Senin, 10 Maret 2014

DEBU

Manuisa itu memang mahkluk yang rumit. Susah untuk imengerti namun bukan berarti tidak pernah bisa. Mungkin hanya butuh sebuah teknik saja untuk memahami apa yang sebenarnya terjadi pada manusia. Dengan pemikirannya, ide, gagasan, dan perasaannya manusia selalu tampak anggun memainkan perannya sebagai mahkluk Tuhan yang memang sejatinya menjadi mahkluk pemikir. Manusia memang dibekali oleh akal, budi dan karsa untuk menjadikan kehidupan ini selaras. Namun bagaimana ketika esensi manusianya itu telah menghilang ? Rasa-rasanya semakin sulit untuk mentolelir yang terjadi pada manusia. Ada titik-titik dimana manusia bertumbuh dengan keadaan yang membawanya pada fase yang memang seharusnya mereka lalui. Masa kanak-kanak, masa remaja, masa dewasa, dan pada akhirnya masa lanjut usia. Oh begitulah perjalanan hidup manusia. Manusia hanya diminta untuk melakukan perannya dengan apik, lalu skenario itu sudah ada dengan apiknya dibuat untuknya. Tapi banyak manusia selalu meenggerutu dengan jalan yang sudah ditetapkan untuknya. Ingin begini, bukan begini, seharusnya begitu dan rutukan lainnya. Oh sungguh manusia ini memang juaranya kalau diminta untuk menggerutu. Selalu menuruti keinginan sendiri dan terlalu memaksakannya itu yang dinamakan ego manusia. Tidak pernah merasa puas dengan apa yang didapatnya. Seolah semuanya harus menjadi miliknya. Ketika pemikiran-pemikiran liar sudah terasa angkuh dan mengorbankan banyak keinginan orang, lantas dimana letak bela rasa itu ? Ah disaat seperti ini rasanya munafik kalau orang masih diminta untuk memperhatikan kepentingan orang lain. Seperti 1 : 1000. Sejauh itukah rasio keberadaan bela rasa itu diantara sesama manusia saat ini ? Tidaklah cukup untuk menjadi orang yang selalu tampil dengan tampang sok sucinya. Semua orang nampak dengan anggun menutupi kedoknya untuk memenuhi hasratnya. Seolah matanya tertutup untuk merampas kebahagiaan yang lain, dan untuk apa ? Ya untuk kepuasaan dirinya sendiri. Manusia seolah tidak ada bedanya antara satu dengan yang lain. Semua berbaur dengan dunia yang semakin menua ini. Lantara skenario itu apa gunanya ? Skenario itu tetaplah yang terkuat. Siapa yang bisa melawan skenario yang orang sering menyebutnya dengan istilah takdir ? Ah rasanya mustahil jika ingin beringkar dari jalan itu. Setangguh-tangguhnya manusia, dia tidak ada bedanya dengan debu. Manusia bisa terbang dan terombang ambing oleh angin yang membawanya. Bahkan seolah manusia tidak ada artinya, manusia hakikatnya hanyalah debu. Manusia tidak akan ada artinya tanpa penyerahan seutuhnya hingga menyadari bahwa manusia itu penuh dengan kelemahan. Lihat saja debu. Apakah mereka sebenarnya diperhatikan orang ? Tidak. Debu selalu tidak nampak jelas oleh pengelihatan. Mereka bisa terbawa kemanapun angin emnerbangkannya. Hingga debu itu jatuh ditempat yang semestinya. Karea debulah kita. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Thankyou for reading :)