Rabu, 23 Oktober 2013

Ha ? Apa ? Sabar ? Iya.

Pertanyaan retoris macam apa yang ingin kamu tanyakan tentang sabar ? Kamu mau menanyakan apa itu undefined. Walaupun banyak orang mencoba untuk mendefinisikan dengan kata-katanya sendiri. Namun sabar itu adalah sebuah rasa. Rasa yang mampu diartikan dengan jutaan kata ataupun kalimat dalam paragraf-paragraf ekspresif tentang sesuatu yang dirasakan. Menuliskan semua kata-kata tentang sabar tidak akan ada artinya jika kamu tidak mau membuang egoismu yang bahkan semakin lama semakin membatu itu. Sabar itu kamu juga mampu menerima sebuah kenyataan sebagaimana tidak harus sesuai dengan keinginanmu. Lalu siapa kamu ? Harus segala sesuatunya terjadi sebagaimana apa yang kamu kehendaki ? Canggih sekali kamu. Selalu mengatakan "aku sosok yang sabar" tapi kenyataannya kamu ingin mempercepat atau merekayasa segalanya menjadi seperti apa yang kamu mau. Seluruh dunia harus standing applause kalau nyatanya kamu mampu melakukan itu. Ah, rasa-rasanya tidak akan ada habisnya bicara dengan kamu yang masih mempertahankan keegoisanmu yang super itu. Lalu bagaimana dengan aku ? Ha ? kamu menanyakan aku ? Yah, aku memang egois. Coba-coba saja katakan bagian mana hingga aku nampak begitu arogan dengan segala yang ada padaku ? Siapa aku ? Sudah jangan tanyakan itu. Coba kita kembali ke kata sebelumnya. Sabar. Ini bukan tentang aku dan kamu. Tapi ini tentang satu kata itu. Sabar.

sabar ? kamu ingin menanyakan seperti apa itu sabar ? Atau mungkin kamu ingin menanyakan harus berbuat apa supaya sabar ?  Atau masih adakan pertanyaan-pertanyaan lainnya suapaya memenuhi rubik-rubikmu namun jarang kamu baca atau bahkan jarang kamu praktekkan. Ah semacam sebuah omong kosong. Oke jika itu maumu, coba duduklah sebentar, letakkanlah egomu yang seolah-olah tiada tandingannya itu. Sabar ? mungkin jika memang mengenakkan, sabar itu bisa dipandang seperti sebuah cupcake yang enak untuk dimakan atau mungkin cuma bisa dinikmati untuk dilihat saja. Sabar itu, sebuah kata sifat. Sabar itu sesuatu yang tanpa batas. Sabar itu sesuatu yang kadang tidak butuh sebuah jawaban dari pertanyaan apa, mengapa dna kapan. Karena sabar itu sebuah penantian. Karena sabar itu sebuah kata yang tidak mengenal istilah lelah. Lalu mengapa menunggu itu selalu identik dengan kata sabar ? Apa menunggu itu juga masuk dalam kategori kata sifat ? Entahlah sepertinya soal tatanan bahasa atau teori-teori tentang bahasa aku terlalu payah untuk tahu soal itu. Menunggu itu adalah merentangkah jaring kesabaran dan siap untuk sebuah batas yang tipis antara kecewa dan bahagia. Yah, sabar itu selalu memberikan sebuah ruang untuk menciptakan dimensi lainya sehingga dia memampu melebarkan layarnya untuk sebuah perjalanan jauh sekalipun. Sabar itu tidak bisa disamakan pengertiannya antara satu orang dengan orang lainnya. Sabar memiliki ranahnya sendiri untuk memapu dipahami oleh orang yang ingin mengenalnya. Sabar dalam penantian, sabar menunggu, lalu sabar yang seperti apa lagi ? Bahkan nama sabar bisa jadi disematkan sebagai sebuah nama seseoorang, mungkin dengan nama itu sebuah harapan ada untuk lebih bisa memaknai semuanya dengan rasa sabar. Yeah, rasa sabar. Sabar itu juga semacam rasa. Rasa yang

Dari pagi bangun, harus sabar menanti sore dan malam menjelag. Ingin makan, harus sabar jika harus antri untuk membelinya. Ingin mengambil uang, harus sabar untuk mengantrinya di ATM. Lalu bisakah kita menarik sebuah kesimpulan kalau sabar itu bisa menjadi satu inti kalimat dalam segala hal ? Mungkin bisa jadi seperti itu. Oke. Lupakan tentang sebuah kesimpulan itu. Kita hanya mencoba menjabarkan sebebuah kata sabar menurut persepsi sat uarah. Dari sini. Dari sebuah omongan yang mungkin akan menjadi angin lalu buat kamu. Istilah umumya, masuk telinga kiri keluar telinga kanan. Jaminan apa yang mau kamu berikan kalau omongan tentang sabar ini akan selalu kamu ingat bahkan kamu renungkan ? Sepertinya kamu adalah seorang pengingat yang payah akan sebuah omongan atau mungkin tentang sebuah memori. Ups, maaf jika harus menyinggung tentang memori disini. Bahkan setiap orang rasa-rasanya juga harus sabar untuk menunggu waktu dan membiarkan waktu menyingkap semua memori tentang sebuah kenangan. Penantian akan datangnya masa yang baru, bukan  tentang masa yang itu lagi. Itu ? Yang mana ? Yang itu, yang mungkin sepantasnya menjadi sebuah lelucon untuk diingat bukan untuk menjadi sebuah pembangkit rasa sendu jika sekali dua kali atau bahkan berkali-kali jika mengingatnya. Oh yah, lupa. Bukannya kmau meminta untuk melupakannya ya ? Semacam perintah dan suruhan yang bodoh kalau menurutku. Macam apapula suruh melupakan sebuah ingatan ? Bukannya ini melawan kodrat manusia untuk mengingat ? Lalu haruskah semacam amnesia untuk mampu melupakan semuanya ? Kedengarannya sebuah lelucon yang bodoh. Sabar. Tenang. Waktu akan amat sangat berbaik hati sekali untuk menguapkan setiap detail kenangan yang nyatanya tanpa dimintapun akan menguanp dan menghilang dengan sendirinya. Akan tersisih dan tersimpan dalam sebuah ruang yang mungkin akan terkunci juga oleh waktu. Kurang apa lagi obrolan kita tentang sabar ? Mau berapa ratus kalimat lagi aku diminta untuk menjelaskan tentang satu kata itu. Sini, coba aku bisikin sesuatu. Ini tentang sebuah rahasia, entah benar atau tidak namun patut untuk dicoba. Kamu tidak akan pernah ada habisnya jika menanyakan tentang sabar itu seperti apa, karena kalau kamu tahu sabar itu tidak terhingga dan tak terdefinisi. Kamu akan tahu dan merasakan sabar jika kamu mau melakukan segalanya dengan tulus. Jika kamu percaya pada sebuah keajaiban, nah saat itu kamu aka tahu sabar itu apa. Hingga sabar itu mampu membawamu pada pemahaman akan sebuah dunia baru yang membuat kamu mengerti apa itu percaya dan sebuah mukjizat. 


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Thankyou for reading :)