Minggu, 26 Mei 2013

Lampion

Indonesia dikenal sebagai negara yang kaya akan segala macam bentuk budaya, alam, penduduk, suku dan segala macam yang ada di dalamnya. aku, kamu, kita saling hidup berdampingan satu sama lain. Kita saling menyapa, kita saling bertukar cerita, dan kita saling bergandengan tangan untuk menuju sebuah negara yang lebih berbudaya. Indonesia terkenal sebagai salah satu negara yang masih memegang teguh adat ketimurannya. Mengapa begitu ? Karena semakin maraknya arus globalisasi yang trejadi akhir-akhir ini, Indonesia berusaha keras untuk menunjukkan ciri khas Indonesianya yaitu negara yang masih beradat, berbudaya dan bersopan satun. Karena banyaknya ragam masyarakat yang ada di Indonesia, kita tidak bisa trepisah dari apa itu namanya mainstream dan anti mainstream. Sebuah kata-kata yang mungkin tidak asing lagi ditelinga kita. 

Mainstream sendiri berarti sesuai dengan kebanyakan orang pada umumnya. Fenomena yang trejadi saat ini, ketik asemua orang marak menggunakan smartphone maka semua orang berlomba-lomba untuk menggunakannya juga, entah itu efektif digunakan atau hanya untuk mengikuti perkembangan jamannya saja. Sedangkan antimainstream sendiri lebih pada melawan arus yang sedang terjadi, kalau saja kebanyakan orang berajalan kearah kanan, yang anti-mainstream akan berjalan melawan arah ke kiri. 

Namun kali ini kita tidak akan membahas tentang kemainstreaman dan keanti-mainstreaman yang terjadi akhir-akhir ini. Namun disini akan dibahas tentang perayaan acara Waisak. Dimana perayaan Waisak yaitu hari suci saudara kita umat Budha. Mereka merayakan hari besarnya setelah setahun dinanti dengan penuh pengharapan. Umat Budha layaknya seperti umat agama lainnya, dimana kita mengharapkan ketenangan dan kedamaian ketika menrayakan hari besar yang ditunggu-tunggu selama setahun. Ketika momen itu datang banyak umat Budha yang merayakannya dengan penuh sukacita, pengharapan dan segala macam bentuk permohonan lainnya. Namun, seperti perayaan acara Waisak yang diacarakan semalam di Borobuder banyak hal yang membuat saya bertanya-tanya akan penyelenggarannya sendiri. Ketika mereka semua beribadah, mungkin ketenangan dan kedamaian yang mereka cari, tapi mengapa hal ini dijadikan sebagai momentum kedatangan para wisatawan dari berbagai macam penjuru untuk mengikuti ritual yang diadakan oleh umat Budha yang merayakan hari besarnya. Banyak orang datang mengharapkan untuk lebih dekat bisa menikmati keindahan pada saat upacara ceremonial pelepasan lampion dan satu lampion dijual pada pengunjung yang datang seharga  Rp 100.0000,00 Awalnya kita semua yang datang kesitu sudah saling berdesak-desakakn untuk mendapatkan stiker yang disana bisa kita tulis wish yang nantinya bisa ditukar dengan lampion yang sudah dipesan. Namun karena keadaan semalam yang hujan lebat, membuat acara pelepasan lampion ditunda sampai waktu yang belum bisa diketahui. Hal ini membuat banyak pengunjung kecewa. Mereka berharap bisa melewati momen setahun sekali ini lebih dekat namun speertinya alam mengatakan hal lain. Dan pada saat itu juga saya berpikiran, "atau mungkin malam ini Tuhan memang sengaja membuat hujan supaya kedamaian dan ketenangan umat Budha yang melakukan ibadah tidak terganggu ?" Tapi pada kenyataannya bukannya pengunjung berkurang atau gimana, namun banyak pengunjung yang ricuh karena banyaknya yang datang dan mereka berebut untuk mendapatkan hak mereka kembali yaitu uang seratus ribu. Belum lagi yang disayangkan, kawasan Borobudur yang awalnya bagus dan ditata apik menjadi tidak karuan karena sampah yang dibuang sembarangngan belum kawasan yang rusak karena pengunjung yang ricuh dan terllau banyak. Mainstream memang banyak orang yang datang ke situ untuk tidak melewatkan moment pelepasan lampion.
Tapi kenyataan berkata lain.


Bahkan ditengah kerumunan orang yang berteduh di payungnya masing-masing ada sepasang calon pengantin yang melakukan foto pre-wedding. Mungkin niat mereka tidak mau melewatkan pelepasan 1000 lapion untuk foto pre-wedding mereka, namun karena hujan foto mereka dirubah konsepya menjadi romantisme dibawah payung. Yang lebih anti-mainstreamnya lagi hal itu dilakukan ditengah banyaknya kerumunan orang yang menunggu hujan reda. Dan yang paling memprihatinkan yaitu kekhusyukan saudara kita Umat Budha dalam menjalankan ibadah yang mungkin terganggu dengan kehadiran banyaknya pengunjung. Belum lagi kawasan yang awalnya tertata apik menjadi carut marut. Ya inilah ketika fenomena itu ada yang ada hanyalah mainstream dan ati-mainstream. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Thankyou for reading :)