisa kita lakukan. Ketika penantian terbuang dengan percuma. Mungkin memang ada yang salah dalam hal ini ? Oh bukan hal ini, namun lebih tepatnya konsep ini. Buat apa menunggu sesuatu yang percuma ? Tapi sebenarnya apakah ada sesuatu yang percuma itu ? Ah mungkin omong kosong untuk hal satu ini. Lebih tepatnya lagi lebih terbuka akan kenyataan. Yah, kenyataan. Realita yang memang sebenarnya terjadi. Kadang mata ini lebih tertutup oleh kenyataan yang ada di depan, dan mengabaikan begitu saja realitas yang terjadi. Masih tetap dimanjakan oleh sebuah spekulasi “mungkin saja” atau mungkin semacamnya. Tapi kenyataannya, pikiran ini bahkan terlalu bebal untuk dibujuk kalau kenyataan yang terjadi jauh dari imajinasi semata. Perlahan-lahan, pasti semuanya akan teridentifikasi. Seperti sebuah cerita yang mengambang, dan mencoba mencari endingnya, hingga ending itupun ditemukan, dan kenyataannya apa yang terjadi bukan seperti yang ada di spekulasi semata. Yah, mungkin selama ini perasaan ini hanya terlalu dimanjakan oleh harap-harap cemas yang diciptakan sendiri. Mencoba membujuk semesta untuk menjadikan pikiran itu nyata, namun jika ternyata bukan itu kejadiannya, apakah harus dipaksakan ? Mencoba untuk meredamkan euforia yang tercipta dalam benak sendiri. Coba bernegosiasi dengan diri sendiri untuk lebih terbuka akan realita. Realita ? Masih haruskan dipertanyakan, kalau kenyataannya jarak itu semakin jauh dan jauh, bahkan sudah tak bisa lagi terukur. Oh ternyata yang mendekatkan selama ini hanya sugesti yang memberi harapan palsu. Termakan oleh spekulasi sendiri. Mana kenyataan itu ? Hei, coba sebentar. Coba renungkan keadaan ini. Ingatkah dengan satu kata ini ? “REALISTIS” Ketika harapan tidak sesuai dengan kenyataan, saat ini logika harus dimainkan. Ini bukan sebuah novel yang kisahnya bisa diputar balik sesuai dengan keinginan. Ini dunia nyata, bahkan bukan lagi sebuah dunia dongeng atau mungkin dunia khayalan. Buka mata, coba lihat disekeliling. Masihkah mau dipaksakan keadaan ini ? Redamkan sejenak sugesti itu, mungkin benar, hanya termakan sugesti. Hingga logika mampu dilumpuhkan dan mata tertutup oleh kenyataan yang tersaji dengan jelas. Redamkan sebentar apa itu yang dinamakan dengan “feel”. Biarkan logika itu berjalan sebagaimana mestinya. Biarkan dia mengatakan, biarkan dia yang menunjukkan ketika hati terbutakan oleh harapan. Oh ya, pasti logika akan membisikkannya lewat kata hati. Bahkan hati pula yang akhirnya menentukan. Biarkan dia lebih realistis. Lalu apa bedanya dengan menyerah ? Ini bukan menyerah. Ini hanya lebih melihat pola dari apa yang terjadi. Relaistis lebih memberikan jalan untuk logika bermain ketika usaha itu telah sepenuhnya tercurahkan. Menunggu, mungkin itu usaha yang terdengar dengan percuma. Seperti orang bodoh yang menunggu pelangi disiang bolong, bagaimana bisa kalau tidak ada hujan atau semacamnya hingga menjadikan indahnya pelangi ? Bahkan kini menunggu terdengar konyol kalau hanya menunggu tanpa usaha yang pasti. Kesempatan kedua, ketika dan keajaiban sekalipun itu ada karena ada usaha. Tapi apa yang bisa diwujudkan dengan menunggu ? Percuma. Omong kosong. Hei, ini lebih pada menyerahkah ? Bukan. Ini lebih pada realistis. Melihat kenyataan sudah tak berpihak lagi, biarkan akal sehat yang menentukan. Hingga realistis dan menyerah itu beda tipis. Bahkan tidak bisa dibedakan lagi. Namun kali ini entah apa namanya, yang pasti jalan itu sudah tertutup. Sekeras apapun menunggu kalau tidak ada celah sepertinya semua akan percuma. Lalu apa yang bisa diperbuat ? Ikhlas. Ah terlalu terdengar seperti sebuah lelucon klasik. Ikhlas, ikhlas dan ikhlas. Toh, ketika pintu itu sudah tertutup apa boleh buat kalau bukan mencari pintu lain yang masih terbuka. Serahkan pada waktu, biar dia yang menjawabnya, hingga pada kahirnya apa yang akan terjadi. Jika ternyata itu yang dinamakan dengan keajaiban masih berlaku pasti akan ada celah. Namun jika tak ada jalan lagi, akan ada jalan lain untuk mewujudkan sebuah harapan. Bukan lagi terjebak dalam menunggu, menunggu yang memaksakan untuk menyerah namun membiarkan akal sehat membuka mata untuk berpikir realistis.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Thankyou for reading :)